Perjumpaan
Siapakah yang pernah bertemu dengan Allah? Kita akan belajar dari Yesaya pasal 6. Pasal ini mendaftarkan persepsi-persepsi yang menunjukkan apakah kita sungguh-sungguh pernah berjumpa dengan Allah. Kita perlu memahami apa yang Yesaya palajari melalui penglihatannya, karena tidak ada orang yang bertemu dengan Allah, jika pengalaman titik balik Yesaya belum menjadi realitas dalam hidupnya.
Yesaya melihat penglihatan tersebut dalam Bait Suci. Apa yang sedang ia lakukan di sana? Ayat 1 mencatat, “Dalam tahun matinya raja Uzia ... ” Uzia memerintah selama 52 tahun (2 Taw. 26:8, 15-16 menegaskan bahwa ia adalah raja yang kuat, dibawah pemerintahannya Yehuda menikmati keamanan dan kemakmuran), dan ia baru saja meninggal. Ada dua hal yang mencemaskan. Pertama, pemerintahan kerajaan Uzia diteruskan kepada putranya, Yotam, yang baru berusia sekitar 20 tahun, tidak seorang pun tau akan menjadi raja macam apakah Yotam. Kedua, musuh-musuh yang kuat seperti bangsa Asyur bangkit kembali, kini tinggal di dekat perbatasan. Ada kecemasan menghadapi hari esok. Wajar jika kita menganggap Yesaya berada di Bait Suci untuk berdoa bagi masa depan bangsanya.
Ketika Yesaya masuk ke Bait Suci, benaknya dipenuhi oleh masalah bangsanya. Namun Allah memperlihatkan diri kepada Yesaya dalam cara yang memaksa sang nabi untuk memikirkan dirinya dan hubungannya dengan Tuhan, dengan cara yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Kita terlalu sering menganggap Allah ada semata-mata untuk menolong kita. Kita mencari berkat dan kekuatan dari Allah untuk mengatasi berbagai tekanan dari luar, ketika yang sesungguhnya kita butuhkan adalah membenahi hubungan kita yang rusak dengan-Nya. Karena kemurahan hati-Nya, Allah menolak upaya kita memanfaatkan Dia demi mencapai tujuan kita, dan memaksa kita menempatkan hal utama di tempat utama.
Disanalah Yesaya melihat kekudusan Allah. Dia melihat Tuhan di atas takhta-Nya, dan para malaikat menyembah Dia. Mereka saling berseru, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam, seluruh bumi penuh kemuliaan-Nya” (ayat 3). Apa yang mau disampaikan kepada Yesaya melalui apa yang ia lihat dan dengar? Dalam Perjanjian Lama maupun Baru, istilah “kudus” terutama menunjuk kepada Allah dan menyatakan segala sesuatu yang memisahkan diri-Nya dari kita, membuat diri-Nya berbeda; menempatkan diri-Nya di atas kita, membuat-Nya patut disembah dan menakjubkan, dan segala hal yang membuat-Nya sungguh menggentarkan. Istilah itu mau menekankan keterpisahan Allah dengan kita, dan perbedaan yang mencolok antara Dia dengan kita. Menekankan ketuhanan, keagungan, kedekatan atau kemahahadiran, kemurnian, dan kemurahan, yang sangat bertolak belakang dengan keberdosaan yang membelit kita.
Kita hidup seringkali suka bermain. Kita tidak mengakui natur Allah yang sebenarnya. Kita tidak bertemu dan berurusan dengan Dia sebagaimana seharusnya. Bahkan para hamba Tuhan sekalipun bisa gagal memahami, kehilangan sentuhan, dengan kekudusan Allah, sama seperti yang pernah dialami oleh Yesaya.
Dengan membaca kisah ini dari sudut pandang Yesaya, kita melihat empat kesalahan, dan bisa jadi kita pun melakukannya.Kesalahan pertama, apa yang ia buat saat memasuki Bait Suci adalah menganggap Allah sebagai sosok yang jinak - yang bisa diatur, dikendalikan, dan dipanggil untuk bertindak sesuai permintaannya, bagai jin dari lampu Aladdin. Yang terjadi adalah Allah memperlihatkan penyembahan malaikat kepada Yesaya, sebab ia perlu belajar beribadah - atau melihat Tuhan dengan cara yang benar.
Kesalahan kedua adalah menganggap bahwa dirinya pasti diterima - bahwa sebagai nabi, tentu tidak akan ada masalah dalam relasi pribadinya dengan Allah. Lagi pula, ia adalah anak muda yang berbeda, keturunan bangsawan dan sangat berbakat, dalam suatu bangsa yang secara resmi mengikat perjanjian dengan Allah. Selain itu ia cukup saleh, secara teratur beribadah di Bait Suci, dan terlibat dalam pelayanan. Banyak orang beranggapan sama, mereka yakin mereka melakukan apa yang Allah sukai karena mereka tertarik kepada-Nya, sementara dunia begitu tidak mempedulikan Dia. Mereka berharap hal ini menjadikan mereka elit rohani yang layak menerima perkenan Allah. Yang terjadi adalah Yesaya harus belajar bahwa ada sesuatu yang harus terjadi atas dirinya sebelum ia bisa diterima ke dalam persekutuan dan perkenan Allah, yaitu pengudusan.
Kesalahan ketiga adalah ketika Yesaya menyadari kekudusan Allah, ia bukan hanya berpikir bahwa dosanya menjauhkan dia dari Allah, tetapi juga berpikir bahwa ia akan binasa untuk selama-lamanya. Yang kita lihat adalah ada kemurahan baginya. Berapa pun besar dosanya, kasih karunia Allah lebih besar. Allah menyucikannya. Demikian juga dengan orang Kristen, semua dosa kita, baik yang kita sadari atau tidak, semua tindakan dan kebiasaan dosa, dan semua cabang dosa dalam sistem rohani kita, telah ditebus melalui kematian Tuhan Yesus Kristus. Kasih yang kudus mengatasi kuasa dosa yang menghakimi dan menghancurkan jiwa kita. Sikap Yesaya berubah saat nuraninya dibersihkan. Dengan rasa syukur dan suka cita ia rela pergi untuk Allah.
Kesalahan keempat adalah Yesaya merasa akan berhasil dalam pelayanannya. Bagaimana tidak, ia menjadi manusia baru dengan sukacita baru karena ia adalah orang yang berhasil berjumpa dengan Allah. Dan mungkin berkembang dalam pikirannya bahwa ia akan dikenal dan dikagumi, dan pelayanannya akan menghasilkan banyak buah. Itu sebabnya, peringatan segera menyusul, “Pergilah, dan katakanlah kepada bangsa ini: Dengarlah sungguh-sungguh, tetapi mengerti: jangan! ... Buatlah hati bangsa ini keras dan buatlah telinganya berat mendengar dan buatlah matanya melekat tertutup ...” (ayat 9-10). Ada ironi dan dukacita ilahi di sini: Allah tidak senang melihat kematian orang jahat, dan tugas yang Ia mau Yesaya tunaikan adalah memanggil kembali bangsa Israel kepada-Nya. Kemudian Allah mengingatkannya bahwa pesannya akan ditolak, sehingga pelayanannya justru akan mejadikan bangsa ini semakin kurang peka terhadap hal-hal rohani lebih dari sebelumnya. Kita yang berbicara bagi Tuhan Yesus hari ini harus bersiap-siap untuk mendapati bahwa apa yang kita katakan akan diabaikan, kita bersusah payah dengan sedikit atau tanpa hasil yang nyata. Namun tetap ingat, seperti Yesaya, kita dipanggil untuk setia. Kesetiaan adalah tugas kita, berbuah lebat adalah hal yang harus kita serahkan kepada Allah. Firman Allah tidak akan kembali dengan sia-sia, tetapi kita harus rela tidak melihat buah-buah itu (atau tidak segera melihatnya). Sukses dalam bentuk akibat langsung belum tentu terjadi dalam pelayanan Kristen.
Nabi Yesaya berjumpa dengan Allah dan dia mengalami perubahan. Allah mengarahkan hatinya, hidupnya, dan misinya sesuai dengan arah yang Tuhan mau capai di dalam dan melalui hidup Yesaya. Bagaimana dengan kita? [Ar-2]
Sumber: J. I. Packer, Rencana Allah bagi Anda (Surabaya: Momentum, 1994).