Sang Cahaya
Surat Ibrani adalah salah satu kitab yang paling indah di dalam Perjanjian Baru. Di satu sisi, surat ini begitu sulit dimengerti karena aspek-aspek doktrinalnya, berikut dengan penjabarannya yang sangat mendetail tentang teks-teks dalam Perjanjian Lama. Itulah sebabnya banyak ahli berpendapat bahwa Surat Ibrani tentunya ditulis oleh orang yang sangat berpendidikan, baik di dalam bahasa Yunani serta di dalam kitab-kitab Perjanjian Lama, khususnya kelimat kitab Musa. Tokoh-tokoh seperti Paulus, Barnabas, dan Apolos diperkirakan adalah penulis dari Surat Ibrani.
Di sisi lain, Surat Ibrani juga adalah surat yang sangat sederhana pesannya. Inti seluruh Surat Ibrani adalah: “(1) Tuhan Yesus yang adalah Anak Allah sendiri jauh lebih tinggi daripada para malaikat, para nabi termasuk di antaranya Musa, para imam, dan sebagainya. Oleh karena itu (2) para pengikut Kristus haruslah tetap setia dalam segala keadaan, bahkan penganiayaan dan kesulitan sekalipun.” Pesan yang sebenarnya sangat sederhana, bukan?
Keindahan dari surat ini sudah tertuang sejak awal di dalam perikop pertama, yakni Ibrani 1:1-4. Seorang pengkotbah pernah mengatakan demikian sesudah membacakan bagian ini sebelum memulai kotbahnya, “ini adalah bagian yang sebenarnya saya ingin kita baca saja tanpa saya perlu berkomentar atau mengkotbahkannya, daripada kata-kata saya mengurangi keindahan dari bagian ini.” Perkataan ini ada benarnya. Keempat ayat ini begitu padat dengan makna dan sarat dengan keindahan sehingga tidak mungkin dikupas hanya di dalam satu artikel saja. Oleh sebab itu, artikel ini hanya akan fokus kepada satu kata saja, yakni kata “cahaya” pada ayat 3.
Kata ‘cahaya’ di sini menggunakan kata Yunani apaugasma. Kata ini hanya muncul satu kali di dalam seluruh Perjanjian Baru, yakni dalam bagian yang kita baca ini. Kata apaugasma sendiri adalah kata gabungan dari kata apo dan augazo. Apo adalah kata preposisi yang pada umumnya di dalam Alkitab LAI diterjemahkan sebagai “dari” (bahasa Inggris: “from” “away from”), sementara augazo adalah kata benda langka lain yang berarti “bersinar” (bahasa Inggris: “to shine” “to beam forth”) dan hanya muncul satu kali dalam seluruh Perjanjian Baru, yakni 2Kor. 4:4. Sayang sekali, dalam terjemahan LAI untuk 2Kor. 4:4 tidak terlalu akurat. Frasa “mereka tidak melihat” di dalam “…sehingga mereka tidak melihat cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah” (4:4b) sebenarnya tidak ada di dalam bahasa aslinya. Secara literal, ayat ini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan “sehingga tidak bersinar cahaya Injil tentang kemuliaan Kristus, yang adalah gambaran Allah” (bahasa Inggris (Berean Literal Bible): “so as for not to beam forth the illumination of the gospel of the glory of Christ, who is the image of God”). Kepada siapa cahaya Injil tidak bersinar? Tentu saja kepada objek pada klausa sebelumnya, yakni “orang-orang tidak percaya, yang pikirannya telah dibutakan oleh ilah zaman ini” (4:4a).
Kembali ke kata apaugasma. Jika tidak di dalam literatur-literatur Perjanjian Baru, bagaimana dengan literatur-literatur di luar Alkitab pada zaman itu? Rupanya, kata apaugasma pun tetap langka. Salah satu kemunculan kata ini yakni di dalam Kitab Kebijaksanaan Salomo, salah satu kitab apokrifa yang ditulis pada masa intertestamental dan diterima Katolik sebagai bagian dari Deuterokanonika. Di dalam kitab ini, kebijaksanaan atau hikmat digambarkan sebagai “pantulan cahaya kekal, dan cermin tak bernoda dari kegiatan Allah, dan gambar kebaikan-Nya” (Kebijaksanaan Salomo 7:26). Kata “cahaya” yang dipakai di sini juga adalah apaugasma. Banyak penafsir menyimpulkan bahwa penulis Ibrani mengetahui kitab Kebijaksanaan Salomo, kemudian menggunakan bahasa yang sama untuk mengidentifikasi Yesus Kristus, Sang Cahaya Kemuliaan Allah, sebagai Kebijaksanaan atau Hikmat Allah.
Kini, mungkin agak sulit bagi kita untuk membayangkan Kristus sebagai Kebijaksanaan atau Hikmat Allah. Bagaimana mungkin sesuatu yang abstrak seperti hikmat adalah sesosok pribadi?
Jawaban untuk pertanyaan ini sebenarnya telah dikemukakan oleh salah satu teolog Reform yang sangat kita kenal, yakni John Calvin. John Calvin, dalam tafsirannya terhadap Injil Yohanes menggunakan kata “Hikmat” (“Wisdom”) bergantian dengan “Firman” (“Word”) seolah keduanya bersinonim. Bahkan secara eksplisit Calvin mengungkapkan, “mengenai mengapa [Yohanes] memanggil Anak Allah Firman, alasan paling sederhana menurut saya adalah, pertama, karena Dia adalah Hikmat dan Kehendak Allah yang kekal.” (“As to the Evangelist calling the Son of God the Speech, the simple reason appears to me to be, first, because he is the eternal Wisdom and Will of God”). Jadi, membayangkan Kristus atau Pribadi Kedua Allah Tritunggal sebagai Hikmat atau Firman, sesuatu yang terasa abstrak, sebenarnya adalah hal yang sudah secara tradisional dimengerti mulai dari para penulis Alkitab sampai John Calvin, bahkan mungkin sampai ke teolog-teolog selanjutnya.
Tapi, mungkin kita masih gagal paham. Bukankah, seperti tertulis dalam Ibr. 1:2, Kristus atau Pribadi Kedua Allah Tritunggal adalah Anak? Memang, gambaran Anak sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal adalah gambaran yang paling familiar bagi kita. Bahkan, gambaran ini bukan hanya sekedar metafora atau bahasa kiasan saja, seperti jika kita menggunakan kata “anak tangga.” Gambaran Pribadi Kedua sebagai Sang Anak adalah realita yang sesungguhnya. Lantas, bagaimana menyelaraskan antara gambaran “Anak” dan “Cahaya kemuliaan” yang merujuk pada Hikmat atau Firman?
Memang ini adalah sesuatu yang jauh melampaui pikiran manusia. Ini pula-lah alasan mengapa segala analogi tentang Allah Tritunggal tidak dapat sepenuhnya menggambarkan Sang Pencipta yang berpribadi tiga. Kristus atau Pribadi Kedua bukan hanya Anak Allah, melainkan juga Hikmat atau Firman Allah. Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan ini juga adalah jawaban yang sebenarnya sangat sederhana, jawaban yang kita semua sudah tahu: kasih. Hubungan kasih yang mengikat ketiga pribadi Allah Tritunggal, dalam hal ini secara khusus Pribadi Pertama dan Pribadi Kedua, begitu dasyat dan indah, sampai-sampai Hikmat atau Firman itu tidak hanya semata-mata adalah abstraksi, melainkan sesosok pribadi anak. Itulah sebabnya dalam Ibr. 1:5, penulis Ibrani menuliskan tentang perkataan Pribadi Pertama kepada Pribadi Kedua, “Anak-Ku Engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini” dan “Aku akan menjadi Bapa-Nya, dan Ia akan menjadi Anak-Ku.” Hubungan kasih dalam Allah Tritunggal adalah sesuatu yang begitu indah untuk dapat dicerna di dalam otak kita yang hanya sedikit lebih sebesar dari kepalan dua tangan kita. Mecoba memikirkannya akan membuat kepala kita meledak.
Sayang sekali kadang kala diskusi mengenai keilahian Yesus Kristus diceraikan dari diskusi mengenai kasih-Nya, khususnya kasih di dalam hubungan-Nya dengan Sang Bapa. Ia “menopang segala yang ada dengan firman-Nya yang penuh kekuasaan,” “mengadakan penyucian dosa,” “duduk di sebelah kanan Yang Mahabesar,” dan sebagainya bukan semata-mata karena keperkasaan-Nya, melainkan karena kasih-Nya. Inilah yang dimaksud Dante, seorang pujangga Italia yang terkenal dengan karyanya Divine Comedy dan Inferno, sebagai “kasih yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang” (“the Love that moves the sin and the other stars”).
Kita tentu tahu bahwa Yesus Kristus yang sama juga adalah Dia yang mati untuk menyelamatkan kita. Teolog Injili Stanley Hauerwas dalam tulisannya “Mengenai Memiliki Anugerah untuk Hidup yang Serba Berubah” (“On Having the Grave to Live Contingently”), seolah mendengungkan kembali perkataan Dante, mengatakan, “kasih yang sama yang mengutus sang Anak adalah kasih yang sama yang menggerakkan matahari dan bintang-bintang” (“the Love that sends the Son is the selfsame love that moves the sun and the stars”). Oleh sebab itu, di dalam momen menjelang Jumat Agung dan Paskah ini, marilah kita sungguh-sungguh merenungkan tentang Pribadi Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus.(DO)