Tantangan Post-Modernisme Bagi Gereja Masa Kini
Jati diri Gereja dan faham Post-modernisme
Menjelang kembalinya Tuhan Yesus Kristus ke bumi sebagai Raja dunia, dunia di pertengahan abad ke-21 ini sedang mengerang kesakitan karena badai pandemi coronavirus yang berkepanjangan yang mempengaruhi seluruh tatanan hidup masyarakat. Gereja yang sedang terlena dalam sekejap harus bangkit dan siap untuk memberi jawab terhadap situasi genting yang ada di hadapannya. Gereja didesak untuk berpikir ulang tentang jati diri-nya sebagai entitas rohani di tengah masyarakat sekuler. Tidak sedikit Gereja lokal yang melalui orientasi praktika-nya menemukan jati diri-nya sebagai badan sosial yang berkontributif meringankan berbagai penderitaan yang ada di dalam masyarakat. Sebenarnya orientasi praktika ini merupakan salah satu pengaruh dari faham post-modernisme yang marak sejak pertengahan abad ke-20 yang baru lalu. Pokok bahasan yang diminati misalnya: Gereja dan dunia misi, Gereja dan dunia digital dan kecerdasan buatan, Gereja dan dunia LGBT, dlsb. Secara sepintas orientasi semacam ini menunjukkan Gereja yang serius terhadap mandat penginjilan dan budaya yang diembankan Tuhan Yesus, namun ketika ketertarikan Gereja terhadap entitas-entitas lain di luar dirinya lebih besar daripada ketertarikannya pada jati diri-nya yang unik, dan ketika Gereja mendefinisikan jati diri-nya berdasarkan ilham dari guru-guru dari entitas-entias yang ia kagumi, jati diri Gereja seringkali direduksi hanya sebatas badan sosial yang bergerak di bidang etika moral belaka.
Karena karaktersitik Post-modernisme adalah menolak segala sesuatu yang bersifat abstrak dan teoritis dan mengadopsi segala sesuatu yang konkrit dan memiliki manifestasi historis, dan medode yang digandrungi adalah medode induktif ketimbang yang deduktif, maka tidak heran John Macquirrie menemukan bahwa jati diri Gereja tidak bermula pada titik di mana Gereja yang ideal digariskan terlebih dahulu (preskriptif), baru bergerak menuju pada titik di mana Gereja yang konkrit itu berada (deskriptif). Karena konsep Gereja yang terdahulu yang tetap (Platonik) itu membosankan, dan konsep Gereja yang dinamis itu lah yang menarik, dan Gereja yang dinamis ini sedang terus bergerak menuju pada kesempunaannya melalui keterlibatannya dengan entitas-entitas yang ada di luar dirinya. Tentunya kita familiar dengan pengaruh filsafat Hegel
dengan idenya ‘beocming’ dalam ‘Idealisme Absolut’ yang dicanangkannya di permulaan abad ke-20. Sejumlah teolog kelas dunia yang terpengaruh filsafat Hegel berpendapat bahwa jati diri Gereja yang ideal terbentuk dengan sendirinya dengan keterlibatannya di dalam dunia. Paslanya, Gereja Kristus bukanlah seperti itu, karena Kristus sebagai Kepala Gereja-lah yang menentukan tolok ukur Gereja ideal dan mekanisme pencapaiannya.
Jati Diri Gereja dan Firman Allah
Banyak orang salah kaprah karena telah mencampur-baurkan Gereja yang kelihatan (visible church) dan Gereja yang tidak kelihatan (invisible church). Gereja yang kelihatan terdiri dari dua bagian: Gereja lokal dan Gereja universal. Gereja universal merupakan kumpulan dari seluruh Gereja lokal yang ada di dunia, namun tidak identik dengan Gereja yang tidk kelihatan. Gereja yang tidak kelihatan ini merupakan Gereja yang sesungguhnya milik Yesus Krisuts dan terdiri dari orang percaya yang keaanggotaanya ditentukan oleh Allah sendiri sebelum dunia dijadikan. Orang-orang percaya ini mengalami kelahiran baru oleh pekerjaan Roh Kudus dan masuk di dalam keluarga besar Allah (Tubuh Krisuts). Sebagai ciptaan baru di dalam Kristus (2 Kor. 5:17), Tubuh Krristus ini memiliki orientasi baru kepada Kristus dan bertumbuh kea rah Kristus, Kepala Tubuh. Pemberian Kristus yang pertama bagi Tubuh-Nya adalah Roh Kudus yang Ia janjikan (Yoh. 14:16). Oleh Roh Kuduslah Kristus mendistribusikan karunia-karunia rohani untuk pekerjaan pelayanan Tubuh-Nya. Oleh Roh Kudus pula Kristus mensuplai training pemberdayaan setiap bagian melalui personel trainer (rasul, nabi, pemberita injil, gembala, pengajar—E p. 4:11-12), serta menentukan kadar pertumbuhan Tubuh-Nya secara mikro dan makro. Hasilnya adalah Tubuh Kristus yang rapih tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan yang bersinergi semua bagiannya. Kriteria Krisuts bagi Tubuh-Nya yang ideal adalah: mencapai kesatuan iman, pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh, serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ep. 4:13), sehingga tidak lagi diombang ambingkan oleh pelbagai angin pengajaran, melainkan memiliki keyakinan yang kokoh tentang kebenaran (Ep. 4:14).
Orientasi Gereja Kristus seharusnya berkonsolidasi ke dalam, ke arah pembangunan Tubuh Kristus yang solid di dalam kebenaran Firman Tuhan yang hakiki dan dalam pekerjaan pelayanan. Karena ketika Gereja Kristus berorientasikan pada dan bertumbuh kea rah Kristus, Kristus sendiri-lah yang akan menjadikannya efektif di dunia milik-Nya ini.***IT.