The Cost Of Discipleship
Relasi Guru dan Murid dalam Tradisi Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, relasi antara seorang guru (rabi Yahudi) dan muridnya bersifat personal. Seorang teolog bernama Mike Breen menyatakan “If you are being discipled by a rabbi, you certainly want to know what the rabbi knows. But the actual goal of being a disciple is to become who the rabbi is. Not just to know what he knows, but to become like him” (jika kamu menjadi murid seorang “rabi”, kamu jelas akan mengetahui apa yang “rabi” ketahui, tapi yang menjadi tujuan kamu menjadi seorang murid adalah menjadi seperti “rabi” itu. bukan hanya mengetahui apa yang ia ketahui, melainkan menjadi seperti dia). Guru (rabi Yahudi) biasanya tidak akan mencari murid melainkan orang-orang yang akan datang untuk mencari mereka dan menggabungkan diri menjadi murid. Kedekatan seorang guru dan muridnya itu sangatlah dekat dan bahkan ketika seseorang telah menjadi murid dari guru tertentu, maka murid itu akan mengikuti gurunya kemana saja guru itu pergi. Mereka tinggal bersama-sama, memeluk ajarannya dan meniru gaya hidup dari gurunya. Menjadi murid berarti selalu bersama supaya menjadi sama.
Esensi Dasar Menjadi Seorang Murid
Menjadi murid juga berarti “melepaskan semua” untuk mengenakan sebuah status baru yaitu menjadi seorang murid. Melepaskan semuanya itu berarti seorang itu sebelum menjadi murid, harus meninggalkan pekerjaannya, meninggalkan rumahnya dan keluarganya dan bahkan meninggalkan seluruh yang dimilikinya untuk mengikuti gurunya. Pola pemuridan pada waktu itu tidak memungkinkan bagi seseorang untuk menjalankan pekerjaan sehari-hari seperti biasa. Pemuridan dan pekerjaan sukar untuk dijalankan secara bersamaan dengan maksimal. Seorang murid akan mengikuti gurunya kemana saja dia pergi, sehingga orang pada waktu itu harus memilih antara melepaskan pekerjaannya atau mengikuti gurunya. Meninggalkan pekerjaan jelas tidak mudah. Ini berbicara tentang penghasilan dan kebutuhan seluruh keluarga. Bukan hanya meninggalkan pekerjaan, tetapi juga meninggalkan keluarga. Seorang murid pada waktu itu harus fokus mengikuti gurunya dan hidup bersama gurunya sehingga pilihan meninggalkan keluarga adalah pilihan yang harus diambil jika ingin menjadi seorang murid.
Tidak hanya itu, seorang murid harus membayar harga untuk menjadi seorang murid. Dengan jelas ketika kita melihat konteks Matius 8:19-22 dan Lukas 9:57-62 dimana Yesus menjadi seorang guru yang banyak sekali orang-orang ingin menjadi murid-Nya pada waktu itu. Yang menarik adalah ketika Yesus mengatakan kepada orang-orang yang ingin menjadi murid-Nya bahwa “serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi anak manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya”, maka disini kita melihat bahwa Kristus dengan jelas mengingatkan kepada siapapun yang ingin menjadi murid-Nya bahwa mengikuti-Nya itu berarti harus mengambil segala konsekuensi yang termasuk jauh dari kenyamanan sekalipun. Seorang pendeta senior bernama Bryn MacPhail menyatakan “Following Jesus, clearly following Him may involve for us a life of insecurity.” (mengikuti Yesus, jelas mengikuti Dia termasuk dalam kehidupan yang tidak nyaman). Sekali lagi, menjadi seorang murid itu berarti melepaskan segalanya untuk mengenakan status baru yaitu menjadi seorang murid.
Relasi Guru dan Murid pada Masa Kini
Dalam kehidupan masa kini, tentu kita akan mendefinisikan ulang apa artinya menjadi seorang murid Kristus. Ketika mengaku percaya kepada Yesus Kristus yang adalah satu-satunya juruselamat, maka kita disebut sebagai murid-murid Kristus. Namun, apakah sebenarnya arti menjadi murid Kristus? Menjadi murid Kristus berarti melepaskan semuanya untuk mengenakan status baru yaitu menjadi murid Kristus. Melepaskan semua yang menghalangi kita untuk mengikuti Yesus kemana saja dan melepaskan semua yang menghalangi kita untuk bersama-sama dengan Yesus yang adalah guru kita. Seorang murid akan benar-benar menjadi murid, ketika murid menjadi sama seperti gurunya. Murid merefleksikan seluruh pikiran, gaya hidup dan karakter dari gurunya. Guru yang baik adalah guru yang hidup bersama dengan murid dan membagikan seluruh hidupnya bersama muridnya. Keterikatan antara orang yang menyebut dirinya sebagai murid Kristus dengan Kristus yang adalah guru menjadi hal mutlak yang harus dibangun dalam kehidupan.
Kita dapat melihat esensi yang sama seperti pola pemuridan dalam tradisi Yahudi pada masa lalu, yaitu seorang murid akan selalu hidup bersama dengan gurunya untuk menjadi sama. Hidup tinggal di dalam Yesus menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi ketika menjadi seorang murid Kristus. Billy Graham menyatakan “to be a disciple is to be committed to Jesus Christ as savior and lord and committed to following Him every day. To be a disciple is also to be disciplined in our bodies, minds, and soul” (menjadi murid berarti komitmen untuk mengikuti Yesus sebagai juruselamat dan Tuhan setiap hari. Menjadi murid juga berarti mendisiplinkan seluruh aspek kehidupan kita untuk mengikuti Kristus). Senada dengan itu seorang teolog bernama Dietrich Bonhoeffer yang adalah seorang yang sangat menghidupi apa artinya menjadi seorang murid Kristus, ia sangat menyadari bahwa ketika ia memutuskan untuk menjadi seorang murid Kristus, maka seorang murid Kristus hanya akan mengikuti Yesus dan fokus kepada Yesus. Ia menyatakan “The life of discipleship can only be maintained as long as nothing is allowed to come between Christ and ourselves, neither the law, nor personal piety, nor even the world. The disciple always looks only to his master, never to Christ and the law, Christ and religion, Christ and the world. Only by following Christ alone can he preserve a single eye” (kehidupan sebagai murid hanya dapat dilakukan selama kita terus tertuju mengikuti Kristus saja, bukan hukum, bukan kehidupan kerohanian belaka dan bahkan bukan dunia. seorang murid Kristus selalu hanya akan melihat kepada Yesus, hanya kepada Yesus saja). Ini menjadi penekanan yang sangat penting bagi seorang murid Kristus bahwa hidup bersama Kristus itu berarti hidup mengikuti Kristus dalam segala hal dan meneladani seluruh kehidupan Kristus di dalam kehidupan mereka dengan segala resiko yang harus diambil.
Harga untuk Menjadi Murid
Hal yang penting dari status seorang murid Kristus ketika mengikuti Kristus adalah melepaskan semuanya untuk mengikuti Yesus. Bukan berarti kita harus melepaskan pekerjaan, keluarga dan seluruh yang kita miliki dalam hidup kita untuk kita mengikuti Yesus, namun melepaskan semua yang menjadi “penghalang” kita untuk mengikuti Yesus yang adalah guru kita. Ketika berbicara tentang mengikuti Yesus sebagai murid-Nya, maka akan selalu ada harga yang harus dibayar karena mengikuti guru. Mengikuti kehidupan gurunya itu berarti hidup seperti guru dan seorang guru tidak pernah menjanjikan kehidupan yang sejahtera kepada murid-Nya. Kristus dengan jelas menyatakan kepada setiap orang-orang yang ingin mengikuti-Nya dalam Markus 8:34-35 yaitu “setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikuti Aku”. Ketiga kategori yang disebutkan oleh Yesus itu adalah hal yang tidak mudah dilakukan dan membuat orang yang ingin menjadi murid-Nya keluar dari zona nyaman mereka. Menyangkal diri adalah sebuah proses memfokuskan segalanya bukan kepada diri sendiri lagi melainkan kepada Yesus (keinginan dan kehendak Yesus), sedangkan memikul salib adalah sebuah proses ketidaknyamanan atau penderitaan yang harus dialami ketika mengikuti Yesus dan mengikuti Yesus itu berbicara tentang konsistensi dan ketetapan hati yang tidak berubah untuk mengikuti Yesus dalam keadaan apapun. Yang menjadi ironi menurut Billy Graham adalah “Many Christians want the benefits of their belief, but they hesitate at the cost of discipleship” (banyak orang Kristen ingin keuntungan dari imannya kepada Kristus, tetapi mereka menolak jika ada harga yang harus dibayarkan jika mengikuti Yesus). Akan selalu ada harga dari sebuah pemuridan dan harga itu sebanding dengan proses pemuridan itu sendiri. Pada akhirnya, Dietrich Bonhoeffer menutup kisah hidupnya sebagai murid Kristus dengan mengungkapkan sebuah pernyataan dalam bukunya “”The cost of discipleship”, yaitu “Christianity without the living Christ is inevitable Christianity without discipleship, and Christianity without discipleship is always Christianity without Christ.” (Kekristenan tanpa hidup bersama dengan Yesus adalah kekristenan tanpa pemuridan dan kekristenan tanpa pemuridan adalah kekristenan tanpa Kristus).*(HH)