Tidak Pernah Sia-Sia (Never Be in Vain)
Bagi banyak orang, kebangkitan dari kematian adalah mukjizat yang paling tidak bisa dipercaya. Jika orang sudah mati, maka dia akan tetap mati. Itulah sebabnya di antara berbagai keyakinan orang Kristen yang secara umum dianggap sebagai mitos, kebangkitan merupakan mitos yang paling utama.
Sebaliknya bagi orang Kristen, kebangkitan merupakan hal yang paling sentral dalam iman Kristen. Jika seseorang menghilangkan bagian tentang kelahiran Yesus, maka hanya ada dua pasal di Matius dan dua pasal di Lukas yang hilang. Tetapi jika seseorang menghilangkan bagian tentang kebangkitan, maka seluruh Perjanjian Baru akan hilang.
Rasul Paulus pun mengatakan di 1 Korintus 15:14 : ”Tetapi andaikata Kristus tidak dibangkitkan, maka sia-sialah pemberitaan kami dan sia-sialah juga kepercayaan kamu.” Istilah bahasa Yunani untuk ’sia-sia’ adalah kenos, yang berarti ’tanpa kuasa’. Karena kebangkitan itu berkuasa mengubah hidup manusia dan sungguh-sungguh dialami, maka banyak orang bersedia untuk mati dan menjadi martir. Jika kebangkitan adalah cerita fiksi belaka, tidak ada orang yang mau mati untuk sebuah dongeng omong kosong. Apalagi dongeng yang terjadi ribuan tahun lalu di sebuah daerah dan budaya asing.
Dari antara 12 murid terdekat Yesus Kristus, 10 orang mati sebagai martir. Simon Petrus disalib terbalik di Roma. Andreas disalib di Yunani. Yakobus anak Zebedeus dipenggal di Yerusalem. Yohanes mati karena usia tua tapi di sepanjang hidupnya ia dianiaya dan kemudian diasingkan. Filipus disalib di Turki. Bartolomeus yang dikenal sebagai Natanael dikuliti hidup-hidup lalu dipenggal di Armenia. Matius yang dikenal sebagai Lewi ditusuk hingga mati di Etiopia. Thomas ditombak di India. Yakobus anak Alpheus dirajam hingga mati di Yerusalem, dan Simon orang Zelot disalib di Persia.
Hal serupa terjadi kepada beberapa orang yang bukan murid langsung Kristus. Contoh yang paling terkenal adalah Rasul Paulus yang dipenggal kepalanya oleh Kaisar Nero. Hal semacam ini terus berlangsung dalam sejarah kekristenan, Salah satu kasus yang terkenal terjadi di Lyons, Prancis, pada tahun 177 M.
Ketika itu penguasa Romawi melihat bahwa keyakinan orang Kristen akan kebangkitan Kristus bersifat provokatif serta mengancam tatanan sosial dan politik. Apalagi karena orang-orang Kristen menolak untuk berpartisipasi dalam praktik-praktik religius orang Romawi, antara lain menyembah kaisar.
Maka orang-orang Kristen dianiaya dengan cara-cara yang brutal, termasuk dicambuk di depan umum, dirajam dengan batu, dipenjara, dibakar hidup-hidup, disalibkan, atau dijebloskan ke tengah lapangan untuk bergulat dengan binatang-binatang buas yang kelaparan. Persekusi yang mereka alami tidak hanya bersifat fisik, tapi juga di berbagai aspek kehidupan. Orang-orang Kristen, misalnya, diisolasi secara sosial dan ekonomi dengan tidak diberikan akses untuk mendapatkan pelayanan umum seperti makanan dan air.
Ternyata, semakin ditekan, semakin kekristenan berkembang. Berbagai komunitas Kristen di Lyons saling bahu-membahu untuk dapat melalui masa-masa sulit itu sehingga menjadi komunitas yang kuat. Lalu akibat persekusi yang terjadi secara meluas, orang-orang jadi bisa melihat kaitan antara penderitaan Kristus, kebangkitan-Nya, dan keselamatan manusia.
Kini Lyon dikenal sebagai kota yang kaya dengan warisan Kristen. Ada beberapa bapa gereja yang berasal dari daerah ini. Salah satu reformator Protestan, John Calvin, pernah tinggal di Lyon walau hanya sebentar. Di kota ini ia mulai menulis karya fenomenalnya yang sangat berpengaruh dalam reformasi Protestan, ”Institutes of the Christian Religion”.
Kuasa kebangkitan Kristus menyebabkan orang Kristen bisa bertahan di tengah penderitaan dan persekusi sebab melalui kebangkitan-nya, orang-orang percaya akan mengalami kebangkitan dalam suatu hidup abadi bersama-Nya; seperti yang dinyatakan oleh 1 Korintus 15:21: “Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia.”
Rasul Petrus menegaskan hal serupa ketika ia menulis kepada orang-orang yang telah ”berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan” (1 Petrus 1:6) dan pada saat itu sedang berada di tengah ”penderitaan badani” (1 Petrus 4:1). Petrus lalu mengingatkan mereka bahwa Tuhan ”…telah melahirkan kita kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan,.” (1 Petrus 1:3).
Seorang sejarawan bernama Hyle Harper banyak meneliti tentang pandemi di dunia kuno. Suatu kali ia diwawancara tentang mengapa di dalam sejarah, orang-orang Kristen bisa bertahan dan bahkan bertumbuh di masa-masa paling sulit. Ia lalu menjelaskan bahwa ”Bagi orang Kristen, hidup hanya sementara. Hal terpenting adalah mengarahkan ulang hidup pada sesuatu yang lebih besar, yaitu keabadian. Walaupun mereka hidup di dunia dan mengalami berbagai rasa sakit, tapi mereka juga bisa melihat bahwa di balik hidup saat ini, ada peta tersembunyi dengan gambaran yang lebih luas.”
Dengan kata lain, keyakinan akan adanya pengharapan di masa depan menyebabkan orang Kristen bisa bertahan di tengah berbagai penderitaan, persekusi, dan masalah. Apakah Anda juga memiliki pengharapan semacam ini yang bisa membuat Anda bertahan di tengah berbagai kesulitan yang dialami saat ini? [GE]