Transendensi dan Imanensi Allah
TUHAN ada di dalam bait-Nya yang kudus; TUHAN, takhta-Nya di sorga;
mata-Nya mengamat-amati, sorot mata-Nya menguji anak-anak manusia.
... Ia menghujani orang-orang fasik dengan arang berapi dan belerang; angin yang menghanguskan, itulah isi piala mereka. (Mzm 11:4, 6)
Mazmur 11:4,6 mengusung ide teologi yang disebut transendensi dan imanensi Allah. Secara umum, Allah itu transenden berarti Ia tinggi, mulia, jauh melampaui ciptaan-Nya, bahwa Ia tidak bergantung pada apapun atau siapapun. Ia berdaulat pada diri-Nya sendiri. Allah itu imanen berarti Ia hadir dalam ruang dan waktu, berada di antara ciptaan-Nya, bahwa Ia dekat dengan kita. Istilah Imanuel dengan tepat menggambarkan imanensi Allah.
Dalam Mazmur itu, dinyatakan bahwa Allah yang bertahta di surga tetapi juga turut hadir dan terlibat dalam peristiwa kehidupan manusia di dunia. Tidak ada yang tersembunyi dari hadapan-Nya. Dia hadir di antara manusia, menguji setiap hati, tahu setiap detail hidup manusia. Dalam kedaulatan-Nya, Dia tidak membiarkan kejahatan merajalela, tetapi menghakimi orang fasik.
Allah Itu Transenden
Allah itu transenden karena Dia berada di luar persepsi manusia, independen dan sama sekali berbeda dibandingkan dengan ciptaan-Nya. Secara kuantitatif, Dia lebih besar daripada kita. Secara kualitatif, kebesaran atau keagungan-Nya juga sama sekali berbeda. Tetapi bukan berarti Allah tersembunyi dan tidak dapat dikenal oleh manusia.
Dalam Alkitab, kita menemukan gambaran tentang Allah yang berada “di langit di atas dan di bumi di bawah (Ul 4:39), “keagungan-Mu yang mengatasi langit” (Mzm 8:1), Dia adalah Allah “yang diam di tempat yang tinggi” (Mzm 113:5). Tidak ada sesuatu apapun yang dapat dibandingkan dengan Allah. Transendensi merujuk pemerintahan, ke-raja-an dan kedudukan-Nya sebagai Tuan. Dengan demikian, transendensi bukan terutama dipahami sebagai konsep ruang (bukan semata bahwa Allah bertahta di surga) tetapi sebagai konsep Allah sebagai Raja, bahwa Dia berkuasa, berdaulat dan berotoritas atas segala ciptaan.
Tercakup dalam ke-tuhan-an (lordship) dan kuasa-Nya adalah pengendalian dan otoritas-Nya. Pengendalian, karena Dia adalah Tuhan, Dia mahakuasa, berkuasa untuk melakukan segala sesuatu. Dia memegang kendali mutlak atas dunia ciptaan-Nya (bdk. Mzm 2; 47; 93; 96:10-13; 97:1; 99:1). Sedangkan otoritas dapat dipahami sebagai kuasa-Nya atas ranah atau ruang lingkup moral dan segala sesuatu yang terjadi.
Dalam Mazmur 11:4, pemazmur diprovokasi untuk mencari pertolongan dari pihak yang lain, bukan Tuhan, bahkan melarikan diri (1). Tetapi bagi pemazmur, tidak ada yang lain yang bisa tolong. Ia merujuk pada Allah yang dapat diandalkan sekalipun segala fondasi dunia hancur (ay.3), karena Dia adalah Allah yang mahatinggi, yang berdiam di surga yang tidak mungkin goncang. Ini adalah pengakuan iman pemazmur yang meneguhkan dirinya.
Transendensi Allah juga mencakup dimensi moral, yaitu bahwa Dia itu mulia, baik dan murni. Ia tidak mengizinkan kejahatan di hadapan-Nya. Ia menentang dan membenci segala yang jahat dan najis. Tindakan-Nya “menghujani orang-orang fasik
dengan arang berapi dan belerang; angin yang menghanguskan” (Mzm 11:6) adalah bukti bahwa kejahatan tidak mendapat tempat di hadapan-Nya.
Allah itu Imanen
Teologi Kristen tidak hanya meyakini sosok Allah yang terpisah dari dunia tetapi juga meyakini Allah yang aktif terlibat dalam dunia. Allah bukanlah Allah yang sedemikian tinggi sehingga Dia tidak dapat mengenal, mengasihi, berelasi dengan dunia ciptaan-Nya.
Imanensi Allah merujuk pada kehadiran Allah di dalam dunia, bahwa Ia dekat dengan umat-Nya. Ia bukan Allah yang masa bodoh terhadap apa yang terjadi dalam dunia ini, tetapi Ia terlibat dalam urusan keseharian manusia. Dia bertindak di dalam dunia ini dan tinggal di antara umat-Nya. Dalam beberapa teks, gambaran tentang transendensi dan imanensi disebut sekaligus (Ul 4:39; Ul 10:14-15; Yos 2:11 “sebab TUHAN, Allahmu, ialah Allah di langit di atas dan di bumi di bawah”). Logikanya, jika Allah itu tidak terbatas, maka Ia juga mahahadir, termasuk di dalam kita dan di dalam alam semesta. Dengan demikian, Allah adalah imanen. Inkarnasi Yesus Kristus adalah wujud paling tinggi dari imanensi Allah. Allah menjadi manusia, diam di antara kita dan peduli pada nasib kita.
Janji utama Allah kepada manusia menegaskan imanensi-Nya, yaitu “Aku menyertai engkau” (Kej 26:28; 28:15, 20; 31:3; Kel 3:11-12; Yes 7:14; Mat 1:23). Janji ini diulang-ulang dalam seluruh Alkitab (Ul 4:7; 7:6; 14:7; 26:18; 2Sam 7:24; 2Kor 6:18; Why 21:7). Penegasannya jelas: Allah ada Allah kita dan kita adalah umat-Nya. Keprihatinan, kepedulian dan keberpihakan Allah kepada umat-Nya juga dinyatakan dalam Mzm 11:7 “Sebab TUHAN adalah adil dan Ia mengasihi keadilan; orang yang tulus akan memandang wajah-Nya.”
Makna Bagi Kita
Ajaran Deisme sangat menekankan transendensi Allah, yaitu bahwa Allah begitu jauh dari ciptaan-Nya, bahkan membiarkan dunia berjalan seperti jam pegas yang berdetak sendiri. Setelah menciptakan dunia, Allah tidak lagi berurusan dengan dunia apalagi peduli pada manusia. Di sisi lain, panteisme sangat menekankan imanensi ilahi dengan mengatakan bahwa segala sesuatu adalah Tuhan sehingga tidak ada perbedaan antara Allah dan dunia. Allah dalam panteisme bukan sosok yang unik dan mulia.
Kekristenan menegaskan bahwa ide transendensi dan imanensi Allah harus dipahami secara seimbang. Bahwa Allah itu transenden tetapi sekaligus imanen. Allah itu mulia tetapi tidak tersembunyi melainkan peduli pada ciptaan-Nya. “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk.” (Yes 57:15). Kita bersyukur memiliki Allah yang besar, berdaulat, berkuasa atas alam semesta, namun dalam keagungan dan ketidakterbatasan-Nya, Dia merendahkan diri bahkan menjadi manusia yang mati untuk mengampuni dosa kita. Tak hanya sampai di situ, kasih dan kepedulian-Nya terus berlanjut. Mazmur 11 menegaskan tentang pentingnya berpengharapan dan percaya pada Allah. Jangan berhenti menantikan dan berharap kepada Tuhan. * (BSB)