Bagikan artikel ini :

Miskin Di Hadapan Allah

Matius 5:1-12

Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga.
- Matius 5:3

Ucapan-ucapan bahagia ini merupakan sesuatu yang revolusioner. Ketika berbicara tentang “kerajaan” biasanya orang akan berbicara tentang orang-orang berkuasa dan kuat yang dapat menaklukkan dunia. Namun, seperti yang dinyatakan teolog John Stott, “Sejak permulaan dalam khotbah di bukit, Yesus sudah menunjukkan kontradiksi (perbedaan yang menyolok sekali) dengan semua penilaian dan ekspektasi manusia tentang apa yang dimaksud kerajaan Allah.

Ternyata kerajaan-Nya diberikan kepada mereka yang miskin, bukan yang kaya; yang lemah, bukan yang hebat; kepada anak-anak kecil yang cukup rendah hati untuk menerima-Nya dan bukan pada tentara yang bangga dengan kekuatannya sendiri.”

Menjadi “miskin” di hadapan Allah begitu penting sebab hanya orang “miskin” yang bisa betul-betul menghargai arti dari menerima suatu hadiah. Dengan kata lain, “miskin” di sini merujuk pada sikap hati yang tidak berpuas dengan kemampuan diri sendiri atau yang tidak meyakini bahwa dengan kekuatan dirinya sendiri ia dapat memenuhi segala kebutuhannya sehingga merasa tidak perlu Tuhan lagi.

Contoh penerapannya adalah ketika melakukan disiplin rohani. Ketika seseorang meyakini bahwa semakin rajin ia berdoa, berpuasa, sabar, suka memberi, sering berkorban, dan sebagainya, maka ia akan menemukan bahwa dirinya semakin mudah untuk khawatir, terganggu, merasa bersalah, merasa benci, dan merasa diri benar. Namun sebaliknya, ketika ia menerima bahwa dirinya adalah orang berdosa yang memerlukan pertolongan Tuhan untuk menjalani hari-harinya dengan baik maka ia akan menemukan dirinya lebih sering berdoa, lebih sabar, lebih mudah memberi, lebih rendah hati, dan lebih penuh kasih.

Realita ini menyampaikan pesan bahwa semakin kita berusaha mengontrol diri agar tidak melakukan sesuatu yang buruk, kita justru semakin terjerumus untuk melakukannya. Cobalah memandang diri sebagai pribadi berdosa, mengakui masalah kita, dan menyerahkan hati kita kepada Tuhan Yesus yang akan menolong melepaskan kita dari masalah. Pada titik inilah justru kita mendapatkan kebebasan dari belenggu dosa dan menikmati pertumbuhan diri ke arah yang semakin baik.

Refleksi Diri:

  • Apakah Anda sekarang bisa dengan sepenuh hati mengatakan, “Aku perlu Tuhan Yesus dalam setiap momen hidupku karena aku tidak bisa hidup dengan kekuatanku sendiri”?
  • Bersediakah Anda menyerahkan area-area dalam hidup dimana Anda berusaha menguasai dan mengendalikannya dengan kekuatan dan kemampuan Anda sendiri?