Bagikan artikel ini :

Saksi-saksi Iman: Abraham

Ibrani 11:17-19; Kejadian 17:1-2, 9-14

Akulah Allah yang Mahakuasa, hiduplah di hadapan-Ku dengan tidak bercela.
- Kejadian 17:1

Biasanya orang mengingat kisah panggilan Abraham di Kejadian 12:1-3 dan perjanjiannya dengan Tuhan di Kejadian 15. Sepertinya enak sekali menjadi Abraham. Namun, kita lupa Kejadian 17, dimana Tuhan menghendaki Abraham untuk hidup dengan tidak bercela di hadapan-Nya. Secara sederhana, perintah ini berarti Abraham harus hidup dengan standar kebaikan, kejujuran, kekudusan, keadilan, penyerahan diri, dsb. yang tertinggi yang
dapat ia bayangkan. Itulah sebabnya ketika Tuhan memintanya mempersembahkan Ishak, ia taat. Inilah iman sang bapa segala bangsa, iman yang bersedia menghidupi standar tertinggi karena ia telah menerima anugerah.

Ini berkebalikan dengan konsep kita tentang kehidupan mengikut Tuhan. Mentang-mentang diselamatkan karena anugerah, kita hidup ala kadarnya. Akibatnya, mereka yang di luar Tuhan jauh lebih bermoral hidupnya daripada kita.

“Kebaikan mereka yang bukan orang percaya hanya seperti kain kotor saja! Tidak diperhitungkan di hadapan Tuhan!” demikian kita berdalih. Kita ibaratnya atlet maraton yang suatu saat melihat bahwa petugas kebersihan di tempat latihan kita rupanya bisa berlari lebih kencang dua kali lipat dibanding kita, tetapi kita malah berdalih, “Kehebatan mereka yang bukan atlet hanya seperti kain kotor saja! Tidak diperhitungkan dalam pertandingan!” Memang benar. Tetapi, bukannya cara berpikir yang benar adalah, “Memalukan sekali aku! Aku yang harus berlatih lebih keras lagi!”

Justru karena kita sudah diselamatkan oleh anugerah, kita harus hidup dengan standar yang tertinggi, melampaui mereka yang tidak mengenal Tuhan. Bukankah kita suka mengatakan “Tuhan menyertai kita”, “Allah berjalan bersama kita”, dan ini membuat kita terharu. Tetapi ingat bahwa ini juga berarti Tuhan yang Mahakudus, Allah semesta alam, selalu berada bersama kita! Kita tentunya akan berusaha tampil sempurna di depan presiden. Lebih-lebih lagi seharusnya ketika kita tahu bahwa kita hidup di hadapan Tuhan!

Tentu ini tidak berarti bahwa kita harus sempurna dulu, baru Tuhan menerima kita. Namun, poinnya adalah cara berpikir kita. Janganlah kita memiliki pola pikir bahwa mentang-mentang Tuhan menerima kita apa adanya, kita pun hidup ala kadarnya. Pola pikir yang seharusnya adalah justru karena Allah telah terlebih dahulu mengasihi kita, marilah kita terus mendorong diri untuk makin dikuduskan.

Refleksi Diri:

  • Bagaimana selama ini Anda dalam menjalani hidup sebagai murid Kristus? Apakah ala kadarnya atau berusaha menyesuaikan dengan standar Tuhan Allah?
  • Apa komitmen yang ingin Anda ambil dalam hal hidup mengikuti standar Tuhan Allah?