Bagikan artikel ini :

Others First (Yang Lain Dulu)

FILIPI 2:1-11

BAHAN CARE GROUP

Saat ini banyak orang memperjuangkan hak-haknya, tapi mengabaikan bahkan mengorbankan hak-hak orang lain. Ketika haknya dirugikan atau diinjak orang, ia berteriak, “di manakah keadilan itu?” Sementara ketika hak orang lain dikorbankan, dia diam saja. Hal ini membuktikan bahwa manusia itu makhluk yang sangat egois, selalu mengutamakan diri sendiri dan lupa memperhatikan kepentingan orang lain. Ambil contoh, ketika Anda dikirimkan sebuah foto dan Anda ada di dalamnya, “Siapakah yang pertama kali Anda cari?” Pasti diri Anda sendiri, bukan? Hidup orang percaya, termasuk dalam kehidupan keluarga juga seringkali disertai dengan keegoisan, keangkuhan diri, mengutamakan diri sendiri dan mengabaikan orang lain, sehingga menciptakan banyak masalah dalam keluarga. Apakah Anda termasuk orang yang suka mengutamakan diri sendiri dan mengabaikan orang lain dalam keluarga Anda? Bagaimana caranya Anda mengatasi kecenderungan sikap yang egois di tengah keluarga Anda? Bagikan pengalaman Anda dalam Care Group!

EKSPLORASI FIRMAN

Rasul Paulus mengamati bahwa di dalam jemaat di Filipi mulai tumbuh benih-benih perpecahan yang berakar dari egoisan diri dan kebanggaan kelompok. Masing-masing mempertahankan pendapat dan kepentingan sendiri dan kelompok. Paulus menulis surat ini untuk menasihati mereka agar hidup bersatu dengan meneladani Kristus yang mengesampingkan hak-hak-Nya. Tuhan Yesus memberi contoh konkrit sikap mengutamakan orang lain (others first). Apa teladan Tuhan Yesus buat kita?

Pertama, Yesus tidak mengutamakan hak-hak-Nya. Di zaman dimana orang berjuang menuntut hak-haknya, aneh rasanya jika kita berbicara soal mengabaikan hak-hak sendiri. Namun berbeda dengan Yesus, “yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,” (ayat 6). Frase “rupa Allah” (Morphe Theos) adalah esensi dan kualitas Allah yang dimiliki Yesus. Ungkapan ini jelas menyatakan pra-eksistensi Yesus, dimana sebelum dilahirkan dari anak dara Maria, Yesus adalah Allah. Ia sudah ada sebelum segala sesuatu ada, Ia bukan ciptaan tetapi Pencipta segala sesuatu (Yoh. 1:1-3). Sebagai Pencipta tentu saja Ia berhak mendapatkan kehormatan, pujian, penyembahan dan kemuliaan dari ciptaan-Nya, bukan? Namun Ia tidak mengutamakan hak-Nya sebagai Tuhan dan rela mengambil rupa sebagai manusia. Tetapi Ia berbeda dengan manusia umumnya karena Ia tidak berdosa (Ibr. 4:15). Ia datang ke dunia melawat manusia berdosa, menyapa mereka dan tinggal bersama mereka. Jiwa Kristus inilah yang seharusnya kita miliki dan praktikkan dalam relasi dan kehidupan keluarga Kristen.

Kedua, Yesus rela merendahkan diri. Dalam ayat ke-7 Paulus menegaskan, “telah mengosongkan diriNya.” Istilah “mengosongkan diri” (Yunani: heauton ekenosen; KJV. No reputation) artinya menanggalkan diri dan turun sampai ke tingkat di mana Ia dianggap tidak memiliki apa-apa dan dianggap sepi oleh orang lain. Secara jasmani, Yesus itu seorang pemuda yang biasa, dari keluarga yang sederhana, keluarga tukang kayu, tidak berpendidikan tinggi dan tidak miliki jabatan politik. Namun dalam Kolose 1:19, Paulus menegaskan, ”Seluruh kepenuhan Allah berkenan diam di dalam Dia.” Artinya di dalam diri Yesus hadir Kemahamuliaan Allah, Kemahatahuan Allah, Kemahasucian Allah, Kemahahadiran Allah dan seluruh atribut Allah. Ketika berinkarnasi, Ia tidak mengurangi hakikat dan keilahian-Nya, tetapi Ia menambahkan wujud manusia yang membatasi diri-Nya. Allah yang bebas menjadi manusia yang terbatas, Allah yang kaya menjadi manusia yang miskin dan Allah yang kekal menjadi manusia yang fana. Inilah teladan perendahan diri Kristus secara sukarela yang harus kita teladani. Ajaran Paulus ini tentu sulit diterima oleh jemaat Filipi yang mayoritas orang Kristen Yunani yang menjunjung tinggi harga diri dan keunggulan diri, sehingga sikap merendahkan diri dianggap suatu kelemahan. Namun dalam keadaan sebagai manusia, Yesus telah merendahkan diri-Nya (ayat 8). Karena itu, kita perlu meneladani Kristus dengan selalu bersikap rendah hati dalam relasi dan interaksi dengan sesama, khususnya dalam keluarga. Dengarlah nasihat Petrus, Rendahkanlah dirimu seorang terhadap yang lain, sebab: "Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati." (1Ptr. 5:5-6; bdk. Yak. 4:6).

Ketiga, Yesus melayani dengan pengorbanan diri. Paulus berkata, “Yesus Mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia.” (ay. 7). Istilah “hamba” secara harfiah artinya adalah orang yang hidupnya hanya untuk melayani orang lain yaitu melayani tuannya. Yesus dengan sukarela mengambil sikap hamba yang melayani dan berkorban, seperti ditegaskan-Nya dalam Matius 20:28, “Sama seperti Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang". Paulus juga mengngontraskan pengorbanan Kristus dengan sikap jemaat yang tidak rela berkorban, tapi justru mengorbankan orang lain. Dia menulis, “dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” (ayat 8). Istilah “taat” (Yunani: hupekoos: submissive, obedient), artinya bersikap tunduk dan patuh. Dalam inkarnasi, Yesus sepenuhnya Allah sejati dan manusia sejati pada waktu bersamaan yang selalu tunduk dan patuh kepada Bapa (Yoh. 1:14). Jiwa yang rela melayani dengan pengorbanan diri seperti Yesus Kristus ini seharusnya juga kita miliki, bukan? Berhentilah mencari puji-pujian dan kepentingan sendiri yang sia-sia, tetapi kepentingan sesama dan demi kemuliaan Tuhan. Kiranya Tuhan memberkati kita semua.(SL)

APLIKASI KEHIDUPAN

Pendalaman

Sebutkan apa saja teladan Tuhan Yesus yang diajarkan oleh Paulus dalam Filipi 2:1-11 dan jelaskan alasan mengapa dia mengajarkan teladan Yesus tersebut?

Penerapan

Hal-hal praktis apa saja yang dapat Anda lakukan dalam membangun relasi dan kehidupan keluarga Anda bercermin dari teladan Tuhan Yesus yang rendah hati, rela melayani dengan pengorbanan diri?

SALING MENDOAKAN

Akhirilah Care Group Anda dengan saling mendoakan satu dengan yang lain.