Bagikan artikel ini :

Altruisme

“dengan tidak mencari kepentingan sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga.” Flp 2:3-4

Sanjit “Bunker” Roy adalah anak yang cerdas dan menempuh pendidikan di salah sekolah terbaik di India. Masa depannya sudah pasti cerah. Ibunya sudah berharap ia akan menjadi dokter, insinyur atau staf di Bank Dunia. Tahun itu, 1965, kelaparan hebat terjadi di propinsi Bihar. Bunker, masih muda kala itu, bersama teman-temannya berkunjung ke sana. Setelah beberapa minggu, ia mengatakan kepada ibunya bahwa ia akan tinggal di suatu desa yang terpapar bencana itu. “Lalu kamu mau buat apa di sana?” Bunker menjawab, “Jadi buruh, gali sumur.” Ibunya hampir pingsan. Anggota keluarga lain menghibur ibunya, “Ah, jangan khawatir. Anak remaja memang masih idealis. Nanti juga bosan sendiri.” Akan tetapi, Bunker tidak pernah pulang lagi. Empat puluh tahun ia tinggal di desa-desa. Selama enam tahun ia menggali tiga ratus sumur di pinggiran Rajasthan. Ibunya tidak mau berbicara kepadanya selama bertahun-tahun. Tidak berhenti pada menggali sumur, ia melakukan hal-hal lainnya, seperti melatih emak-emak untuk membuat pembangkit listrik tenaga matahari. Bertahun-tahun ia dibiarkan bahkan dikritik pemerintah setempat dan organisasi internasional. Tetapi ia bertahan. Sekarang ini ia didukung pemerintah India dan organisasi lain. Ibunya bangga terhadapnya.

Tindakan Bunker adalah perwujudan sikap altruis. Altruisme adalah keinginan untuk melakukan sesuatu yang mementingkan orang lain dengan tulus atau tanpa motivasi tersembunyi. Seorang altruis memberi waktu, perhatian, tenaganya kepada orang lain tanpa memikirkan keuntungan apa yang didapat bahkan kadangkala menghadapi risiko yang membahayakan dirinya.

Dalam Alkitab kita menemukan contoh-contoh tokoh altruis, misalnya janda di Sarfat (1Raj 17), Tabita (Kis 9:36-39), orang Samaria yang baik hati (Luk 10). Tuhan Yesus adalah contoh paling nyata tentang altruisme karena Ia bahkan memberikan nyawa-Nya bagi manusia. Ayat-ayat tentang altruisme juga tersebar dalam kitab-kitab PL dan PB, misalnya Flp 2:3-4, Mat 7:12, Im 19:18, dll.

Altruisme dan Belas Kasihan

Belas kasihan adalah respon emosional terhadap kebutuhan orang lain dan mendorong seseoran untuk membantu dengan perbuatan yang konkret, yang disebut tindakan altruis. Seorang merasa berbelas kasihan ketika melihat penderitaan orang lain dan tergerak hatinya untuk membantu meringankan penderitaan itu. Seseorang yang punya belas kasihan tidak melihat apakah orang lain bisa membalas atau tidak. Belas kasihan lebih kuat daripada perasaan akan menerima balasan atau keuntungan. Intinya, belas kasihan menjadi “bahan bakar” bagi tindakan altruis. Selama seseorang memilik belas kasihan, maka tindakan altruis menjadi hal yang dapat dilakukannya. Akan tetapi, belas kasihan hanya akan menjadi pepesan kosong jika seseorang tidak berbuat apa-apa melihat kesusahan sesamanya.

Dua Macam Altruisme

Ada dua macam altruisme. Yang pertama adalah altruisme natural, yaitu perwujudan perbuatan baik secara spontan karena kecenderungan biologis manusia. Misalnya, naluri merawat anak, keluarga atau orang yang dikasihi dan biasanya kepada orang yang berlaku baik kepada kita. Altruisme semacam ini adalah bawaan dan tidak perlu dilatih. Tentu saja cakupannya sempit, yaitu terbatas pada orang yang kita kasihi, kenal atau berlaku baik kepada kita. Altruisme natural juga sulit diperluas kepada orang asing apalagi musuh. Daya tahannya juga tidak lama karena bisa berubah ketika sikap orang lain berubah menjadi tidak menyenangkan kepada kita.

Kedua, altruisme yang diperluas. Altruisme jenis ini tidak spontan dan harus dipelajari dan dibiasakan. Akan tetapi, setiap orang bisa diajarkan untuk melampaui limit altruisme natural. Altruisme jenis ini tidak lagi terbatas pada lingkaran orang-orang dekat atau yang dikenal tetapi meluas pada orang-orang lain. Ajaran Tuhan Yesus tentang mengasihi musuh adalah contoh konkret altruisme ini. Sedangkan contoh kasus paling jelas adalah orang Samaria yang baik hati. Ia mengasihi dan menolong korban perampokan yang sebenarnya tidak sesuku dan seiman dengannya bahkan secara historis adalah musuh bebuyutannya.

Niat Baik Tidak Cukup

Niat baik adalah syarat mutlak untuk sebuah perbuatan disebut altruis. Akan tetapi, niat baik juga harus diikuti dengan tujuan yang jelas dan baik yaitu mendatangkan kesejahteraan bagi orang lain. Dengan kata lain, motivasi sangat penting. Suatu perbuatan baik tidak disebut altruis jika motivasinya tidak tulus, misalnya untuk membanggakan diri atau mencari nama. Demikian juga tingkat pengorbanan menentukan “kemuliaan” suatu perbuatan altruis. Semakin besar pengorbanan dan risiko yang ditanggung, semakin altruis perbuatan itu. Misalnya, tindakan saya memberikan uang Rp 1000 kepada pengemis di perempatan jalan hanya dapat disebut altruis tingkat rendah karena hampir tidak membuat saya berkorban apa-apa. Selain itu, hampir tidak ada risiko yang saya tanggung karena memberikan uang itu. Tindakan Bunker yang berkomitmen membangun masyarakat miskin di India adalah altruis tingkat tinggi. Ia mengorbankan “masa depannya yang cemerlang” demi sesuatu yang dianggapnya lebih bermakna.

Sukacita atau Kebahagiaan

Apakah rasa bahagia karena bisa berbuat baik membuat suatu perbuatan baik tidak altruis? Dengan kata lain, apakah suatu perbuatan bisa disebut altruis jika pelakunya menikmati kebahagiaan dari perbuatan itu? Altruisme sejati tidak mensyaratkan penderitaan atau berkorban perasaan. Maksudnya, seorang yang menikmati rasa bahagia atau puas karena perbuatan altruisnya tetap dapat digolongkan sebagai seorang yang altruis. Seorang altruis tidak serta-merta harus menderita ketika melakukan perbuatannya atau menanggung derita. Justru tindakan altruis tidak boleh dilakukan karena keterpaksaan tetapi karena kerelaan dan kesukacitaan. Keterpaksaan membuat altruisme menjadi penindasan.

Mewaspadai Kecenderungan Kita

Meskipun baik, tindakan altruis dapat salah sasaran dan tidak efektif. Kebanyakan orang memberi donasi berdasarkan dua faktor. Pertama, faktor kesukaan atau perasaan. Jika kita melihat iklan yang menyentuh hati, misalnya tentang lembaga riset penyakit X, kita tergerak untuk memberi dana tanpa kita mempertimbangkan apakah ada lembaga lain yang lebih baik. Karena itu, lembaga amal yang punya program pengumpulan dana paling efektif atau berpromosi gencar, biasanya mendapat sumbangan lebih banyak meskipun dampak misi yang mereka jalankan rendah. Kedua, faktor permintaan. Kebanyakan donasi didapat dari pengajuan permohonan kepada para donatur. Para donatur memberi karena merasa segan jika menolak, apalagi orang-orang lain juga ikut memberi. Hal ini biasa terjadi pada acara pengumpulan dana. Naluri kita adalah mengikuti kecondongan orang banyak. Memberi karena faktor permintaan ini seringkali membuat kita mengabaikan kebutuhan lembaga sosial lain yang berdampak lebih besar namun tidak mengajukan permintaan kepada kita.

Agar tindakan altruisme kita efektif, maka kita tidak bisa asal berbuat baik atau asal memberi. Ada alat ukur, survei, penelitian sederhana atau prinsip-prinsip yang bisa dipakai untuk menentukan apakah tindakan altruis atau pemberian kita itu benar-benar tepat sasaran dan efektif di tangan lembaga atau orang yang mengelolanya. Jangan sampai niat baik kita justru dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk tujuan yang tidak efektif, tidak jelas atau malah justru merugikan. * (BSB)