Bagikan artikel ini :

Beyond Border (Melampaui Batasan)

Kisah Para Rasul 15:1-21a

Dalam sejarah gereja, ada dua gerakan ekstrim yang umum terjadi, dan keduanya saling tarik menarik. Yang pertama adalalah legalisme dan kedua adalah antinomianisme.

  1. Legalisme

Legalisme menekankan kondisi seseorang dalam menaati hukum Taurat yang dilakukan secara berlebihan sehingga karya keselamatan Kristus dianggap kurang dan perlu ditambah dengan perbuatan baik atau praktik ritual tertentu. Dengan kata lain, legalisme mengajarkan seseorang yang percaya Yesus dan harus mengadopsi budaya atau memenuhi hukum secara sempurna, supaya dapat dikatakan sebagai orang Kristen—yang diselamatkan.

  1. Antinomianisme

Antinominianisme menekankan anugerah Kristus secara berlebihan, sehingga hukum Taurat tidak lagi memiliki relevansi atau tidak dibutuhkan lagi dalam kehidupan kerohanian. Intinya, Tuhan tidak mengharuskan manusia menaati aturan moral atau kewajiban tertentu. Masalah yang kerap terjadi adalah tindakan pembenaran untuk melakukan perilaku tidak etis dan yang menyimpang, dengan alasan mereka sudah diselamatkan oleh anugerah dan tidak lagi terikat oleh hukum moral apapun.

Tentu posisi Kristen yang Alkitabiah tidaklah berpijak pada Legalisme ataupun Antinominianisme. Kekeristenan yang Alkitabiah percaya bahwa Kristus satu-satunya Juru Selamat yang menyelamatkan. Manusia tidak perlu lagi melakukan hukum Taurat untuk memperoleh keselamatan. Namun orang yang sudah diselamatkan oleh anugerah Yesus tetap dipanggil untuk melakukan hukum Taurat supaya mereka bertumbuh dan mengalami kedewasaan. Mereka berjalan dalam jalur yang tepat dan benar melalui tuntunan Taurat Tuhan. John Flavel seorang Puritan pernah menyatakan, ‘’While the New Testaments believer was no longer under the ‘law’ in the cultic, ceremonial, and judicial sense, he was bound to obey the law of Christ.’’ (Meskipun orang percaya yang hidup dalam Perjanjian Baru tidak lagi hidup dalam hukum dalam arena ritual, perayaan dan hukum mereka tetap terikat pada Hukum Kristus). Westminister Confession of Faith juga menegaskan sekalipun orang percaya tidak lagi dibawah hukum Taurat, namun hukum itu tetap menjadi pedoman hidup (rule of life) yang menginformasikan akan apa yang menjadi kehendak Tuhan (Lihat WCF 19:VI)

Dalam Kisah Para Rasul 15, ada konsili besar yang terjadi di Yerusalem. Konsili tersebut berusaha menjawab isu yang ada saat itu yang berpotensi mengancam kesatuan gereja. Ada sekelompok orang Kristen Yahudi menyatakan bahwa jikalau seseorang non-Yahudi hendak menjadi orang Kristen, mereka harus menjadi orang Yahudi terlebih dahulu (menaati segala budaya, hukum, kebiasaan). Tidak ada keselamatan tanpa sunat, ini yang menjadi penegasan mereka (Kis. 15:1).

Dalam tindakan yang mereka lakukan, orang Yahudi tersebut bisa dikategorikan dalam kelompok legalistik. Meskipun demikian, tentu ini bukan hal yang mudah. Dapat dimengerti bahwa tendensi legalsitik itu berangkat dari sejarah mereka sebagai umat pilihan Allah pada masa lampau. Warren W. Wiersbe berkata, ‘’Tidak mudah bagi orang-orang Yahudi ortodoks itu untuk melihat sistem kepercayaan mereka yang luhur, yang diberikan Tuhan, dan sudah digenapi dalam Kristus, tidak berlaku lagi. Bukannya meninggalkannya, mereka malah merusaha mencampurkan agama lama itu dengan agama yang baru.’’

Tradisi dan akar sejarah mereka yang kental dan sudah mendarah daging adalah batasan yang menghalangi mereka untuk dapat melihat bagaimana anugrah Tuhan bekerja secara dinamis dalam lingkup non-Yahudi. Akhirnya, melalui pertemuan dan juga perbincangan dengan para rasul serta tuntunan hikmat Roh Kudus, kondisi yang berpotensi konflik ini dapat diselesaikan dalam konsili dengan memfokuskan pada yang utama dan terutama. Para rasul sepakat bahwa hukum Taurat tidak dapat dijadikan sebagai batasan atau penghalang atas orang non-Yahudi yang rindu berbalik dan percaya pada Yesus. Injil seharusnya menghapuskan tendensi legalistik radikal.

Namun pada saat yang sama, ini bukan berarti memberikan sebuah lisensi untuk orang non-Yahudi bebas melakukan apapun, tanpa ada ikatan moral dan prinsip yang menuntun kehidupan seperti yang ditekankan kaum Antinominianisme. Para rasul menghimbau orang non-Yahudi yang sudah percaya, tetap melihat hukum Musa yang baik untuk dihidupkan secara praktis bukan legalis. Maksudnya adalah agar mereka menjalani kehidupan nyata yang membedakan mereka dari bangsa pagan yang belum percaya Tuhan yaitu supaya mereka menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulan, dari daging binatang yang mati dicekik dan dari darah (Kis. 15:20, 29: Perintah tersebut merujuk pada Imamat 17 dan 18). Pada akhirnya, keputusan konsili menimbulkan ‘’sukacita’’ (ayat 31).

Konsili yang terjadi di Yerusalem ini mengajak kedua belah pihak untuk keluar dari pembatasan mereka. Orang Yahudi yang cenderung mempraktikan legalisme dan orang non-Yahudi yang cenderung menyukai pola Antinominian sama-sama berpusat pada Injil Kristus yang menyelamatkan. Ketika para rasul tidak berpihak pada batasan tertentu namun melihat secara objektif melalui border Injil, mereka bergerak melampaui border, melampaui pikiran mereka yang sempit dan masuk ke dalam ekspansi pemikiran kebenaran yang lebih dalam dan luas, yang kini hadir melalui Injil Kristus Yesus. Timothy Keller seorang pastor dan Teolog Reformed pernah berkata, ‘’Both legalism and antinominianism are healed only by the Gospel.’’ (Baik legalisme maupun antinominianisme, keduanya dipulihkan hanya melalui Injil).

Sebagai kesimpulkan, hanya melalui Injil Kristus Yesus, seseorang dapat bergerak h border. Menjadi saksi nyata bagaimana kuasa Injil mengubah perspektif yang sempit dan membagikannya bagi orang yang belum percaya dan mengenal berita Injil Kristus yang sejati. (YCT)