Bagikan artikel ini :

Bohong Putih? Bolehkah dalam Kristen?

Setiap orang pernah berbohong dalam hidupnya, meski mengetahui bahwa tindakan itu salah. Sebuah studi yang dilakukan terhadap dua ribu orang dewasa Amerika pada bulan Agustus 2022 menyatakan bahwa mereka mengatakan kebohongan empat kali per hari.[1] Hasil studi itu memang mengagetkan, apalagi kalau kebohongan yang dilakukan adalah sesuatu yang merugikan orang lain. Namun, bagaimana jika kebohongan tersebut tidak merugikan orang lain? Apakah kebohongan kecil saja dibolehkan? Atau jika kejujuran menyakitkan bagi orang lain atau kita?

Menelaah Bohong Putih

Bohong dalam arti yang lebih luas dapat diartikan sebagai berbagai macam penipuan, baik dalam bentuk perkataan atau tulisan atau tindakan yang bertujuan untuk menipu orang lain. Namun, penulis ingin mendefinisikan bohong dalam artian yang lebih sempit agar pembahasan materi dapat lebih efektif.  Penulis memakai definisi bohong dari seorang teolog bernama Wayne Grudem yang mengatakan, “bohong (lying) adalah menegaskan dalam perkataan atau tulisan sesuatu yang Anda anggap salah.”[2]

Jenis bohong yang cukup susah untuk disikapi adalah kebohongan kecil atau untuk maksud yang baik, yang biasa kita kenal dengan istilah bohong putih. Jenis bohong tersebut disebut “putih” karena digunakan bukan untuk maksud mencelakakan, malah untuk membantu atau melindungi orang lain, atau tidak merugikan siapa pun. Sebagai contoh: mengatakan makanan enak kepada istri padahal rasanya tidak demikian, memuji-muji atasan meski tidak layak dipuji, atau menuliskan caption yang tidak sesuai fakta pada foto di Instagram atau Facebook. Jadi, bohong putih dapat dimengerti sebagai bohong yang menegaskan dalam perkataan atau tulisan sesuatu yang Anda anggap salah tanpa merugikan dan melukai orang lain, atau untuk membantu orang lain. Yang menjadi pertanyaan, apakah bohong putih diperbolehkan? Sebagai orang Kristen bolehkah kita mengizinkannya?

Argumen-Argumen tentang Bohong Putih

Posisi bohong putih dalam Kekristenan tidak mudah diputuskan karena ada pro dan kontra mengenai hal tersebut. Ada beberapa argumen tentang bohong putih yang harus diberi tanggapan agar tidak terjadi salah paham. Paling tidak ada dua argumen utama yang banyak diutarakan mengenai bohong putih ini.

Pertama, ‘bohong putih seharusnya diizinkan untuk dilakukan karena hasilnya bukan untuk melukai atau merugikan orang lain.’ Argumen ini berfokus secara utama kepada hasil atau tujuan dari bohong tersebut, secara sederhana tujuan yang benar mengesahkan segala cara yang dilakukan. Pandangan demikian sangat mencerminkan paham pragmatisme yang berfokus pada keberhasilan menyelesaikan masalah dan utilitarianisme yang berfokus pada hasil yang bermanfaat bagi orang lain. Namun, hal ini tidak mencerminkan pandangan Alkitab. Amsal 6:16-17 dengan jelas menyatakan bahwa Tuhan membenci “lidah dusta.” Alkitab tidak menyatakan bahwa Tuhan menutup mata terhadap bohong putih, yang berarti bohong tetaplah bohong di hadapan Tuhan. Lantas, bagaimana dengan bohong yang melibatkan nyawa orang?

Salah satu kasus bohong yang melibatkan nyawa orang adalah kasus Corrie Ten Boom. Ia dan keluarganya menyembunyikan orang-orang Yahudi dari kejaran tentara Nazi yang hendak menangkap serta menyiksa mereka. Ia terpaksa berbohong ketika tentara-tentara Nazi datang merazia rumahnya untuk menyelamatkan orang-orang Yahudi tersebut. Apakah bohong yang demikian diperbolehkan? Alkitab memang tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai kondisi ini, tetapi prinsip kebenaran tidak berubah, ‘bohong tetaplah bohong.’ Wayne Grudem juga mengatakan bahwa kita tetap dapat memilih untuk diam dan tidak mengatakan lokasi orang-orang Yahudi tersebut.[3] Terlebih dari itu, Tuhan Yesus pernah berjanji kalau murid-murid-Nya berada dalam posisi tersebut maka Roh Kudus akan mengajarkan apa yang harus dikatakan “pada saat itu juga” (Mat. 10:18-20).

Kedua, Alkitab (sepertinya) juga mendukung atau mengizinkan bohong putih. Dua kasus yang paling disorot adalah tentang Rahab yang berbohong untuk menyelamatkan mata-mata Israel (Yos. 2:1-7) dan para bidan yang menyelamatkan bayi-bayi Israel (Kel. 1:15:21). Kedua kasus ini seperti mendapat persetujuan untuk berbohong dari Tuhan, karena Rahab dan para bidan mendapat perkenanan dari Tuhan.

Tuhan memang memberikan perkenanan bagi Rahab dan para bidan, tetapi bukan karena kebohongan mereka. Rahab dipuji oleh Tuhan karena dengan iman ia menyambut pengintai-pengintai dengan baik (Ibr. 11:31). Para bidan juga mendapat kebaikan dari Tuhan karena mereka “takut akan Allah,” bukan karena kebohongan mereka (Kel. 1:20-21). Jadi Alkitab dengan jelas menolak “kebenaran” dari bohong putih meski dengan kasus-kasus yang ada, bohong tetaplah bohong. Lantas bagaimana kita harus menyikapi bohong putih?

Menyikapi Bohong Putih dalam Terang Alkitab

Orang Kristen harus menyikapi bohong putih dengan menyadari peran yang sudah ditentukan Allah sejak penciptaan. Manusia ditetapkan Allah untuk menjadi “gambar dan rupa-Nya” dalam dunia ciptaan-Nya (Kej. 1:28). Istilah “gambar dan rupa” tersebut berfungsi seperti perwakilan dari raja yang berkuasa atas daerah itu dan harus mencerminkan kebijakan serta karakter pemerintahan dari sang Raja. Inilah konsep Imago Dei dalam teologi Reformed yang menggambarkan panggilan mendasar manusia adalah merefleksikan Allah sebagai wakil-Nya dalam dunia.

Allah yang diwakili oleh manusia adalah Allah yang di dalam-Nya tidak memiliki kepalsuan apa pun. Alkitab bahkan dengan jelas menyatakan bahwa Allah tidak dapat berbohong (Tit. 1:2; Ibr. 6:18). Allah adalah sumber kebenaran, sedangkan sumber kebohongan adalah dari Iblis, “bapa segala dusta” (Yoh. 8:44). Lalu bagaimana jika kita masih susah untuk meninggalkan dosa ini?

Manusia hanya dapat meninggalkan bohong putih ketika menemukan dirinya dalam Tuhan Yesus. Di dalam Yesus sudah tersedia pengampunan atas segala dosa, termasuk juga dosa bohong putih tersebut. Tuhan Yesus juga memberikan teladan bagaimana Ia dicobai dan tidak berdosa (Ibr. 4:15). Ia juga mendirikan sebuah kumpulan orang-orang yang ditebus-Nya yang dapat saling mendukung untuk tidak jatuh dalam dosa kembali. Ia mengajarkan untuk “berpegang dengan teguh dalam kasih” (Ef. 4:15). Kita dapat belajar untuk mengatakan kebenaran bukan dengan sembarangan, tetapi dengan kasih. Memang mengatakan kebenaran tidak semudah itu tetapi marilah kita belajar untuk mulai mengatakannya, karena jika tidak yang muncul hanyalah kebohongan demi kebohongan.

Belajar untuk tidak melakukan bohong putih bukanlah hal yang sederhana dan mudah. Kebiasaan tersebut mungkin sudah mengakar dalam masyarakat masa kini, seperti budaya di tempat kerja, budaya mem-post di media sosial, atau bahkan dalam budaya keluarga kita. Namun, bukan berarti tidak mungkin untuk memutusnya. Usaha untuk memutusnya dapat dimulai dengan menyadari peran kita sebagai Imago Dei, menghidupi kebenaran dalam Kristus, dan belajar melakukan dalam kehidupan. Mari nyatakan kasih melalui kebenaran dalam perkataan maupun tulisan kita yang akan merefleksikan Allah Bapa kita di surga.  *  [JP]


[1] Chris Melore, “‘You look great!’ Average person tells 4 lies per day, survey shows,” 16 Agustus 2022, diakses pada 18 Januari 2023, https://studyfinds.org/average-person-tells-four-lies-daily/.

[2] Wayne Grudem, “Christian Ethics: an introduction to biblical moral reasoning” (Wheaton: Crossway, 2018), 604, diakses pada 19 Januari 2023, Ebook.

[3] Grudem, “Christian Ethics,” 635.