Bagikan artikel ini :

Dari ketiadaan menuju keberadaan

Mazmur 90 adalah salah satu Mazmur Hikmat yang paling populer, dibacakan pada hari Sabat dan berbagai hari raya Yahudi lainnya. Mazmur ini ditulis oleh Musa, figur pemimpin terbesar dalam sejarah Israel yang memimpin keturunan Yakub keluar dari tanah perbudakan. Tetapi bukannya mengingatkan generasi-generasi penerus Israel akan perjuangan dan kegagahan mereka seperti yang lazim dilakukan, Musa justru mengingatkan mereka akan kefanaan hidup, dan agar mereka "menghitung hari-hari" sehingga mereka "beroleh hati yang bijaksana." (ay. 12). Menarik sekali bahwa mazmur yang ditulis oleh sosok besar ini bukannya terdengar heroik malah ini bernuansa pesimis!

Ribuan tahun sesudah mazmur ini ditulis, seorang filsuf Jerman yang juga pendukung Nazi menuliskan hal serupa. Di dalam bukunya Being and Time ("Sein Und Zeit") Martin Heidegger mengingatkan generasinya tentang kefanaan manusia. Filsuf eksistensialis ini mengatakan bahwa keberadaan manusia (dasein) memiliki dua karakteristik yang membedakannya dengan keberadaan-keberadaan lain.

Pertama, manusia adalah satu-satunya keberadaan yang memikirkan tentang keberadaannya sendiri. Hanya manusia yang bertanya, "Mengapa aku ada?", "Mengapa aku seorang manusia dan bukannya pohon?", "Apa artinya hidup ini?", "Haruskah aku melanjutkan kehidupan yang penuh penderitaan ini? Ataukah bunuh diri adalah jalan pembebasan yang terbaik?" Kesadaran ini merupakan berkat sekaligus kutuk. Di satu sisi, manusia adalah satu-satunya keberadaan yang berorientasi pada potensinya. Di kutub lain, kesadaran ini membuat manusia terobsesi akan ketiadaan (das nicths), dan pada saat yang bersamaan berusaha mati-matian melawannya dengan cara melupakan dan tidak membicarakannya sama sekali. Hal ini sangat nyata dalam masyarakat Tionghoa yang mana pembicaraan mengenai kematian dianggap sebagai sesuatu yang tabu.

Kedua, manusia adalah satu-satunya keberadaan yang mengalami "keterlemparan" (geworfenheit). Manusia dilemparkan di dalam suatu kondisi sosial, suatu budaya, dan suatu zaman yang dirinya sendiri tidak memiliki hak pilih sedikitpun. Manusia memiliki kehendak bebas, tetapi pada saat yang sama ia adalah makhluk yang paling tidak bebas. Segala pilihan, cara berpikir, dan tingkah lakunya merupakan cerminan budaya dimana ia dibesarkan dan dididik. Mengapa generasi Baby Boomers dan Millenials begitu berbeda padahal mereka sama-sama manusia? Jawabannya adalah karena manusia-manusia ini terlempar di zaman yang berbeda dan dijajah oleh budaya dan masyarakat yang berbeda. Tidak ada satupun manusia yang steril dari pengaruh budaya, dan inilah yang menentukan bagaimana caranya ia hidup.

Inilah yang Heidegger sebut dengan they-man (das man). Manusia menyerahkan kehendak bebasnya kepada sebuah gaya hidup yang ikut-ikutan apa yang orang lain lakukan. Akibatnya, manusia hidup tanpa otentisitas. Manusia melupakan kebebasannya. Manusia kehilangan kesadarannya yang memampukannya untuk memikirkan segala potensinya. Celakanya, masyarakat beragama juga tidak bebas dari gaya hidup they-man. "Aku menjadi orang Kristen, baca Alkitab, dan hidup seperti orang-orang di gerejaku karena keluargaku seperti itu."

Solusi apa yang ditawarkan Heidegger?Heidegger mengatakan bahwa manusia harus sadar dan membiasakan dirinya akan realita ketiadaan dengan cara berada di kuburan (suatu nasihat yang mirip dengan yang diberikan Salomo dalam Pengkotbah 7:2,4). Mengapa? Karena di sinilah manusia menyadari bahwa keberadaannya yang terpenjara dalam waktu ini cepat atau lambat akan berakhir sebagai ketiadaan, dan tidak ada satupun yang dapat membebaskannya dari ketiadaan ini. Menurut Heidegger, manusia paling bebas justru manakala ia menyadari kefanaannya. Jadi, ia harus hidup otentik untuk dirinya sendiri dan tidak ikut-ikutan gaya hidup they-man yang toh tidak dapat menyelamatkan mereka dari ketiadaan.

Sangat menarik bahwa gambaran yang diberikan Heidegger, sang filsuf ateis, mirip sekali dengan gambaran yang diberikan Musa, sang abdi Allah. Musa menggambarkan betapa fananya hidup manusia, dan bagaimana hidupnya penuh dengan kesukaran dan penderitaan. Ini adalah sebuah ajakan untuk menyadari bahwa betapapun kerasnya manusia berusaha melupakan realita ketiadaan, suatu saat ia akan berhadapan dengannya. Namun gambaran ini membawa Musa kepada suatu solusi yang jauh berbeda dari Heidegger. Mazmur 90 dimulai dengan pengakuan akan Allah sebagai tempat perteduhannya dan ditutup dengan permohonan agar Tuhan memberikan mereka sukacita dan kemurahan. Mengapa demikian ?

Berbeda dari Heidegger, sang filsuf ateis yang mengatakan bahwa tak seorangpun dapat membebaskannya dari ketiadaan, Musa sang hamba Allah mengenal siapa Pembebasnya. Allah Israel yang ia kenal adalah Allah yang tidak hanya berkuasa atas ketiadaan itu, tetapi juga Allah yang akan membebaskannya dari ketiadaan. Hidup Musa diwarnai dengan berbagai ancaman ketiadaan dan bagaimana ia dibebaskan.Ia dibebaskan dari ancaman maut sementara anak-anak laki-laki orang Ibrani yang lain dibunuh. Ia dibebaskan dari kecelakaan ketika ibunya melepaskannya di Sungai Nil sehingga ia sampai ke tangan putri Firaun dengan selamat. Ia dibebaskan dari hukuman mati sesudah ketahuan membunuh seorang mandor Mesir. Bahkan ia berkali-kali dibebaskan tiap kali orang-orang Israel hendak membunuhnya. Siapakah yang membebaskannya ? Tuhan, Allah Israel yang ia sembah adalah Pembebasnya. Bahkan ketika ia menghampiri ketiadaan itu, Tuhan-lah yang menantikannya di sana. Bahasa yang digunakan dalam Ul. 34:6 mengindikasikan bahwa Tuhan-lah yang menguburkan Musa. Tidak ada ketiadaan. Yang ada hanyalah hidup kekal.

Sekilas pandang, Mazmur 90 bernada pesimis. Tetapi doa sang abdi Allah ini sebenarnya merupakan gambaran realistis mengenai keberadaan manusia dan bagaimana ia seharusnya menjalani hidup: sadar akan kefanaannya dan selalu berlindung pada Tuhan yang membebaskannya dari ketiadaan, membawanya kepada keberadaan. ** (DO)