Bagikan artikel ini :

Kasih Yang Paling Utama

Dalam ilmu etika, dikenal tiga penggolongan yaitu etika deontologi dan teleologi. Etika deontologi mengatakan bahwa suatu tindakan adalah kewajiban moral tak peduli konsekuensinya bagi kehidupan manusia. Suatu tindakan disebut baik secara moral karena karakteristik tindakan itu sendiri bukan karena apa yang diakibatkan atau dihasilkannya baik. Sedangkan etika teolologi (atau etika konsekuensialis) mengatakan bahwa patokan dasar moralitas adalah apa yang diakibatkan atau dihasilkan oleh suatu tindakan. Etika teleologi mengerti mana yang benar dan mana yang salah, tetapi itu bukan ukuran final. Yang lebih penting adalah tujuan dan akibat. Walaupun sebuah tindakan dinilai salah menurut hukum, tetapi jika itu bertujuan dan berakibat baik, maka tindakan itu adalah baik.

Dalam kasus penyembuhan yang dilakukan Tuhan Yesus terhadap seorang yang buta sejak lahir (Yoh 9), orang Farisi menilai tindakan itu salah karena dilakukan pada hari Sabat. Jadi, prinsip yang dipegang adalah deontologi. Apapun alasannya, perbuatan Tuhan Yesus menyembuhkan orang pada hari Sabat adalah salah. Di sisi lain, Tuhan Yesus membenarkan perbuatan-Nya dengan dalih itu adalah kesempatan untuk melakukan pekerjaan Allah yang mengutus-Nya (Yoh 9:4). Misi-Nya adalah misi keselamatan dan pembebasan. Apakah itu berarti Tuhan Yesus lebih mementingkan prinsip teleologi? Bahwa tujuan yang baik lebih penting daripada benar-salahnya perbuatan itu? Sebelum kita lebih lanjut, mari kita lihat etika jenis ketiga: etika keutamaan.

Etika keutamaan menekankan kebajikan (virtue) atau karakter moral. Etika ini tidak hanya mempertimbangkan apakah perbuatan itu sesuai norma atau tidak tetapi bagaimana karakter atau pribadi si pelaku. Fokusnya adalah pada manusia sebagai agen moral. Tujuan etika ini tidak hanya melakukan perbuatan yang adil dan benar, tetapi menjadi pribadi yang adil dan benar. Etika keutamaan menjunjung nilai atau kebajikan yang luhur, seperti keberanian, kejujuran, keadilan. dsb.

Untuk memudahkan memahami, saya terapkan kisah dalam Yoh 9 ke dalam tiga macam etika ini. Bagi seorang deontologis, tindakan menyembuhkan pada hari Sabat jelas salah karena melanggar aturan Sabat. Bagi seorang teleologis, tindakan itu benar karena tujuannya baik yaitu memberikan kesembuhan bagi si lumpuh. Bagi etika keutamaan, tindakan itu adalah perwujudan kasih kepada sesama. Virtue kasih menjadi landasan tindakan Tuhan Yesus. Dalam hal ini, motivasi batin menjadi dasar pertimbangan yang penting.

Kalau begitu, apakah Tuhan Yesus mengabaikan hukum Taurat sama sekali? Bukankah Alkitab mencatat banyak tindakan Tuhan Yesus bertentangan dengan peraturan agama Yahudi? Tentu tidak demikian. Ia sendiri mengatakan tidak bermaksud meniadakan hukum Taurat (Mat 5:17). Dalam banyak hal, Ia menaati Taurat dan tradisi orang Yahudi. Di sisi lain, Ia tidak membela prinsip “tujuan yang baik menghalalkan segala cara.” Meskipun Ia berkali-kali membuat mujizat kesembuhan pada hari Sabat, semua itu dilakukan-Nya bukan untuk membenarkan etika teleologi. Pesan yang ingin disampaikan-Nya adalah ketaatan pada Taurat tidak boleh membuat manusia kehilangan hakekat yang lebih penting yaitu kasih. Tentu yang dimaksud bukan kasih yang buta atau kasih atas dasar kesenangan belaka. Kasih yang dimaksud adalah kasih yang membawa manusia pada pembebasan dari kebutaan dan perbudakan dosa.

Mengapa Tuhan Yesus menyembuhkan orang buta itu? Karena Ia ingin menegaskan diri-Nya sebagai Terang dunia (Yoh 9:5). Tindakan mencelikkan mata orang buta itu adalah tindakan simbolis dari misi-Nya yang sesungguhnya yaitu membebaskan manusia dari kehidupan yang gelap, sia-sia dan menuju kebinasaan kekal. Dalam Injil Yohanes, ada tujuh pernyataan Tuhan Yesus tentang diri-Nya: “Aku adalah...” (roti hidup; terang dunia; pintu; kebangkitan dan hidup; gembala yang baik; jalan, kebenaran dan hidup; pokok anggur yang benar). Semua itu mengacu pada misi-Nya untuk memberikan manusia kepenuhan hidup (Yoh 10:10b).

Jadi, kalau Tuhan Yesus melanggar aturan hari Sabat demi menyembuhkan orang sakit, semua itu dilakukan-Nya bukan untuk unjuk kekuasaan atau pemberontakan atas hukum Taurat atau ingin menyatakan bahwa tujuan baik melegalkan pelanggaran hukum. Sama sekali tidak. Ia menghidupi prinsip keutamaan (virtue) yang disebut kasih agape. Kasih yang menghendaki kebaikan tertinggi bagi manusia. Kasih yang bukan saja menghendaki dan mengusahakan keselamatan dan kesejahteraan jasmani tetapi damai-sejahtera (shalom) yang holistik. Oleh karena itu, orang buta itu bukan saja dapat melihat setelah disembuhkan, tetapi mengalami pembaruan hidup yang seutuhnya setelah perjumpaannya dengan Tuhan Yesus. Silakan Anda baca Yohanes 9 seluruhnya untuk mengetahui apa yang terjadi padanya setelah kesembuhan itu. * (BSB)