Bagikan artikel ini :

Ketika Keluarga Menjadi Berhala

Seringkali kita berpikir bahwa berhala hanya berupa patung-patung atau hal-hal yang jahat dan tidak baik. Namun, yang sering tidak kita sadari adalah bahwa hal-hal yang tampaknya baik, seperti kesehatan, pelayanan, bahkan keluarga, juga bisa menjadi berhala. Apapun yang kita tempatkan di atas Tuhan – entah itu sesuatu yang terlihat atau tidak – dapat menjadi berhala dalam hidup kita. Pada dasarnya, berhala adalah segala sesuatu yang kita utamakan, yang secara perlahan menggantikan posisi Tuhan di hati kita. Keluarga, meskipun merupakan anugerah dari Tuhan, dapat menjadi berhala ketika kita menjadikannya lebih penting daripada hubungan kita dengan Tuhan sendiri.

Dalam keluarga Yakub, misalnya, beberapa anggota keluarganya secara tidak sadar telah menjadikan anggota keluarga lain sebagai berhala (Kej. 29-30). Yakub sangat mencintai Rahel hingga perasaannya padanya menggeser prioritasnya terhadap Tuhan, menjadikannya pusat kehidupannya dan mengabaikan keadilan bagi istri-istri dan anak-anaknya yang lain (Kej. 29:18-30). Lea, yang merasa tidak dicintai oleh Yakub, berusaha mendapatkan kasih sayang suaminya dengan melahirkan banyak anak, berharap bahwa Yakub akhirnya akan mencintainya, sehingga membuat Yakub menjadi berhala dalam hidupnya (Kej. 29:30-35). Sementara itu, Rahel, yang lama tidak memiliki anak, sangat mendambakan seorang anak hingga akhirnya menjadikan keinginannya untuk memiliki anak sebagai berhala, menempatkan hasrat itu di atas hubungan spiritualnya dengan Tuhan (Kej. 30:1-2). Ketiga individu ini menunjukkan bagaimana keinginan berlebihan terhadap hubungan keluarga dapat menggeser fokus utama mereka dari Tuhan.

Apa yang terjadi pada keluarga Yakub bisa terjadi pada kita hari ini. Kita juga bisa menjadikan keluarga sebagai berhala. Misalnya, kita mungkin tergoda untuk mengorbankan integritas iman demi melindungi keluarga. Contoh serupa terlihat dalam Kisah Para Rasul 5:1-11, ketika Ananias dan Safira menjual tanah mereka dan memberikan separuh hasil penjualannya, namun mereka berbohong dengan mengaku itu adalah seluruh hasil penjualan. Bukannya saling memperingatkan saat tergoda untuk menipu, mereka justru sepakat untuk membohongi gereja Tuhan – pada intinya, membohongi Roh Kudus. Peristiwa serupa juga terjadi pada keluarga Akhan dalam Yosua 7. Ketika Akhan berdosa dengan menyembunyikan emas, perak, dan barang berharga yang seharusnya dimusnahkan, keluarganya mengetahui hal itu karena harta tersebut disembunyikan di bawah tenda mereka. Namun, mereka tidak mengkonfrontasi dosa yang dilakukan suami dan ayah mereka. Dalam kedua kisah ini, keluarga telah menjadi berhala, karena kesetiaan kepada keluarga ditempatkan di atas kesetiaan kepada Tuhan.

Berikut beberapa skenario di mana keluarga dapat menjadi berhala. Misalnya, seseorang yang begitu fokus pada kesejahteraan keluarganya sehingga mengabaikan ibadah, pelayanan, dan hubungan pribadinya dengan Tuhan. Ada juga orang tua yang sangat terikat pada kesuksesan anak-anak mereka, sehingga kebahagiaan mereka sepenuhnya bergantung pada pencapaian keluarga, bukan pada hubungan mereka dengan Tuhan. Demikian pula, jika seseorang merasa tidak bisa bahagia atau puas kecuali seluruh anggota keluarganya selalu berada di sekitarnya, itu juga menjadi tanda bahwa keluarga telah menggantikan tempat Tuhan. Dalam semua contoh ini, keluarga secara tidak sadar telah mengambil tempat utama yang seharusnya hanya dimiliki oleh Tuhan, dan dengan demikian, menjadi berhala.

Bagaimana menghindarkan keluarga menjadi berhala? Pertama, pastikan Tuhan selalu menjadi prioritas utama dalam hidup (Mat. 22:37-38) melalui doa, membaca firman, dan hidup yang memuliakan-Nya. Kedua, arahkan keluarga untuk menghormati Tuhan dalam segala hal, sehingga hubungan keluarga mencerminkan prinsip firman Tuhan (Yos. 24:15). Ketiga, latihlah hati untuk bergantung pada Tuhan, bukan pada keluarga, karena Tuhan adalah sumber utama kekuatan dan penghiburan (Mzm. 62:6-7). Keempat, jaga perspektif yang benar tentang peran keluarga sebagai anugerah Tuhan, bukan sumber utama kebahagiaan (Luk. 14:26). Kelima, libatkan keluarga dalam misi Tuhan, sehingga Tuhan selalu menjadi pusat kehidupan keluarga (Kol. 3:23-24). **PD