Bagikan artikel ini :

Parenting Ala Ayub

Kata orang, mendidik anak itu seperti main layang-layang. Supaya dapat terbang, benang layang-layang tersebut harus diulur cukup panjang. Namun, ada kalanya benang layang-layang harus ditarik supaya tidak terbang terlalu jauh dan putus benangnya.

Demikian pula dengan mendidik anak. Seberapakah kebebasan harus diberikan kepada anak? Pada umumnya generasi baby boomer, khususnya anak perempuan, dididik dengan 1001 peraturan. Salah sedikit, penjalin melayang. Di dalam Baumrind Parenting Style, model parenting seperti ini disebut authoritarian.

Sebaliknya, ada style parenting lain yaitu permissive, yakni dimana anak diberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya, bahkan ketika mereka melakukan hal-hal yang tidak sepatutnya. Mereka diperlakukan sebagai raja kecil sehingga muncullah fenomena yang disebut Golden Child Syndrome. Mungkin Anda pernah mengalami berada di sebuah pesawat, kemudian seorang anak membuat keributan sepanjang perjalanan dan orangtuanya hanya hanya mengatakan, "cup... cup... cup... Jangan nakal ya..." tetapi tidak menunjukkam ketegasan apapun untuk mendiamkannya. (Atau jangan-jangan Anda adalah orangtua yang seperti ini).

Masih lumayan jika setidaknya anak diberi perhatian, meski perhatian ini sifatnya permissive. Yang lebih sedih lagi adalah orangtua yang sama sekali tidak menghiraukan anak-anaknya, entah karena kesibukan atau karena merasa sudah memenuhi kewajiban sebagai orangtua dengan mempekerjakan pembantu. Tipe parenting seperti ini disebut uninvolved.

Jadi, cara mendidik seperti apakah yang ideal? Menurut Braumind, gaya parenting yang paling membuahkan hasil positif adalah apa yang ia sebut authoritative. Seperti gaya authoritarian, orangtua dengan gaya mendidik authoritative memiliki standard yang jelas. Di sisi lain, seperti gaya permissive, mereka memberikan penerimaan kepada anaknya. Style parenting seperti ini dikatakan dapat membuat anak menjadi pemikir yang mandiri dan kreatif karena mereka diberi kebebasan, tetapi kebebasan yang bertanggung jawab.

Bagaimana dengan orang Kristen? Kita akan setuju bahwa tipe authoritative memang paling ideal dibandingkan dengan tiga tipe lainnya. Sayangnya, ini pun masih kurang.

Alkitab di dalam Ayub 1:1-5 mencatat kehidupan seorang ayah yang dapat kita teladani. Dikisahkan seorang kaya raya bernama Ayub memiliki sepuluh anak, tujuh laki-laki dan tiga perempuan. Ada beberapa penafsiran yang mengatakan bahwa tujuh anak laki-laki ini mengadakan pesta setiap hari ulang tahun mereka, namun ada pula yang mengatakan bahwa mereka bertujuh bergiliran mengadakan pesta setiap hari selama seminggu.

Yang manapun penafsiran yang benar, kita melihat bahwa Ayub mengizinkan anak-anaknya bersenang-senang meski ada kemungkinan mereka untuk melakukan dosa. Ayub tidak mengekang mereka seperti orangtua-orangtua dengan tipe parenting authoritarian. Orangtua-orangtua seperti ini akan sangat melindungi anak-anaknya dari dunia luar sehingga tidak mengizinkan mereka pergi bersama teman, bahkan sampai tidak mengizinkan mereka memakai internet karena ada kemungkinan jatuh ke dalam dosa. Bukan ini yang Ayub lakukan.

Di sisi lain, Ayub tidak berhenti sampai di sini dan menjadi orangtua yang permissive. Ia memanggil mereka, menguduskan mereka, dan mempersembahkan korban. Ayub tidak punya bukti yang jelas bahwa anak-anaknya melakukan dosa. Namun, kenyataan bahwa mungkin saja anak-anaknya berbuat dosa membuatnya menyadari bahwa ia harus melakukan ketiga hal ini. Dengan tiga tindakan ini, Ayub menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa mereka harus memiliki standard kesucian hidup yang tinggi dihadapan Tuhan.

 Tipe parenting Ayub sepertinya adalah authoritative. Tetapi sebenarnya lebih dari itu. Presuposisi dari Alkitab adalah parenting tidak hanya tanggung jawab orangtua terhadap masa depan anak, tetapi lebih-lebih tanggung jawab kepada Tuhan. Maleakhi 2:15 mengatakan bahwa tujuan pernikahan adalah untuk melahirkan bukan hanya sekedar manusia yang sukses atau dewasa, melainkan melahirkan keturunan-keturunan ilahi. Presuposisi ini tentunya tidak dianut oleh Braumind atau teori-teori parenting lainnya.

Inilah sebabnya Ayub merasa perlu mempersembahkan korban. Meski hanya kemungkinan, ia melihat pentingnya membawa anak-anaknya kepada Tuhan agar Tuhan mengampuni mereka atas dosa-dosa mereka. Bagaimanapun, anak-anak adalah tanggung jawab orangtuanya.

Mungkin para orangtua akan mengeluh. Memertahankan balance agar tidak menjadi orangtua yang authoritarian atau permissive saja sudah susah. Sekarang harus ditambah dengan tanggung jawab kepada Tuhan. Itulah sebabnya banyak orangtua Kristen menyerahkan pendidikan spiritual anak-anak mereka kepada entah guru sekolah minggu, hamba Tuhan pembimbing remaja, atau guru agama di sekolah.

Tentunya adalah sebuah hal yang baik jika ada hamba-hamba Tuhan yang dapat dipercaya untuk mendidik anak di dalam Tuhan. Namun ingat, seperti yang dikisahkan dalam kisah Ayub, yang menjadi imam bagi anak-anak bukanlah ‘rohaniawan’ yang lain, melainkan Ayub sendiri sebagai ayah. Ingat sesudah shema atau Pengakuan Iman Israel dalam Ulangan 6:4-5. Pengakuan Iman ini dilanjutkan dengan perintah untuk mengajarkan hal ini kepada anak-anak. Ini bukan tugas orang Lewi atau imam saja, dalam hal ini para rohaniawan. Ini tugas semua orangtua.*(DBO)