Bagikan artikel ini :

Rasa Bersalah Sebagai “Alarm”

Setiap manusia pasti pernah merasa bersalah. Kita merasa bersalah ketika kita melakukan sesuatu yang tidak benar; melakukan perbuatan dosa; atau saat kita melukai orang lain. Apalagi jika karena perbuatan kita itu sampai membuat orang tersebut rugi, menderita, dan bahkan mati. Tentu hal itu akan membuat hati kita merasa bersalah. Sebenarnya perasaan bersalah ini adalah sebuah alarm untuk mempertimbangkan adanya ketidakbenaran atas perilaku, perkataan kita kepada diri sendiri, orang lain, dan Tuhan.

Dampak rasa bersalah

Rasa bersalah yang tidak segera diselesaikan akan memengaruhi seluruh kehidupan kita, seperti yang dialami oleh Daud yang dia ceritakan dalam Kitab Mazmur 32. Saat dosanya tidak dia bereskan, dia merasakan tulang-tulangnya menjadi lesu, tidak bersemangat, hatinya terasa sesak, dan berat menekannya. Hal yang sama juga dialami oleh saudara-saudara Yusuf yang telah menjual Yusuf. Hati mereka merasakan kecemasan dan ketakutan, sehingga setiap peristiwa buruk yang mereka alami selalu dikaitkan dengan kesalahan yang sudah diperbuat. Mereka berkata seorang kepada yang lain: ”Betul-betullah kita menanggung akibat dosa kita terhadap adik kita itu: bukankah kita melihat bagaimana sesak hatinya, ketika ia memohon belas kasihan kepada kita, tetapi kita tidak mendengarkan permohonannya. Itulah sebabnya kesesakan ini menimpa kita” (Kej. 42:21, 28; dsb).

Selain itu, rasa bersalah juga dapat menimbulkan masalah-masalah yang lain seperti membuat seseorang menjadi kuatir akan melakukan kesalahan yang sama padahal belum tentu hal yang dilakukan itu salah; menangisi kesalahan yang sudah dilakukan; susah tidur; mengalami gejala fisik berupa sakit perut atau ketegangan pada otot; ada juga yang merasakan kelelahan, sulit konsentrasi, menarik diri dari lingkungan, depresi, kehilangan minat, dan sebagainya.

Dari dampak-dampak di atas memperlihatkan jika rasa bersalah tidak segera dibereskan, maka ia akan mengganggu kehidupan kita. Dia mampu merenggut kebahagiaan, sukacita, dan damai sejahtera seseorang secara menyeluruh. Seiring waktu, jika rasa bersalah ini tetap dibiarkan, maka bisa membuat kita merasa lumpuh, tidak berani bertindak, takut keliru, dan akhirnya tidak memaksimalkan potensi diri. Penyandang rasa bersalah yang berlebihan identik dengan penyandang cacat: keduanya terbatasi dalam pengaktualisasian diri. Karena itu, rasa bersalah harus segera dibereskan, sehingga kita bisa hidup bebas dengan hati yang merdeka.

Penyelesaian rasa bersalah

Pertama, datang kepada Tuhan. Perasaan bersalah tidak dapat ditekan dan dialihkan pada hal-hal yang lain, atau melakukan semacam kompensasi melalui moralitas, melalui agama, ataupun kebudayaan. Itu hanya pelarian, bukan penyelesaian masalah. Kita harus menghadapinya dengan cara datang kepada Tuhan dan membereskannya di hadapan Tuhan. Karena tidak ada kebahagiaan yang sejati, tidak ada jalan keluar yang sesungguhnya dari masalah rasa bersalah, selain kembali kepada Tuhan. Ibrani 10:22 mengatakan, “Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni.”

Kedua, mengakuinya dihadapan Tuhan. Daud setelah dia berzinah dengan Barsyeba dan membunuh Uria, dia berusaha menyembunyikan semua tindakannya itu, seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Tetapi hati nuraninya selalu menuduhnya, pikirannya selalu diingatkan akan dosanya, dan hal tersebut sangat menekannya. Akhirnya, dia memutuskan untuk mengakui dan menceritakan semua perbuatan dosanya kepada Tuhan. Dia mengatakan, “Dosaku kuberitahukan kepada-Mu dan kesalahanku tidaklah kusembunyikan; aku berkata: ”Aku akan mengaku kepada TUHAN pelanggaran-pelanggaranku,” dan Engkau mengampuni kesalahan karena dosaku” (Mazmur 32:5). Setelah mengakui dosanya, dia pun mendapatkan kelegaan dan berkata, “Berbahagialah orang yang diampuni pelanggarannya, yang dosanya ditutupi! Berbahagialah manusia, yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan, dan yang tidak berjiwa penipu!” (Mazmur 32:1-2).

Mengakui dosa dihadapan Tuhan membuat kita mendapatkan kelegaan, sukacita, dan damai. Luther Mays mengatakan, “Pengampunan Tuhan adalah dasar pertama dan prinsip kehidupan umat Tuhan”, kita tidak bisa membicarakan ucapan “berbahagia” yang lain tanpa “berbahagia” yang ini, yaitu “berbahagia orang yang kesalahannya tidak diperhitungkan Tuhan”. John Calvin mengatakan, semua yang dikatakan kitab suci tentang “berbahagialah”, bergantung pada berbahagia yang satu ini, yaitu pengampunan Tuhan.

Tuhan Yesus telah datang ke dalam dunia menjadi tebusan bagi kita, sehingga kita yang percaya di dalam nama-Nya, mendapatkan pengampunan dosa. Tetapi bagi orang yang menolak Tuhan Yesus, tidak ada jalan keluar dari perasaan bersalahnya, dia tidak tahu harus pergi ke mana. Mungkin dia bisa saja mengaku dosa kepada orang yang telah dia lukai, tapi kita tahu, tidak selalu ada kesempatan untuk itu. Ada anak-anak yang begitu menyesal ketika orangtuanya meninggal, ada perasaan bersalah, dan mereka sudah tidak bisa minta maaf lagi karena orangtuanya sudah pergi. Ada orang yang kepadanya kita bersalah, tapi kita tidak bisa ketemu dia lagi. Itu sebabnya Alkitab menyediakan cara bagi manusia ini, yang juga adalah cara Tuhan, yaitu menyelesaikan dan mengakui dosa di hadapan Allah yang Maha pengampun.

Yesaya 44:22 mengingatkan kita bahwa “Aku (Allah) telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!” Itulah janji yang Tuhan berikan kepada setiap kita, bahwa Dia pasti mengampuni segala pelanggaran kita. Yohanes meneguhkan itu dengan mengatakan, “Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dos akita dan menyucikan kita dari segala kejahatan (1Yoh. 1:9).
Aplikasi:

Pertama, lakukan pengakuan dosa dengan kejujuran dan integritas. Jangan berpura-pura seperti kelihatan menyesal padahal tidak menyesal, jangan berpura-pura seperti mengaku dosa tapi sebetulnya tidak ada pertobatan. Kita tidak boleh menganggap sepi anugerah atau belas kasihan Tuhan. Kita tidak dipanggil untuk mempermainkan kesabaran atau anugerah Tuhan.

Kedua, lakukan di dalam iman. Mengaku dosa adalah sesuatu yang dilakukan di dalam iman, dan iman itu menyatakan kebangkrutan pribadi di hadapan Tuhan. Roma 8:1 mengatakan, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” Tuhan telah mengampuni semua dosa kita ketika kita menyatakan iman kita kepada Dia. Dengan demikian kita menjadi merdeka “Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamu pun benar-benar merdeka” (Yoh 8:36).

Yesus telah memerdekakan hati nurani kita, sehingga kita dianugerahkan kebahagiaan yang sejati. Bukan hanya karena dosa kita telah diampuni oleh Tuhan, tetapi juga hidup kita masuk ke dalam kekudusan yang disediakan oleh Tuhan. Kita berbahagia karena kita tidak harus dan tidak lagi menjadi hamba dosa, tidak ada lagi rasa bersalah di dalam hati kita, sebaliknya kita boleh menjadi hamba kebenaran. Ini adalah kebahagiaan orang-orang yang percaya kepada Tuhan, percaya kepada Yesus Kristus.(NS)