The Love Manifesto (Manifesto Kasih)
Yesus Kristus adalah kasih dan Ia mewujudkannya dengan memberikan diri-Nya dan membebaskan mereka yang dikasihinya. Roma 8:32 menyatakan bahwa Allah Bapa memberikan anak-Nya bagi kita karena Ia sangat mengasihi kita. Sementara Yohanes 15:13 menyatakan bahwa seperti halnya Allah Bapa, Kristus pun memberikan nyawa-Nya untuk sahabat-sahabat yang dikasihi-Nya.
Hal ini berbeda sekali dengan ‘kasih’ semu yang mengikat seperti misalnya adiksi (kecanduan), dimana kita merasa begitu mengasihi seseorang atau sesuatu sehingga tidak bisa lagi terpisahkan darinya. Kita mengharapkan seseorang atau sesuatu itu bisa memuaskan kita secara lebih lagi karena kita merasa selalu ada yang kurang di dalam diri kita. Alih-alih memberi, fokusnya adalah mengambil. Tetapi sebagai dampaknya, dalam waktu yang tidak terlalu lama kita akan menyadari bahwa bukannya mengalami kasih yang memuaskan dan membebaskan, kita justru menjadi begitu terikat dan terpenjara.
‘Kasih’ semu yang mengikat dan memenjarakan alias adiksi ini jugalah yang menyebabkan terjadinya berbagai bentuk kekerasan. Akar dari perang bisa saja karena adanya adiksi yang saling bertentangan di area kepemilikan, ideologi, teritori atau cara hidup. Bahkan kekerasan dan perang itu juga bisa menjadi adiksi tersendiri. Hitler mengobarkan semangat adiksi ini melalui sarana ideologi kecintaan kepada tanah air dan superioritas ras. Mereka yang dianggap tidak mendukung dan tidak sesuai dengan wujud adiksi ini segera dilenyapkan. Sejarah mencatat ada lebih dari 10 juta manusia yang nyawanya hilang karena tidak sesuai dengan adiksi versi Hitler.
Kebebasan yang diberikan oleh kasih bukanlah kebebasan yang semena-mena. Gerald G. May yang banyak menulis mengenai adiksi menyatakan ada perbedaan nyata antara adiksi yang mengikat dan kasih yang berkomitmen. Perbedaannya adalah antara ketergantungan yang tidak sehat (codependence) dengan belas kasihan; antara memuaskan kebutuhan satu pihak saja dengan saling memuaskan kebutuhan (terdapat mutualitas) dan antara dikuasai oleh rasa malu dengan adanya keberhargaan diri.
Adiksi juga menyebabkan seseorang mengambil keputusan dan melakukan tindakan di luar kehendak dirinya. Salah satu contoh menariknya adalah dari eksperimen psikologi sosial yang dilakukan oleh Stanley Milgram di tahun 1963. Milgram menyaksikan persidangan terhadap Adolf Eichmann, pimpinan operasi Nazi yang mendeportasi tiga juta orang Yahudi ke camp-camp pembantaian di masa Perang Dunia kedua. Selama persidangan, Eichmann sama sekali tidak menunjukan penyesalan dan meyakini bahwa dirinya tidak bersalah karena semua yang dilakukannya adalah karena ia menikuti perintah atasan semata. Ketika akhinya ia dihukum mati, kata-kata terakhir Eichmann adalah “Panjang umur Jerman, panjang umur Argentina, panjang umur Austria Ini adalah tiga negara yang paling terkoneksi denganku dan yang tidak akan kulupakan. Aku memberi salam pada istriku, pada keluargaku dan pada para sahabatku. Aku siap. Kita akan bertemu lagi seperti halnya nasib dari semua manusia. Aku mati dengan percaya kepada Tuhan.” Eichmann mati di tiang gantungan setelah mengekspresikan ‘manifesto kasihnya’ yang adiktif, egois dan buta.
Melihat realita ini, Milgram lalu membuat eksperimen yang membuktikan bahwa kebanyakan orang itu seperti Eichmann. Dalam eksperimen yang diikuti oleh berbagai kalangan, mereka diminta untuk memilih tindakan antara mengikuti hati nurani yang berbelas kasihan atau bertindak kejam sesuai perintah pemimpin. Mayoritas ternyata memilih untuk taat pada pemimpin walaupun hal itu bertentangan dengan hati nurani mereka. Banyak yang sungguh-sungguh merasa terganggu dan tersiksa dengan pilihan ini, tapi akhirnya tetap memilih untuk ‘taat pada pemimpin’ dan melepaskan diri dari tanggung-jawab moral akibat keputusan tersebut. Fokus mereka bukanlah pada kasih yang memberi dan membebaskan, tapi pada adiksi egois yang berfokus pada usaha-usaha untuk melindungi diri sendiri.
Karena itu sungguh merupakan kemewahan ketika ada orang-orang yang mewujudkan manifesto kasihnya sesuai dengan teladan Yesus Kristus: kasih yang memberi dan membebaskan. Dalam sejarah GII Hok Im Tong ternyata ada juga orang-orang yang meneladani kasih Kristus yang semacam ini (seperti yang tercatat dalam “Buku Peringatan ke-80”).
Ketika itu jemaat sedang mulai akan melakukan pembangunan gedung gereja. Namun di tahun 1941, tentara Jepang mengerahkan serangannya ke daerah Selatan Bandung. Karena itu majelis gereja memutuskan untuk menghentikan dulu dana pembangunan. Tetapi mereka kebingungan untuk menyimpang uang itu karena menyimpan dana milik sendiri pun sulit. Tetapi bapak Thio Bun Liong (Chang Wen Lung) memutuskan untuk memberi diri dan mengambil resiko. Dengan menggendong kantung puluhan kilo berisi kepingan uang (mata uang Belanda), ia naik sepeda sepanjang 10 km pulang ke desanya untuk menyembunyikan uang itu di sana. Ia melakukannya dengan hati-hati karena jika sampai ketahuan bisa berbahaya. Ketika situasi aman, ia mengembalikan uang itu tanpa kurang sekeping pun. Di masa ketika sudah aman kembali, dana itu digunakan untuk bisa membangun gedung gereja dimana banyak orang yang beribadah dengan bebas dan nyaman.
Teladan semacam ini adalah wujud dari manifesto kasih yang memberi dan membebaskan. Bersediakah kita juga mengikuti teladan Kristus ini? (GE)