Bagikan artikel ini :

Übermensch

Setiap sistem kepercayaan, mulai dari agama yang paling fundamentalis sampai filsafat yang paling ateis sekalipun, memiliki suatu konsep mengenai manusia yang ideal. Setiap sistem memiliki kriteria bagaimana mencapai konsep ideal tersebut. Filsafat Yunani yang disebut Stoicisme, misalnya, mengajarkan bahwa seorang manusia ideal memiliki empat kebajikan yakni: kebijaksanaan (wisdom), keberanian (courage), keadilan (justice), dan kesederhanaan (temperance).

Konsep mengenai manusia ideal yang lain dicetuskan oleh Friedrich Nieztche, seorang filsuf ateis yang sangat terkenal karena karya-karyanya yang keras mengecam kekristenan zaman itu. Di dalam bukunya Thus Spoke Zarathustra, ia menamakan manusia ideal ini Übermensch, secara literal berarti "Superman." Übermensch lebih superior daripada manusia pada umumnya bukan karena ia lebih kekar, lebih cerdas, lebih kaya, atau lebih popular, melainkan karena ia memiliki pikiran yang mandiri dan tidak bergantung pada apapun. Nilai-nilai hidupnya berasal dari dirinya sendiri, bukan dari sumber-sumber atau wahyu dari luar. Ia adalah sosok mengagumkan yang membangun jalan bagi dirinya sendiri tanpa mengemis pertolongan dari pihak di luar dirinya.Ia tidak ragu untukmemiliki ambisi yang kuat dan mengejar ambisi ini meski ia harus mengorbankan beberapa pihak. Bagi Nieztche, seorang Übermensch adalah juruselamat bagi masyarakat dimana ia hidup karena ia mereformasi budaya yang ada.

Sangat menarik jika kita membandingkan konsep Übermensch Nieztche dengan kritiknya terhadap sistem etika Kristen. Di dalam esainya On the Genealogy of Morals, Nieztche menuduh kekristenan sebagai agama orang-orang yang tertindas, yang miskin, dan yang tidak berdaya. Menurutnya, kekristenan mengindoktrinasi pengikutnya dengan apa yang ia sebut sebagai moralitas budak (slave-morality). Moralitas seperti ini sebenarnya adalah kebencian yang terselubung, baik kebencian terhadap dunia ini maupun kebencian terhadap sesama manusia. Kekristenan menyelubungi kebencian dan kejijikannya terhadap dunia ini dengan suatu ide bahwa kita akan meninggalkan dunia yang terkutuk, penuh dosa, dan jahat ini menuju ke suatu tempat yang akan memberikan sukacita sempurna. Di lain pihak, kekristenan juga menyelubungi kebencian dan dendam terhadap sesama, terutama mereka yang lebih superior, dengan mengajarkan pengampunan kepada mereka yang menganiaya. Padahal, bersembunyi dibalik ajaran tersebut adalah konsep bahwa para penganiaya ini suatu saat akan dihukum dalam api yang kekal.

Bagi Nietzche, orang-orang Kristen sangat jauh dari konsep ideal Übermensch­nya. Orang-orang Kristen adalah orang yang lemah, yang hanya bisa bergantung kepada hal-hal di luar mereka. Mereka hanya bisa mengemis kepada Tuhannya untuk menghukum para penganiaya karena mereka tidak bisa menegakkan keadilan sendiri. Tetapi pada saat yang sama, mereka dengan munafiknya menutupi kebencian ini dengan pengampunan. Oleh karena itulah, Nietzche mengajak pembacanya untuk mengejar apa yang ia sebuat sebagai moralitas tuan (master-morality) yang dimiliki Übermensch dan membuang moralitas budak (slave morality) ala kekristenan.

Tetapi, apakah benar kekristenan mengajarkan apa yang Nietzche tuduhkan?Jawabanya adalah ya dan tidak. Ya, memang benar kekristenan menekankan bahwa kita adalah manusia yang lemah dan tidak berdaya. Paulus dalam 1 Korintus 15:9 menggambarkan dirinya sebagai manusia yang hina. Ia menyadari bahwa dirinya adalah pengemis yang butuh anugerah. Orang-orang Kristen adalah mereka yang tidak dapat membangun jalan maupun menciptakan moralitas sendiri karena segala aspek hidup manusia telah tercemar dosa. Jangankan menjadi juruselamat bagi orang lain, menyelamatkan diri saja ia tidak sanggup. Dalam hal ini Nietzche benar.

Akan tetapi di sisi lain, Nietzche melupakan bahwa kekristenan bukannya tanpa Sosok Übermensch. Pertanyaannya adalah: siapakah Übermensch itu dan apakah ciri Sang Übermensch. Sang Übermensch di dalam Alkitab adalah Pribadi yang tidak membangun jalan bagi diri-Nya sendiri tetapi justru membangun jalan bagi orang lain. Ia bisa saja mengejar ambisi duniawi dan mengorbankan orang lain, tetapi justru 'ambisi' yang Ia miliki adalah mengorbankan diri-Nya untuk orang lain. Dengan cara inilah pada akhirnya Ia menjadi Juruselamat dunia. Ia mereformasi budaya di dunia ini dengan suatu prinsip, "Barangsiapa terbesar diantara kami, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direncahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan."

Sang Übermensch yang diberitakan di dalam Injil adalah Yesus Kristus, yang tiap orang Kristen dipanggil untuk meneladani-Nya dan menganut nilai-nilai hidup-Nya. Ialah yang terlebih dahulu menganugerahi kasih karunia agar manusia yang lemah dan tidak berdaya ini dapat berjuang keras untuk hidup serupa dengan-Nya. Paulus, pengabar Injil dan penulis surat terbanyak dalam Perjanjian Baru, mengatakan bahwa bukan oleh kuat gagahnya, melainkan semata-mata karena kasih karunia Allah ia dapat bekerja keras (1 Kor 15:10).

Jadi, siapakah orang Kristen? Orang-orang Kristen adalah mereka yang sadar bahwa mereka bukan Übermensch, bahkan tidak akan pernah sanggup menjadi Übermensch. Tetapi mereka adalah orang-orang yang telah menerima anugerah untuk dapat hidup meneladani Sang Übermensch yang sesungguhnya. *** (DO).