On Christian Happiness (Tentang Kebahagiaan yang Kristiani)
Aristoteles dan Aquinas menyimpulkan dalam pemikiran moralnya bahwa pada dasarnya, semua orang mencari kebahagiaan. Hanya saja, kebahagiaan macam apa? Di mana didapatkan? Kabar baiknya, “Yesus begerak dalam urusan kebahagiaan!”, demikian ujar John Macarthur. Dan kebahagiaan yang Yesus hadirkan, berbeda dengan kebahagiaan yang dunia tawarkan. Sebagai contoh, dalam ucapan bahagia Yesus yang terambil dalam Matius 5:1-12, Yesus menggunakan kata, “berbahagialah” sampai dengan 9 kali. Menunjukan bagaimana Yesus menghendaki setiap pendengar untuk dapat berbahagia dan menjadi bahagia. Bahasa asli dari kata berbahagialah adalah “makarios”, yang secara harafiah berbicara tentang suatu kondisi bahagia. Namun bahagia seperti apa yang dimaksud dan hendak dikomunikasikan?
Sederhana, bagi Yesus, bahagia tersebut adalah suatu kondisi bahagia yang tidak tergantung kondisi luar atau eksternal dari subyek yang berbahagia. Maka dari itu, inilah yang membedakan bahagia yang Kristus maksud dan hadirkan dengan apa yang dunia pikir dan tawarkan. Jika kita menelaah literatur Yunani, kata “makarios” pernah muncul dalam literatur Homer. Di mana “makarios” digunakan untuk mengambarkan kondisi dewa-dewi mereka yang tidak bergantung kondisi manusia. Entah itu miskin, kelaparan, kesusahan, ataupun kematian. Jikalau dalam karya Homer, kondisi ini hanya dimiliki eksklusif oleh dewa-dewi mitologi mereka, dalam iman Kristen, Kristus justru menyatakan manusia pun bisa berada dalam kondisi kebahagiaan serupa dan tentu saja rahasianya adalah bagaimana seseorang percaya pada Tuhan, dan berbagian di dalam Yesus Juruselamat. Ini adalah sesuatu pemikiran yang baru dan fenomenal, belum penah ada sebelumnya dalam sejarah pemikiran manusia di masa itu!
Inilah bedanya, kebahagiaan versi dunia adalah suatu kebahagiaan yang sangat rapuh dan fluktuatif. Hal ini telah dibuktikan oleh raja Salomo. Dengan hitung-hitungan logika, jika yang dimaksudkan kebahagiaan dalam versi dunia adalah berbanding lurus dengan “apa yang kita miliki” (you are what you have), atau “apa yang kita konsumsi” (we are what we eat), atau “apa yang kita pakai” (you are what you wear), maka kita akan sulit sekali memahami kesimpulan hidup dari raja Salomo, yang menyatakan bahwa hidup adalah kesia-siaan belaka, “vanity of vanities, all is vanity” (Pkh. 1:2). Padahal, Salomo adalah raja yang mungkin dapat dikatakan memiliki segalanya dan harusnya, ia manusia paling bahagia sejagat bukan?
Kebenaran ini juga dikukuhkan kembali dalam suatu siaran ABC TV, yang menyiarkan suatu acara berjudul, “The mystery of Happiness”. Di acara itu, mereka menanyakan beberapa orang dengan pertanyaan, “Apakah anda bahagia?” Jawaban yang diterima dari orang yang baru saja menang lotre 26 juta dollar, para atlet dan bintang olahraga, juga para pemenang dalam kompetisi bergengsi, kurang lebih sama yaitu, “Bahagia, tetapi juga tidak terlalu sih (not really)”. Ya, memang begitulah, karena urusan kebahagian itu secara esensi adalah urusan jiwa, bukan sekadar fisik. Manusia tidak mampu menyentuh jiwa dan menambal lubang kekosongan dengan hal-hal fisik (we cannot fill a spiritual need with a physical substance). Kebahagian sejati itu secara fundamental bersifat rohani. Itu sebab, kunci kebahagiaan yang sejati adalah ketika manusia, yang dicipta oleh Allah dapat berdamai kembali dengan Allah. Dalam hal ini John Bosco berkata, “percaya padaku, tidak ada seorangpun akan benar-benar bahagia, kecuali ia berdamai dengan Allah!” Dan pedamaian dengan Allah yang dapat menghadirkan kebahagian itu, hanya dapat hadir melalui satu jalan, yaitu melalui Yesus Kristus yang lahir, mati dan bangkit, serta naik ke surga.
Ketika Tuhan, yang adalah Summum Bonum (tujuan tertinggi) diberikan dan dimiliki oleh manusia, maka disitulah kebahagian yang tidak pernah sirna namun mengalir deras dalam kehidupannya. Seorang yang percaya pada Yesus sebagai satu-satunya Juruselamat adalah orang yang mendapat akses kebahagiaan itu. Mereka akan terus merasakan gairah yang bergelora, dan semangatnya tidak padam meski diterpa ombak dan badai sekeras apapun.
Tentu saja bukan bagi mereka yang hanya sekadar percaya tetapi juga taat kepada Tuhan, bagi merekalah yang akan menikmati kebahagiaan sejati secara penuh, sebagaimana seorang filsuf Kristen pernah berkata, “Setiap kali saya berkata “ya” kepada Tuhan dengan segenap jiwaku, dan berkata biarlah kehendak-Mu yang jadi, tidak pernah gagal kurasakan kebahagiaan …” Juga bentuk lainnya, yaitu saat kita mencintai Allah dan mencintai sesama (Mat. 22:37-40), maka disitulah kita akan merasakan kebahagiaan sejati, sebagaimana Paul J. Waddell nyatakan dalam karyanya Happiness and the Christian Moral Life, “Kita dicipta untuk mencintai, sehingga tidak ada yang dapat memberikan kita kepenuhan selain melakukannya. Dan dengan tidak memenuhinya, kita tidak akan pernah akan bahagia (we cannot be truly happy).”
Pertanyaan reflektif bagi kita semua adalah “Sudahkah kita mengalami dan menikmati kebahagiaan yang Tuhan beri?” Kiranya Tuhan yang menolong kita! **YCT