Bagikan artikel ini :

Hidup Bersama

Persekutuan antara orang percaya (koinonia) adalah salah satu bagian kehidupan gereja yang penting selain ibadah, pembinaan, pelayanan dan pekabaran Injil. Alkitab memberi gambaran tentang bagaimana komunitas orang percaya mula-mula hidup (Kisah 2:41-47, 4:32-37) selain pengajaran tentang apa yang harus dilakukan dalam kehidupan bersama orang percaya yang tersebar di seluruh Perjanjian Baru. Banyak gereja masa kini berusaha menjalankan fungsi koinonia-nya dengan melihat kembali bagaimana orang percaya mula-mula menjalankannya dan menggali prinsip-prinsipnya untuk diterapkan.

Dari sekian banyak studi, buku Life Together (Hidup Bersama – telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia) dari Dietrich Bonhoeffer seringkali dianggap sebagai sebuah buku klasik tentang bagaimana orang percaya hidup bersama dengan orang percaya lainnya. Siapakah Bonhoeffer? Dia adalah seorang pendeta dan ahli teologia terkemuka Jerman yang lahir tahun 1906 dan meninggal tahun 1945 seetlah ditahan selama dua tahun. Ia dihukum gantung oleh tentara Jerman karena dianggap berkomplot untuk menggulingkan Hitler. Beberapa aspek dari teologianya dianggap kurang ortodoks oleh gereja-gereja injili, namun sejumlah pandangannya tentang pemuridan maupun bagaimana orang percaya bisa hidup bersama dianggap masih sangat relevan untuk kehidupan gereja masa kini di tengah derasnya arus individualisasi yang dialami banyak gereja. Buku kecil ini ditulis Bonhoeffer berdasarkan pengalamannya tinggal dan mengajar bersama banyak pendeta dan mahasiswa teologia di tahun 1930-an di Jerman. Artikel ini mengambil beberapa bagian dari buku Life Together untuk dijadikan refleksi tentang bagaimana orang percaya hidup bersama-sama di tengah dunia.

Di dalam bukunya, Bonhoeffer mengingatkan kita bahwa kehidupan seorang percaya dalam sebuah komunitas secara jasmani dengan orang percaya lain adalah sebuah anugerah. Orang percaya tidak selalu mengalami hal demikian. Yesus, misalnya, hidup di tengah banyak orang yang memusuhi-Nya, bahkan Dia tergantung di atas kayu salib, hanya ditemani oleh dua orang penjahat. Ada banyak orang percaya yang harus hidup terpisah dari orang percaya lainnya: mereka yang sakit, dipenjara, yang melayani di tempat-tempat terpencil atau di wilayah yang melarang orang percaya berkumpul. Pandemi pun memisahkan satu orang percaya dengan orang percaya lainnya. Jadi kita harus bersyukur ketika bisa hadir secara jasmani bersama orang percaya lain. Mereka yang tidak bisa bertemu secara jasmani dengan orang percaya lainnya terpaksa harus berkomunitas dalam iman.

Banyak orang percaya merindukan perjumpaan fisik dengan orang percaya lainnya. Hal ini tidak aneh karena memang kita hidup dalam tubuh jasmani. Anak Allah pun berinkarnasi dan mengambil tubuh jasmani manusia. Kedekatan secara jasmani akan membawa sukacita dan kekuatan bagi setiap orang percaya. Hal ini seharusnya semakin bertambah jika orang percaya bisa setiap hari berada bersama orang percaya lainnya, seperti ketika anggota keluarga juga adalah orang percaya atau memiliki rekan orang percaya yang berinteraksi terus menerus dengan kita setiap hari. Bisa jadi kita menganggap kehadiran orang percaya lainnya sehari-hari sebagai hal yang lumrah sehingga kurang menghargai anugerah Allah ini. Kita baru merasakan betapa besar anugerah ini ketika Tuhan menarik kembali anugerah-Nya, entah karena penganiayaan, penyakit, perpindahan geografis atau pandemi serius.

Tapi apa dan bagaimana komunitas Kristen itu? Menurut Bonhoeffer, komunitas Kristen adalah komunitas yang ada oleh karena Kristus dan di dalam Kristus. Orang-orang percaya bisa ada dalam komunitas Kristen hanya karena anugerah dari Kristus yang menyelamatkan mereka. Karena Kristus, orang percaya bisa mengenal Allah dan bisa mengenal sesama orang percaya lain dengan benar. Karena Kristus adalah Pendamai, Dia mampu menjembatani egoisme, ketertutupan, keangkuhan dari masing-masing orang sehingga mereka dapat saling mengenal apa adanya, dapat menerima dan memberi pengampunan dan kasih, melayani satu sama lain.

Di dalam komunitas Kristen, Kristus dan Firman-Nya menjadi fokus utama yang harus makin bersinar terang. Pembicaraan diantara sesama orang percaya seharusnya dipandu oleh Firman Tuhan karena inilah yang dibutuhkan oleh setiap anggota komunitas untuk menguatkan iman dalam menjalani hidup di tengah dunia. Tentu maksudnya bukan kita terus menerus berbicara soal Firman Tuhan, namun percakapan harus dikuasai, diarahkan dan dibentuk oleh Firman Tuhan. Orang percaya dalam komunitas Kristen tidak boleh hanya berinteraksi seperti interaksi dalam komunitas pekerjaan yang ‘sekular’ belaka, yang dibentuk oleh nilai-nilai dunia. Jelaslah perkataan yang sia-sia, apalagi kasar dan merendahkan tidak layak dilontarkan dalam kehidupan komunitas Kristen.

Karena setiap orang percaya ada dalam Kristus dan telah dipilih oleh Kristus sejak kekekalan, maka komunitas ini akan terus ada dimana pun Kristus ada, bahkan sampai kepada kekekalan. Saudara-saudara seiman kita pada hari ini akan terus menjadi saudara seiman kita sampai kepada kekekalan. Komunitas ini akan terus ada bukan karena dibentuk oleh kita, tetapi karena dibentuk oleh Kristus. Ini artinya siapapun dan seperti apapun orang percaya yang ada dalam komunitas kita, tidak akan membuat komunitas itu hilang karena Kristuslah yang membentuknya. Ini membawa konsekuensi bahwa kita tidak bisa menyingkirkan sesama orang percaya dalam komunitas hanya karena orang itu berbeda dengan kita dalam latar belakang, karakter atau karena kita tidak menyukainya. Kita harus menerima orang apapun sebagai seorang saudara dalam komunitas selama dia adalah seorang percaya.

Karena itu, kita tidak boleh membangun angan-angan dan memaksakan seperti apa seharusnya komunitas orang percaya yang kita miliki. Komunitas orang percaya berasal dari Allah tetapi bukan sebuah komunitas yang ideal dan sempurna. Jika kita bermimpi atau memaksakan bagaimana komunitas itu seharusnya hidup, kita bisa kecewa karena pastilah itu tidak seideal yang kita harapkan. Kekecewaan ini bisa merusak kehidupan komunitas. Di dalam komunitas selalu ada bermacam-macam jenis orang percaya, dari yang sangat dewasa dalam Kristus, sampai yang terus jatuh bangun dalam kehidupan percayanya. Kita pasti akan kecewa kalau berharap dalam komunitas kita semua orang punya tingkat kerohanian yang sama-sama matang.

Di dalam komunitas Kristen, seorang percaya tidak seharusnya secara langsung menuntut orang percaya lain untuk menjadi seperti yang diharapkannya. Sebaliknya harus ada Kristus sebagai mediator antara satu orang percaya dengan orang percaya lainnya. Maksudnya, kita perlu berelasi dengan orang percaya lainnya sebagaimana Kristus telah menerima orang percaya itu dan sebaliknya juga demikian orang percaya lainnya terhadap kita. Kristus dalam anugerah dan kasih-Nya menerima orang percaya dengan segala kelemahan dan jatuh bangun imannya. Jika Kristus mengizinkan hal demikian terjadi pada seorang percaya, kita menerima orang tersebut sebagaimana adanya dan dengan rasa syukur. Mengapa demikian? Karena kita pun demikian dan bersama-sama kita dengan sesama orang percaya dalam komunitas yang berdosa dapat terus bertumbuh dan mengalami kasih pengampunan Tuhan. Kita perlu terus bersyukur untuk komunitas orang percaya yang kita miliki sekalipun tidak kelihatan hebat, banyak kelemahan dan keterbatasan iman. Melalui komunitas seperti itu, kita belajar melihat bagaimana Allah memimpin dan beranugerah sesuai dengan kekayaan yang diberikan-Nya dalam Kristus Yesus. Hanya Tuhan yang tahu sedalam-dalamnya bagaimana kondisi komunitas kita; apa yang kita anggap sebagai kelemahan, bisa saja merupakan sesuatu yang berarti dalam pandangan Tuhan.

Bonhoeffer membedakan antara komunitas yang rohani dengan komunitas psikologis. Komunitas rohani adalah komunitas yang dipanggil Kristus, yang menghadirkan kasih agape, yang belajar merendahkan diri satu sama lain, yang dikuasai oleh Firman dan Roh serta saling melayani. Sebaliknya komunitas psikologis adalah komunitas yang dibangun oleh keinginan belaka (desire), yang dikuasai oleh cinta akan diri sendiri dan yang dipenuhi oleh dominasi, keinginan menguasai dan menuntut balasan cinta. Karena itu, di dalam komunitas Kristen, setiap anggotanya belajar memeriksa diri apakah dia terlalu dominan atau terlalu menganggap diri tidak berarti.

Orang percaya yang hidup dalam komunitas bersama orang percaya lainnya perlu menyadari hal ini setiap hari mulai dari bangun pagi sampai menjelang tidur malam. Ini dimulai dari ibadah bersama di pagi hari setelah bangun karena pagi hari bukan hanya milik tiap individu tetapi adalah milik komunitas orang percaya. Perlu ada pembelajaran Firman, doa dan pujian bersama. Jika dimungkinkan, saat bekerja pun perlu dijalin kehidupan dalam komunitas ini. Di malam hari, ibadah bersama akan membawa pada rasa syukur, memberi dan menerima pengampunan serta permohonan perlindungan kepada Allah selama istirahat kita. Tentunya di sepanjang hari, anggota komunitas yang berelasi dengan kita bisa berubah-ubah: pagi dan malam hari bersama keluarga dan orang percaya serumah; siang hari bersama orang percaya di tempat aktivitas. Tentunya dengan perkembangan teknologi, anggota komunitas juga tetap bisa saling terhubung dan dipertahankan melalui chat, video call dan sebagainya.

Makan bersama di dalam komunitas adalah hal yang penting karena melalui makan bersama, orang-orang percaya di dalam komunitas akan mengingat bahwa makanan bukan hanya karena mereka bekerja, tetapi karena Allah memberikan. Pada waktu orang percaya makan bersama, mereka juga bisa mengingat Kristus yang adalah Roti Hidup dan bersyukur akan anugerah yang diperoleh dengan memakan-Nya dan bagaimana mereka harus hidup untuk melayani Dia. Selain itu, ketika makan bersama, mereka akan diingatkan oleh doa Bapa Kami – berikanlah kami pada hari ini makanan kami yang secukupnya – bahwa makanan ini adalah pemberian yang diberikan oleh Tuhan untuk bersama-sama. Karena itu, orang percaya akan belajar untuk saling memberi kepada sesama orang percaya dalam komunitas yang berkekurangan.

Di bagian akhir dari bukunya, Bonhoeffer mendorong sesama orang percaya dalam komunitas untuk saling mengaku dosa selain secara pribadi kepada Tuhan. Pengakuan dosa yang sungguh-sungguh akan membawa dosa yang bersifat pribadi dan tertutup menjadi dosa yang dapat dilihat oleh orang lain. Menurutnya, dosa yang diakui secara terbuka dan sungguh-sungguh kepada orang lain akan kehilangan kuasanya. Ini akan membuat orang percaya yang berdosa lebih termotivasi untuk tidak mengulangi dosa yang sama karena pengakuan dosa memang membawa perendahan diri yang luar biasa kepada Kristus yang disaksikan oleh orang percaya lainnya. Bonhoeffer menyatakan bahwa pengakuan dosa cukup dilakukan kepada orang percaya lainnya yang memang sungguh dewasa secara rohani, yang memahami pengajaran Alkitab bahwa dosa masih akan terus ada dalam komunitas tetapi pengampunan disediakan oleh Kristus.

Sejumlah pokok yang dibahas dalam buku tersebut dapat menolong kita untuk mengevaluasi dan kemudian membangun bagaimana kita menjalankan hidup bersama sebagai orang percaya, baik dalam konteks gereja maupun dalam kelompok-kelompok yang lebih kecil seperti Care Group. Menghargai kehadiran orang percaya lain, menerima mereka apa adanya sebagai saudara seiman, menyadari anugerah Kristus yang berbeda-beda dalam diri setiap anggota komunitas, belajar dan bergantung kepada Firman Tuhan, berdoa, bernyanyi bersama, bergantung kepada Roh Kudus, saling merendahkan diri, saling mengaku dosa dan menikmati persekutuan dan anugerah Tuhan melalui makan bersama adalah sebagian hal yang bisa kita kembangkan dalam hidup bersama dengan orang-orang percaya lainnya.(TDK)