Berlari kepada Tuhan (Running to God)
Pada abad ke-17 dan ke-18, muncul filsafat deisme populer di tengah masyarakat Eropa Tengah dan Amerika Utara. Pemikiran ini meyakini bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta tapi Dia tidak terlibat di dalam keseharian hidup manusia. Ada cukup banyak tokoh ilmuwan dan politikus berpengaruh yang menganut paham ini seperti misalnya penemu teori gravitasi Isaac Newton atau presiden ke-3 Amerika Serikat, Thomas Jefferson.
Kaum Deis (para penganut paham Deisme) sangat menekankan kekuatan pikiran manusia dan menolak berbagai doktrin agama maupun keyakinan yang bersifat supranatural. Dengan berjalannya waktu, terutama di sekitar abad ke-19 dan ke-20, filsafat deisme mulai kehilangan popularitasnya, antara lain karena banyak hal memang tidak bisa dikendalikan oleh kekuatan pikiran manusia semata.
Realita ini terutama nyata ketika manusia berhadapan dengan tragedi, bahaya dan penderitaan. Ketika hal itu terjadi, satu-satunya yang bisa menolong untuk melalui semuanya adalah Tuhan yang terlibat. Kita bisa melihat teladan dari orang yang mempercayai Tuhan sebagai tempat perlindungan dalam Mazmur 31. Mazmur ini merupakan seruan doa Daud yang meminta perlindungan Tuhan untuk ia bisa dilepaskan dari berbagai rancangan jahat musuhnya (31:13, 30).
Pemazmur memohon kepada Tuhan untuk melindunginya dari bibir dusta dan orang-orang yang bersengkongkol untuk menghancurkannya. Dari sini kita bisa melihat bahwa bagi pemazmur, Allah adalah gunung batu tempat perlindungan dan kubu pertahanan. Dengan kata lain, pemazmur meyakini bahwa Tuhan terlibat di dalam keseharian hidupnya.
Karena Tuhan bersedia untuk terlibat di kehidupan ciptaan-Nya, maka seorang Kristen dapat datang kepada Tuhan untuk membawa segala aspek hidup – termasuk penderitaan kita kepada-Nya. Apalagi karena di dalam kekristenan, penderitaan bukan untuk dihindari atau atau dibatasi seperti yang diyakini budaya sekulder, ditaklukan atau dikalahkan seperti yang diyakini oleh Budisme, tapi untuk ditransformasi atau diubahkan melalui karya penebusan Kristus. Tentu dengan iman bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah (Roma 8:28).
Ini berarti bagi orang Kristen, kita tidak menyangkali ketika kita menderita. Kita tidak berpura-pura merasa tidak sakit dan tidak terluka, tapi sebaliknya, kita mengakui bahwa kita merasa sakit, terluka dan bermasalah. Dan tidak cuma mengakui, kita juga meratapi penderitaan itu di hadapan Tuhan sebagai cara untuk kita kemudian mempercayakan penderitaan itu kepada-Nya.
Itulah sebabnya di dalam tradisi Kristen dikenal adanya aktivitas meratap. Sekitar 40% dari himne yang terdapat di kitab Mazmur berisi ratapan. Namun aktivitas ini kurang dikenal di dalam kehidupan Kristen masa kini. Ketika membacakan ayat-ayat dari Mazmur di ibadah gereja, umumnya kita lebih banyak membaca ucapan syukur daripada ratapan.
Walter Bruegemann, seorang teolog Perjanjian Lama menyayangkan hal ini. Ia mengatakan bahwa “pengabaian ini merupakan sesuatu yang merugikan dalam hubungan orang percaya dengan Tuhan, sebab ratapan justru bisa membangun iman seseorang bahwa ia didengar, dihargai, dan dianggap serius oleh Tuhan.” Ia lebih lanjut mengatakan “Akibat pengabaian ini, orang hanya mengekspresikan pujian saja kepada Tuhan. Ini adalah suatu tindakan penyangkalan, penutupan masalah, dan kepura-puraan.”
Ketika Yesus berinteraksi dengan orang-orang yang meratap, misalnya ketika Lazarus sahabat-Nya meninggal, Yesus turut meratap. Ketika akan menghadapi kematian-Nya di Taman Getsemani, Ia meratap. Dan ketika berada di atas kayu salib Ia meratap dan menjerit seperti yang tercatat di Matius 27:46 (Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?”). Jeritan Yesus ini mengutip Mazmur 22:2, sebuah mazmur ratapan yang dinyatakan oleh Daud, ”Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.”
Melalui jeritan Yesus yang mengutip Mazmur 22 ini, Sang Anak Manusia menempatkan diri-Nya di barisan panjang hamba-hamba-Nya yang telah menderita ketidak-adilan bagi Tuhan tapi juga yang telah mengangkat penderitaan mereka kepada Tuhan. Itulah sebabnya, kita juga bisa mengikuti teladan mereka untuk juga datang kepada Allah dengan jujur dan otentik.
Tuhan tentu tahu apa yang terjadi dengan diri kita, tetapi Ia menginginkan persahabatan dari kita. Ketika kita bersahabat dengan manusia lain, semakin kita dekat dengan seseorang, semakin kita bisa saling terbuka dan transparan. Hal yang sama berlaku dalam persahabatan kita dengan Tuhan. Hal yang Tuhan inginkan bukan informasi dari kita, tapi apakah kita cukup percaya kepada-Nya untuk bisa mengatakan apa yang ada di hati kita dan menanti jawaban dari-Nya?
Seorang penulis mengatakan bahwa sebetulnya, hampir semua pengenalan mendalam akan Allah, semua pemahaman baru tentang pribadi, natur dan karakter Tuhan, terjadi dalam krisis, ketika seseorang mengalami suatu pengalaman yang kuat atau intense. Dengan demikian, ketika kita mengalami kesusahan, penderitaan dan kesulitan, maka itu adalah kesempatan untuk kita mengenal Tuhan yang terlibat, mengasihi dan peduli dengan lebih dalam lagi. Marilah kita semua berlari kepada Dia.(GE)