Bagikan artikel ini :

Celebrating Divine Goodness (Merayakan Kebaikan Ilahi)

Ketika kita menelusuri sejarah kehidupan orang percaya, persembahan sudah menjadi bagian sentral dan esensial kehidupan beribadah bahkan sejak zaman Perjanjian Lama. Orang-orang Israel memberikan persembahannya dengan membawa persembahan mereka ke Bait Allah yang ada di Yerusalem. Perjanjian Lama mengenal ada berbagai jenis persembahan. Berdasarkan tujuannya Alkitab menunjukkan setidaknya ada tiga jenis persembahan, ada persembahan yang diperuntukkan untuk penghapusan dosa, pengucapan syukur, dan mendapat perkenanan Allah. Ada persembahan yang berupa buah-buahan, biji-bijian, ataupun kurban hewan. Persembahan-persembahan ini diberikan dengan berbagai bentuk, dari korban bakaran, korban pendamaian, korban penebusan dosa, persembahan sulung, persepuluhan, dan lain-lain. Aturan berkenaan persembahan-persembahan ini dituliskan secara mendetail terutama dalam kitab Imamat.

Di Perjanjian Baru kita menemukan perubahan yang besar berkenaan pemberian persembahan. Hal ini terjadi setelah kedatangan Tuhan Yesus. Kita percaya kematian dan kebangkitan-Nya adalah persembahan final dan yang paling sempurna melampaui dan menggenapkan fungsi dari persembahan hewan. Sebagai orang Kristen yang sudah sungguh-sungguh percaya kepada Yesus kita tidak lagi perlu mempersembahkan hewan di Bait Suci untuk menghapus dosa kita, karena Tuhan Yesus sudah melakukannya untuk kita di kayu salib sekali untuk selama-lamanya. Karena itu orang Kristen mula-mula mulai melakukan transisi dari ritual persembahan di Bait Suci, menuju kepada persembahan spiritual yang berupa amal, kepedulian kepada sesama, dan bantuan finansial bagi gereja dan orang-orang membutuhkan.

Di dalam perjalanannya ada beberapa pemikiran tokoh-tokoh Gereja yang mengembangkan apa yang sudah kita terima dari Alkitab, dan pemikiran mereka masih sangat berpengaruh kepada pemahaman kita mengenai persembahan hingga saat ini. Pertama, Tertullian, ia adalah seorang bapa Gereja mula-mula yang hidup dari tahun 160-220. Tertullian melalui bukunya Apology bab 39 menekankan akan pentingnya kerelaan dalam memberi persembahan. Persembahan bukan lagi sekedar perbuatan yang wajib sebagaimana dipahami orang Yahudi yakni untuk penebusan dosa mereka, persembahan adalah latihan iman bagi orang percaya untuk mempraktikan kasih dan kemurahan tanpa paksaan. Pemikiran ini menjadi dasar dari pemahaman kita hari ini bahwa persembahan adalah sebuah perbuatan yang harus dilakukan dengan sadar dan tanpa paksaan yang berfokus kepada hati dan niat dibalik setiap pemberian.

Berikutnya ada Cyprian yang juga adalah bapa Gereja yang hidup dari tahun 200-258. Cyprian menekankan tentang persembahan seharusnya merefleksikan keinginan murni untuk melayani baik gereja, sesama, maupun Tuhan. Cyprian menekankan pada kemurahan hati dan keinginan berbagi yang merupakan pergeseran dari pemahaman yang ritualistik terhadap persembahan menjadi kepedulian kepada sesama sebagai inti dari pemberian persembahan.

Pada masa Reformasi, John Calvin menekankan bahwa persembahan bukanlah sebuah transaksi, dimana kita memberi persembahan untuk mendapat sesuatu seperti perkenanan Allah, berkat, apalagi keselamatan. Persembahan adalah ekspersi dari iman dan rasa syukur kita kepada Tuhan. Bagi Calvin segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk segala kepunyaan kita pada dasarnya adalah milik Tuhan yang diberikan kepada kita untuk kita kelola dengan bertanggungjawab. Persembahan karenanya merupakan bagian dari tanggung jawab kita untuk mengatur dengan baik pemberian dari Allah.

Melalui penelusuran ini kita disadarkan, persembahan memang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam ibadah umat Allah sejak zaman Perjanjian Lama. Namun sebagai orang Kristen kita melihat segala sesuatunya dari kacamata Kristus, termasuk persembahan. Semangat dalam memberi persembahan bukan lagi untuk menjadi cara agar dosa kita diampuni, bukan untuk mendapat perkenanan Allah, melainkan karena kita menyadari bahwa kita sudah ditebus dan semua yang kita miliki adalah titipan Allah untuk kita jaga dan kelola dengan bertanggung jawab. Karena itu, sudah sepatutnya kita memberikannya kembali untuk pekerjaan Allah dan berbagi kasih dengan sesama kita yang membutuhkan. ** DK