Christ, the Lord of all (Kristus, Tuhan Atas Semua)
Kita semua tahu perumpamaan yang Yesus Kristus ceritakan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11-32): seorang ayah mempunyai dua anak laki-laki. Anak yang bungsu minta warisan bagiannya dan lalu berfoya-foya hingga harta bagiannya itu habis total. Ia kemudian jatuh miskin dan menderita kelaparan sampai harus diam-diam menyantap makanan babi. Ia lalu berpikir untuk kembali ke rumah ayahnya dan menjadi hamba di sana sehingga ia tidak perlu kelaparan lagi. Ternyata sang ayah menyambut dan menerimanya sebagai anak dengan sepenuh hati dan bahkan mengadakan pesta penyambutan baginya. Ketika anak yang sulung yang baru pulang dari bekerja di ladang mendengar suara pesta dan mengetahui apa yang terjadi, ia marah sekali dan menolak untuk ikut masuk ke pesta perjamuan.
Rembrandt, seorang pelukis besar asal Belanda yang hidup di abad ke-17, mengangkat adegan pertemuan ayah dan anak bungsu yang disaksikan oleh anak sulung dalam lukisannya yang berjudul “The Return of the Prodigal Son”. Kini lukisan itu terdapat di Hermitage Museum di kota St. Petersburg (Rusia).
Tahun 1983, penulis Henri Nouwen yang berasal dari Belanda mendapat kesempatan untuk melihat lukisan tersebut ketika berada di Hermitage Museum. Ia dikenalkan kepada salah satu pimpinan museum sehingga mendapatkan ijin untuk duduk dan menatap lukisan itu sambil merenung selama sekitar 4 jam. Lukisan tersebut memang sangat bermakna bagi Nouwen. Beberapa tahun sebelumnya, Tuhan menunjukan panggilan hidupnya yang baru melalui poster dari lukisan itu. Tadinya ia adalah dosen di Harvard University, tetapi melalui lukisan tersebut, Tuhan memanggilnya untuk melayani di sebuah komunitas tunadaksa di pinggiran kota Toronto di Kanada.
Anda juga bisa melihat foto lukisan ini dengan mudah di Google. Dalam lukisan tersebut, si anak sulung berdiri di paling pojok kanan sambil memperhatikan ayahnya yang sedang memeluk adiknya. Terdapat kemiripan antara figur sang ayah dengan si anak sulung. Tetapi terdapat perbedaan sikap yang sangat kentara: sang ayah menunduk untuk memeluk anaknya yang hilang, sementara sang kakak berdiri tegak. Jubah sang ayah tampak tersingkap lebar untuk menyambut, sementara jubang sang kakak menutupi tubuhnya. Tangan sang ayah merengkuh keluar dalam gerakan memberi berkat, sementara sang kakak melipat tangannya. Sinar dari wajah sang ayah menerangi bagian tubuhnya yang lain khususnya, tangannya – sehingga kehangatannya turun melingkupi si anak bungsu. Sementara bayangan sinar dari wajah si kakak menunjukan fitur yang dingin dan angkuh.
Ketika memperhatikan hal itu, Nouwen diingatkan bahwa sang kakak yang diliputi oleh kepahitan, kebencian dan kemarahan itu sebetulnya menggambarkan dirinya sendiri. Karena itu Nouwen mengatakan dalam bukunya yang berjudul “The Return of the Prodigal Son” bahwa judul dari perumpamaan tersebutnya harusnya “Prodigal sons” atau kalau dalam bahasa Indonesia “anak-anak hilang”; jadi bukan hanya merujuk pada satu anak saja.
Nouwen mengatakan bahwa si sulung pun merupakan anak hilang, tapi memang wujud dari hilangnya si anak sulung itu lebih sulit untuk teridentifikasi. Ia adalah seorang yang patuh, taat aturan, rajin dan pekerja keras. Orang-orang menghormatinya, memujinya dan menganggapnya anak teladan. Dari luar, anak sulung ini tampak sempurna. Tetapi ketika dihadapkan dengan peristiwa penyambutan tulus ayahnya akan sang adik yang memang kurang ajar itu, maka hal-hal gelap di dalam dirinya langsung muncul ke permukaan: kebencian, keegoisan, dan penghakiman yang selama ini tersembunyi dengan rapi sehingga tanpa disadarinya telah tumbuh dengan semakin kuat di hatinya.
Dalam Roma 14:7-12, dan khususnya di ayat 10, Rasul Paulus mengingatkan untuk tidak menghakimi orang lain. Paulus berkata “Tetapi engkau, mengapakah engkau menghakimi saudaramu? Atau mengapakah engkau menghina saudaramu? Sebab kita semua harus menghadap takhta pengadilan Allah.” Paulus lalu mengingatkan di ayat 12: “Demikianlah setiap orang di antara kita akan memberi pertanggungan jawab tentang dirinya sendiri kepada Allah.”
Maka bila menggunakan kisah tentang anak yang hilang, baik si anak bungsu maupun anak sulung harus sama-sama menghadap tahta Allah. Sebab seperti yang dinyatakan di ayat 9, Kristus telah menanggung semua dosa di kayu salib dan kemudian bangkit untuk membuktikan bahwa Ia telah membayar lunas semua dosa itu. Dengan demikian, Dia lah Hakim Agung kita yang berhak untuk menerima pertanggung-jawaban dari berbagai motivasi, pikiran maupun tindakan kita; baik yang nyata terlihat maupun yang terkubur dalam-dalam di hati kita.
Jika ada orang percaya (seperti yang dinyatakan di ayat 10) yang menghakimi dan menghina saudaranya, maka mungkin mereka tidak percaya bahwa tahta pengadilan Allah itu cukup; atau karena ia tidak bersedia menanti pembenaran dari posisi moralnya. Kita perlu percaya bahwa “Allah tidak tidur”. Ia adalah Tuhan yang terlibat dengan ciptaan-Nya dan berdaulat atas hidup dari semua ciptaan-Nya itu. Ia adalah Allah yang Maha kasih tapi juga Maha Adil. Nantikanlah Dia. ** (GE)