Pendidikan Moral Keluarga Kristen
Pendahuluan
Di dalam bulan keluarga kita tahun ini, menjelang dilantiknya presiden dan wakil preseiden RI ke-8, sekali lagi kita diajak berpikir tentang pendidikan moral dalam keluarga. Bagaimana keluarga sebagai mikrokosmos dalam makrokosmos masyarakat luas dapat berperan memberikan pendidikan moral yang bermutu yang berguna bagi pembentukan masyarakat yang berakhlak luhur? Sebelumnya, mari kita cermati opini beberapa tokoh masyarakat tentang peran agama terhadap akhlak moral bangsa.
Di dalam ulasannya yang singkat dan padat tentang agama, Jendral Perancis terkenal, Napoleon Bonaparte beropini, “Religion is what keeps the poor from murdering the rich” (Agama merupakan sesuatu yang menghalangi si miskin untuk membunuh si kaya). Dengan perkataan lain, agama merupakan alat penahan yang ampuh untuk membuat si miskin tinggal di dalam status quo kesenjangan sosial yang dialaminya, dan mengurungkan niatnya untuk menghabisi si kaya sebagai sumber penyebab kesenjangan sosial tersebut.
Karl Marx, sejarawan, sosiolog, ekonom, terkenal Jerman, yang menjadi penganjur faham komunisme dan sosialisme, juga memberikan komentar yang tidak kalah menarik, “Religion was not only used by those in power to oppress the workers, but it also made them feel better about being oppressed when they could not afford real opium” (Agama tidak saja dipakai oleh si pemegang kuasa untuk menindas para pekerja, agama juga membuat mereka yang tertindas merasa nyaman ditindas, ketika mereka belum mampu menemukan candu yang sesungguhnya). Dengan perkataan lain, agama adalah alat di tangan si pemegang kekuasaan untuk mengendalikan para pekerja, sehingga mereka tidak saja melegitimasi eksploitasi yang dilakukan, melainkan juga kecanduan merasakan nikmatnya ditindas.
Opini di atas segera mendapatkan afirmasi pengesahan dari prestasi yang dicapai negara-negara makmur seperti Swedia dan Denmark yang mayoritas penduduknya tidak percaya agama. Pemerintahan di negara-negara ini bersih dan setiap penduduknya dapat dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan terbaik, serta pendidikan yang bermutu tinggi. Hal ini menegaskan juga bahwa menjadi negara yang dikenal sebagai negara yang masyarakatnya beragama belum menjamin kehidupan setiap individu dan bahkan pejabatnya untuk hidup baik dan benar. Demikian juga ketika kita membandingkan dengan kondisi gereja lokal, memprihatinkan. Misal, sejak usainya masa pandemi Coronavirus yang berkepanjangan, kehadiran jemaat menukik tajam, mungkin karena sebagian dari mereka sudah terlena dalam kenyamanan beribadah secara online. Kendatipun gereja sudah mengupayakan kemasan ibadah yang inovatif. Agama seakan hanya menjadi aksesoris budaya belaka, karena tidak punya kuasa mengubahkan hidup.
Pendidikan Moral di Gereja Mula-mula
Berbeda halnya dengan Gereja mula-mula yang sangat dinamis dan penuh vitalitas. Gereja mula-mula bermultiplikasi secara eksponensial dan menggemparkan seluruh masyarakat kota Yerusalem. Pertumbuhan Gereja semacam ini hanya dimungkinkan oleh karya Roh Kudus selaku CEO Allah dalam pekerjaan kudus-Nya. Berdasarkan natur dari pekerjaan Roh Kudus yang selalu meninggikan Kristus, maka di Gereja mula-mula, Injil Kristus yang murnilah selalu diberitakan, dan menghasilkan kuasa Injil yang dahsyat yang mengubahkan hidup orang berdosa, sehingga ia berpindah dari maut kepada hidup. Masyarakat luas sangat tertarik mendengar Injil yang berkuasa seperti ini, karena dampaknya melebihi perubahan perilaku moral.
Gereja tidak terperangkap di dalam organisasi, melainkan menjadi organisme yang peka akan pimpinan Roh Kudus, maka sesuai dengan gerakan Roh, segenap jemaat secara aklamasi memandang perlu memilih beberapa diaken untuk melayani orang miskin, maka ketika para rasul mengambil keputusan penting ini, mereka memilih bukan berdasarkan asas pragmatis manusia rasionil saja, melainkan berdasarkan hikmat Allah yang tidak terbatas yang diperoleh dari hasil pergumulan dalam doa. Dan hasilnya adalah tujuh orang yang berintegritas tinggi, penuh dengan hikmat dan Roh Kudus. Kisah-kisah lainnya yang tercatat di dalam Kisah Para Rasul adalah torehan karya Roh Kudus, bersama dengan jemaat Gereja mula-mula yang peka akan pimpinan-Nya. Agama dalam konteks Gereja mula-mula memiliki dampak yang luar biasa karena bertumpu kepada Injil Kristus yang penuh kuasa.
Pendidikan Moral dalam Keluarga Israel
Pendidikan model keluarga Israel berpusatkan pada Shema (dengarkan), kalimat syahadat yang tertera dalam Ulangan 6:4-5, dan yang mereka ucapkan setiap hari dalam ibadah keluarga. Di dalamnya terkandung dua konten penting tentang identitas Allah Israel sebagai Allah Pencipta yang satu-satunya dan unik di antara segala ciptaan-Nya. Dan tentang komitmen yang eksklusif dan total (mencakup keseluruhan aspek hidup) yang patut diberikan kepada-Nya. Konten tersebut harus disampaikan oleh kepala keluarga secara intensif (siang dan malam, di dalam dan di luar rumah, waktu berbaring atau bangun). Dan tujuan terpenting dari Shema adalah untuk membangun relasi kasih dengan Allah dengan seluruh keberadaan dalam aspek hidup (segenap hati, jiwa, dan kekuatan).
Sayangnya, konten dari Shema itu seringkali berdiri di luar sebagai kebenaran objektif yang harus diamini dan dipatuhi, dan bukan sebagai kebenaran subjektif yang sudah terinternalisasi. Di pagi hari, saat menghirup udara segar dan menikmati keindahan alam, kepala keluarga yang dengan spontan dan tulus mengucap syukur kepada Allah akan dengan mudah mengajarkan bahwa Allah baik dan penuh kasih. Dia memelihara hidup umat-Nya. Dia pun ingin kita membangun relasi kasih dengan-Nya. Pendidikan moral yang efektif adalah pendidikan moral keteladanan, karena anggota keluarga menyaksikan kebenaran objektif yang diajarkan sudah menjadi kebenaran subjektif yang integral dalam hidup keluarga.
Nabi Amos menyingkapkan hati Allah dan menyimpulkan ibadah Israel secara pribadi dan korporat dalam totalitasnya, bahwa 40 tahun mereka di padang gurun, Allah muak akan segala korban persembahan dan korban sajian mereka. Allah tidak mau mendengar nyanyian dan lagu dengan gambus yang mereka persembahkan, karena dua hal: Pertama, komitmen yang mendua hati. Secara eksternal, mereka menyembah Allah, padahal hatinya menyembah ilah-ilah lain yang menjanjikan kemakmuran dan kesuksesan. Kedua, sambil mereka menyembah Allah, sambil mereka menindas kebenaran dan merampas keadilan dari orang-orang miskin dan lemah, sehingga Allah tidak segan-segan untuk membuang mereka ke tanah asing (Am. 5). Yang Allah pandang berharga adalah orang yang terindas dan yang patah, dan yang gentar kepada firman-Nya (Yes. 60:2), karena dalam lubuk hati mereka yang terdalam terpancar kasih yang murni kepada Allah. Manusia memang hanya melihat apa yang di depan mata, namun Allah melihat hati yang terdalam (1 Sam. 16:7).
Penutup
Kiranya dalam bulan keluarga ini kita boleh menjadi keluarga-keluarga yang diperkenan oleh Allah, karena ibadah yang kita lakukan dibangun di atas dasar kasih yang tulus kepada Allah, dan biarlah kasih ini direalisasikan dalam tindakan nyata, seperti kata nabi Amos, “Biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Am. 5:24). Inilah pendidikan moral yang sejati yang hanya bisa dikerjakan oleh Roh Kudus melalui keluarga-keluarga yang peka terhadap pimpinan-Nya. Amin. **IT