Injil dan Keturunan Ilahi
Pernahkah Anda berpikir, “apa yang membuat Perjanjian Baru “baru” dan membuat Perjanjian Lama “lama”?”
Mungkin selama ini kita berpikir Perjanjian Lama dikatakan “lama” karena terdapat hal-hal saat itu ada, sekarang sudah tidak ada lagi. Misalnya saja Hukum Taurat. Banyak hukum yang berkaitan dengan ketahiran (di dalam teologi sistematik biasanya disebut ceremonial law) yang dahulu ada, sekarang sudah ditiadakan. Sebaliknya Perjanjian Baru dikatakan “baru” karena terdapat hal-hal yang dulu tidak ada, dan kini ada. Misalnya saja perintah untuk mengabarkan Injil. Perintah ini tidak ada di Perjanjian Lama dan baru ada di Perjanjian Baru.
Namun, ini adalah pemikiran yang salah! Perjanjian Lama dikatakan “lama” bukan karena ada hal-hal yang dihilangkan. Demikian pula Perjanjian Baru dikatakan “baru” bukan karena ada hal-hal yang dulu tidak ada dan sekarang ada.
Jadi, apa yang membuat Perjanjian Baru “baru” dan membuat Perjanjian Lama “lama”?
Jawabannya adalah karena apa yang sudah ada sejak Perjanjian Lama diperbaharui (bukan dihilangkan) oleh Perjanjian Baru menjadi sesuatu yang lebih indah dan lebih megah. Contohnya? Salah satu yang disinggung di atas, hukum ketahiran (ceremonial law), bukan ditiadakan, tetapi digenapi. Tuhan Yesus sendiri mengatakan dalam Matius 5:17, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk mendiadakannya, melainkan untuk menggenapinya.” Di zaman Perjanjian Lama, tidak ada yang dengan sempurna dapat menjalankan hukum Taurat. Tetapi dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus menggenapinya.
Baiklah. Tetapi, bagaimana dengan perintah memberitakan Injil, seperti yang tertulis dalam Kisah Para Rasul 1:1-11? Ayat 8 berbunyi, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi.” Bukankah ini adalah perintah yang sama sekali baru dan tidak pernah ada di Perjanjian Lama?
Jawabannya adalah ya dan tidak. Ya, karena memang sekilas kelihatannya perintah ini tidak pernah muncul di Perjanjian Lama. Tetapi tidak, karena perintah ini muncul dalam bentuk yang berbeda. Perintah apakah itu?
“Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu…” (Kej. 1:28)
Mungkin Anda mengernyitkan dahi. Apa hubungannya memberitakan Injil sampai ke ujung bumi dan beranak cucu untuk menuhi bumi?
Jika kita membaca bagian lain dalam Perjanjian Lama, yakni Maleakhi 3:15 mengenai hubungan suami istri, kita akan mendapati bahwa Tuhan tidak sekedar menghendaki agar manusia beranak-pinak, seolah-olah begitu manusia melahirkan, dia sudah menjalankan tugasnya dengan baik. “Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi.” Tuhan tidak sekedar menginginkan manusia beranak sebanyak-banyaknya. Jika demikian, tentu Dia akan setuju dengan poligami. Sebab, dengan berpoligami, makin banyak keturunan yang dihasilkan. Yang Tuhan inginkan bukan sekedar keturunan melainkan keturunan ilahi, yakni anak-anak yang mengenal dan mengasihi-Nya.
Itulah sebabnya pendidikan rohani kepada anak begitu pentingnya dalam budaya Israel di zaman Perjanjian Lama. Jika kita membaca Ulangan 6:4-7, kita akan mendapati bahwa tepat sesudah shema (pengakuan iman orang Israel), Tuhan mengingatkan umat-Nya untuk mengajarkan Taurat berulang-ulang kepada anak-anak mereka. Semua ini adalah untuk menghasilkan keturunan ilahi dan bukan sekedar anak saja.
Jadi, kembali ke perintah mengabarkan Injil di dalam Kisah Para Rasul 1:1-11. Apa hubungannya dengan perintah beranak cucu dan memenuhi bumi? Jawabannya adalah: dua-duanya sama-sama perintah untuk menghasilkan keturunan ilahi! Di dalam Perjanjian Lama, keturunan ilahi seseorang adalah anaknya sendiri. Namun di dalam Perjanjian Baru, cara menghasilkan keturunan ilahi tidak hanya dengan memiliki anak secara fisik dan mendidiknya sesuai Firman Tuhan, tetapi juga dengan cara menginjili!
Mengapa perintah mengabarkan Injil di Perjanjian Baru lebih indah dan lebih luas jangkauannya daripada perintah beranak cucu di Perjanjian Lama? Karena kini keturunan ilahi tidak terbatas hubungan darah saja. Bahkan orang yang berbeda bangsa, budaya, dan bahasa, bisa menjadi keturunan ilahi seseorang! Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan agar murid-murid-Nya tidak hanya menjadi saksi di tempat sesukunya saja, tetapi bahkan sampai ke Samaria dan sampai ke ujung bumi. Keturunan ilahi di zaman Perjanjian Baru dapat melintasi ras.
Versi perintah mengabarkan Injil dalam Matius 28:19-20, biasa dikenal dengan sebutan Amanat Agung, menyebut keturunan ilahi ini dengan istilah “murid.” Jadi, sebagaimana Kejadian 1:28 merupakan perintah agar manusia memenuhi seluruh bumi dengan anak-anak, Kisah Para Rasul 1:8 merupakan perintah agar orang-orang percaya memenuhi seluruh bumi dengan murid-murid Kristus.
Tidak hanya itu. Paralel dari perintah mengabarkan Injil dan beranak cucu akan makin terasa ketika kita membandingkan bagian sebelum kedua perintah tersebut diberikan. Di dalam kisah penciptaan, manusia diberi kehidupan ketika mereka menerima hembusan nafas dari Allah. Di dalam perintah mengabarkan Injil, murid-murid Tuhan Yesus menjadi pemberita-pemberita Injil yang berani sesudah mereka menerima Roh Kudus di Hari Pentakosta. Di dalam Bahasa Ibrani, kata ruach yang berarti “Roh” juga dapat berarti nafas. Paralel kedua bagian ini jelas: sebagaimana hanya manusia yang hidup—yakni yang menerima nafas dari Allah—yang dapat beranak cucu, demikian pula hanya mereka yang sudah lahir baru—yakni yang menerima Roh Kudus—yang dapat mengabarkan Injil.
Tidakkah ini hal yang indah dan megah? Kini, di zaman Perjanjian Baru, semua orang baik anak-anak maupun orang yang tua renta, baik orang kaya maupun orang miskin, baik yang menikah maupun tidak menikah, dapat menghasilkan keturunan ilahi!
Namun, ini juga adalah sebuah tuntutan untuk kita. Di zaman Perjanjian Lama, seseorang dapat berdalih dan beralasan bahwa ia masih anak-anak atau sudah terlalu tua, terlalu miskin untuk menafkahi, mandul, atau tidak menikah, sehingga ia tidak bisa menjalankan perintah beranak cucu dan memenuhi bumi. Namun di zaman Perjanjian Baru, tidak ada alasan untuk tidak menghasilkan keturunan ilahi! Kalaupun kita masih anak-anak, kita punya banyak teman di sekolah yang tidak mengenal Kristus. Di masa tua pun, kita dapat menginjili rekan seumuran kita yang belum percaya. Orang yang miskin dan yang tidak menikah pun tentunya memiliki teman, saudara, orangtua, atau lingkungan yang belum mengenal Tuhan.
Murid-murid Tuhan Yesus menyadari hal ini sesudah peristiwa turunnya Roh Kudus. Oleh sebab itulah mereka dengan berani mengabarkan Injil dan, seketika itu juga, tiga ribu orang bertobat. Apakah sampai di situ saja? Tidak! Sampai akhir hayat mereka, mereka tetap dengan gigih memberitakan Injil, bahkan meski mereka harus mempertaruhkan nyawa dan mati sebagai martir karenanya. Gambaran ini mirip dengan ibu yang berjuang dengan gigih melahirkan anaknya, meski ia harus mempertaruhkan nyawa dan bahkan kehilangan nyawanya.
Sekali lagi, adalah sebuah anugerah yang indah bahwa siapapun orang percaya di Perjanjian Baru dapat menghasilkan keturunan rohani. Tidak hanya mereka yang masih berusia produktif maupun yang menikah saja, dan lebih-lebih tidak hanya hamba Tuhan atau misionaris saja. Di sisi lain, ini adalah sebuah perintah yang tidak terhindarkan dan kewajiban yang harus kita lakukan sebagai saksi-saksi Kristus. Tidak ada alasan untuk tidak melaksanakannya. Pertanyaannya, maukah kita menjadi saksi-Nya? Ataukah kita mencari-cari alasan untuk tidak mengabarkan Injil?(DO)