Menjadi Mitra Allah dalam Misi-Nya
Dalam PMPI-45 Gereja kita kembali lagi mengimbau kita untuk terlibat di dalam 3-D pelayanan misi: daya, doa, dana. Hari ini kita akan fokus pada aspek doa.
Di abad ke-21 ini kita mengenal seorang pengkhotbah terkenal di Amerika Serikat yang pernah menjadi misionaris di Amerika Latin: Paul Washer. Ia menceritakan pengalaman misinya yang sangat mengharukan di negara Peru. Pada suatu pagi dini hari, setelah menempuh perjalanan yang panjang dan melelahkan sejauh 8,000 mil, akhirnya pesawatnya mendarat di Lima, ibukota Peru. Setelah Paul dan rombongannya selesai dengan urusan bea cukai, mereka segera merapat ke tempat peristirahatan, jam menunukkan pukul dua dini hari. Semua anggota rombongan bergegas tidur, namun sulit sekali bagi Paul untuk memejamkan matanya. Ada suatu dorongan yang kuat yang mengharuskannya pergi ke toko buku Kristen di kota Lima keesokan hari itu juga.
Setelah fajar menyingsing, Paul sudah berada di dalam taksi untuk meluncur ke toko buku Kristen terbesar di Lima. Ternyata toko itu masih tertutup dan Paul melihat di depan toko itu ada sesosok lelaki berperawakan kecil yang duduk di sana. Paul tahu persis dari penampilannya bahwa lelaki itu berasal dari pedalaman San Martin, karena memang ia pernah mengunjungi daerah itu. ‘Cómo está?’ (Apa kabar?), sapa Paul ramah. Sejenak kemudian mereka pun larut di dalam percakapan yang hangat tentang tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi, dan dari percakapan itu Paul tahu bahwa lelaki itu adalah seorang pendeta yang dipercayakan sejumlah uang oleh jemaatnya untuk membeli buku-buku rohani bagi mereka. Pendeta itu telah menempuh perjalanan selama tiga hari lamanya dengan truk dan bis untuk sampai di toko itu. Hati Paul terasa terenyuh ketika mendengar bahwa uang yang berhasil dikumpulkan hanyalah lima dollar saja! Jumlah yang terlalu kecil untuk membeli sebuah buku sekali pun. Tak lama kemudian pintu toko pun terbuka dan mereka pun masuk. Paul bergegas pergi ke rak bagian ‘Pastoral,’ dan memilih setumpuk buku-buku rohani bagi pendeta ini, dibantu oleh dua orang penjaga toko. Sementara itu, dengan ekor matanya Paul terus mengikuti gerak-gerik pendeta itu, yang beringsut dari satu rak ke rak lainnya dengan pandangan nanar. Kasihan sekali pendeta itu, pasti ia merasa terkejut dengan bandrol harga yang terpasang pada buku-buku yang terpampang di toko itu. Kemudian Paul melihat pendeta itu berhenti di depan rak ‘Traktat murah’ dan diambilnyalah empat lembar traktat lalu berjalan lunglai menuju konter. Paul sudah sampai duluan di konter menyapanya, ‘Bagaimana? Sudahkah Anda dapatkan apa yang Anda inginkan?’ ‘Aku tidak mendapat buku apa-apa,’ jawab pendeta itu singkat. Pada saat itu Paul tak kuasa lagi menahan perasaan hatinya. Dihujanilah pendeta itu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi: ’Tahukah Anda dari mana saya datang?’ ‘Tahukah Anda berapa jauh jaraknya ke mari? Tahukah Anda mengapa saya tidak bisa tidur kemarin malam? ‘Untuk setiap pertanyaan yang dilontarkan, pendeta itu menjawab ‘tidak’ dengan melongo. Lalu Paul menyingkapkan betapa dalamnya kasih Allah bagi pendeta itu dan jemaatnya di San Martin. Berbulan-bulan sebelum pendeta itu sampai ke toko itu, Tuhan sudah menggerakkan dan mempersiapkan jemaat di Amerika Serikat mengumpulkan uang untuk membeli buku-buku rohani bagi mereka. Kemarin malam dini hari bantuan ini telah datang di Lima dan dini hari pukul dua Tuhan telah menggerakkan Paul untuk datang ke toko buku itu, dan pagi itu ia telah dipertemukan dengan pendeta itu! Betapa akuratnya ‘timing’ dari Tuhan di dalam pekerjaan misi-Nya. Kisah ini membukakan beberapa hal tentang pekerjaan misi Allah:
Dua Objektif. Pekerjaan misi terbagi menjadi dua bagian besar: pertama, memperlengkapi mereka yang sudah percaya di Gereja lokal untuk menjangkau mereka yang belum percaya; dan kedua, menjangkau mereka yang belum percaya yang akan bergabung ke Gereja lokal yang sudah ada, atau yang akan membentuk Gereja lokal yang baru. Allah sebagai Mastermind. Pekerjaan misi di dunia global milik Allah dirancang oleh Allah yang Empunya ladang ke pelosok-pelosok yang spesifik yang Ia kehendaki di dunia. Pekerjaan ini bisa saja di tempat yang dekat dan homogen, bisa pula lintas suku/ras, jenis kelamin, budaya, adat-istiadat, agama, serta wawasan dunia. Masuk di dalam pelayanan misi Allah adalah masuk di dalam jejaring misi global Allah yang ‘domino-effect’-nya melampaui daya imajinasi kita. Setiap kita di belahan bumi yang satu menjadi percaya karena pemberitakan Injil orang percaya yang menjadi teman kita, dan orang percaya tersebut menjadi percaya mungkin karena membaca traktat Injil yang dicetak di belahan bumi lain, dst.
Dedikasi penuh. Pekerjaan misi Allah yang sesungguhnya dikerjakan hanya oleh segelintir orang yang Allah pandang kompeten untuk pekerjaan-Nya. Tolok ukur kompetensi Allah sangat berbeda dengan tolok ukur dunia. Yang bodoh bagi dunia dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat…agar jangan ada orang yang memegahkan diri di hadapan Allah (1 Kor. 1:27-29). Persembahan yang sangat bodoh dan lemah di mata dunia dari seorang perempuan yang mencurahkan minyak narwastu ke atas kepala Tuhan Yesus di Betania dipandang sangat berharga di mata Tuhan Yesus Kristus, dan Dia berkata: ‘Di mana saja Injil diberitakan di seluruh dunia, apa yang dilakukan perempuan itu akan disebut juga untuk menngingat dia’ (Mk. 14:8). Ini artinya di mana pun Injiil diberitakan, model kompetensi pelayanan yang dipakai adalah apa yang dikerjakan perempuan ini: dedikasi yang ekstravagan tulus, dan tanpa pamrih untuk pekerjaan Tuhan. Di dalam perjalanan misi lintas budaya-Nya, Tuhan Yesus juga menunjukkan kompetensi serupa yang Ia deklarasikan kepada para murid: ‘Makanan-Ku ialah melakukan kehendak Dia yang mengutus Aku dan menyelesaikan pekerjaan-Nya’ (Yoh. 4: 34).
Gaya hidup doa. Pekerjaan misi Allah yang akurat dan tepat guna membutuhkan jenis ‘doa’ dengan tingkat konektivitas yang sangat tinggi yang memampukan pejuang-pejuang Injil di berbagai pelosok memiliki kepekaan rohani yang tajam untuk cepat tanggap meresponi perintah ilahi yang datang. Kepekaan ini kita dapati di dalam sosok Ananias dari Damsyik, yang Allah pakai untuk meneguhkan Saulus sang penganiaya ornag Kristen yang Tuhan ubahkan menjadi Rasul Paulus, pembela iman Kristen (Kis. 9:16). Kepekaan yang sama juga kita lihat dalam sosok Filipus, seorang tua-tua Gereja mula-mula yang Tuhan pakai untuk memenangkan seluruh Tanah Etiopia melalui pelayanannya kepada seornag sida-sida di padang gurun (Kis. 8). Kepekaan yang tinggi juga dialami Tuhan Yesus di dalam perjalanan misi-Nya ke Samaria. Pagi itu para murid tidak mengerti mengapa mereka harus pergi ke Galilea dengan melintasi teritori Samaria yang menjadi musuh bebuyutan bangsa Yahudi. Tetapi kepekaan Kristus mengharuskan-Nya berada di tepi sumur Yakub tepat sebelum perempuan Samaria itu tiba di sana untuk menimba air. Kepekaan Kristus membuat-Nya melihat dan merasakan seperti Allah melihat dan merasakan, dan mampu menginisiasi percakapan dengan topik yang jitu: ‘air minum’ yang kemudian dipakai sebagai batu loncatan masuk di dalam topik ‘Air Hidup’ di dalam dunia rohani, mampu mengesampingkan benteng-benteng pertahanan yang dibangun perempuan itu melalui isu-isu suku-ras, jenis kelamin, budaya dan adat kebiasaan, serta teologi, dan menggiring percakapan mereka kembali fokus kepada kebutuhan primer sang kupu-kupu malam yang sangat merana kehausan mencari segenggam kebahagiaan yang tak kunjung tiba. Kepekaan yang tinggi ini juga yang membuat Kristus berani menunjukkan bahwa dosa-lah yang menjadi titik akar permasalahan dalam hidup perempuan ini dan mengajak perempuan ini untuk percaya kepada-Nya, Sang Mesias, sumber Air hidup, yakni hidup berkelimpahan yang perempuan ini sangat rindukan. Kepekaan Kristus inilah yang akhirnya memenangkan seluruh kota Sikhar di Samaria.
Pekerjaan misi Allah merupakan pekerjaan yang intens yang dikerjakan oleh Roh Allah yang merintis di depan. Sudah siapkah kita terlibat di dalam pekerjaan misi yang indah ini*(IT)