Menjadi orang percaya yang berdampak
Satu pertanyaan yang perlu direnungkan oleh setiap orang yang mengatakan dirinya adalah orang percaya adalah apakah kehadirannya di dalam dunia ini membawa suatu pengaruh yang dirasakanoleh sekitarnya ? Apakah dengan hadir atau tidaknya Anda sebagai seorang Kristen berpengaruh atau tidak ? Pernah ada satu artikel yang membahas “bagaimana seandainya Tuhan Yesus tidak pernah hadir di dalam dunia ?” Banyak jawaban yang muncul, tetapi salah satu yang terpenting adalah manusia akan hidup tanpa harapan. Tuhan Yesus hadir di dalam dunia tujuannya untuk membawa perubahan yang sangat radikal. Hidup orang yang percaya kepada-Nya tidak pernah sama lagi. Orang-orang yang percaya, ditebus untuk membawa dampak bagi dunia ini (Yoh.17:15-21)
Paul Borthwick (Stop Witnessing and Start Loving), mengatakan “Esensi dari kesaksian kristiani adalah memasuki dunia orang lain” maka dengan mengutip tulisan dari artikel Dick Staub (Please Pass The Salt), Bortwhick mengatakan ada tiga sikap negatif orang Kristen yang tidak boleh dilakukan
Pertama, adalah sikap melindungi diri. Ini adalah suatu ketakutan dari seorang Kristen, untuk menjauhkan diri dunia. Mentalitas “benteng” ini membangun benteng Kristen dan menggali parit di sekeliling kita untuk menjauhkan diri dari dunia. Gereja bertumbuh bukan lagi karena adanya jiwa baru yang tidak mengenal Tuhan yang dimenangkan, melainkan karena pergerakan orang Kristen dari gereja ke gereja lainnya. Sikap cari aman ini yang menghambat kesaksian yang memberi dampak.
Kedua, adalah sikap memusuhi. Sikap yang tidak hanya memandang diri sendiri yang berhak menerima keselamatan, sedangkan orang yang tidak mengenal Tuhan hanya dipandang sebagi orang yang akan dihukum saja. Kehilangan rasa kasih untuk melihat jiwa-jiwa yang terhilang, cenderung hanya menghakimi. Sikap ini akan sangat sulit untuk mempengaruhi orang agar mereka mengenal kasih Allah di dalam Tuhan Yesus.
Ketiga, adalah sikap bunglon. Sepertibunglon, ini adalah sikap di mana orang Kristen benar-benar melebur dalam arti negatif dengan cara, pola pikir, sikap seperti orang-orang yang tidak percaya. Sikap ini jelas akan mengaburkan identitas Kekristenan sampai sulit untuk menemukan perbedaan antara orang percaya dengan dunia.
Macetnya kesaksian Kristen bisa jadi karena salah satu faktor di atas tersebut. Orang percaya harus identifikasi kembali jati dirinya siapa. John Stott menjelaskan empat hal tentang perkataan Tuhan Yesus: orang percaya sebagai garam dan terang dunia (Mat.5:16-19). Pertama ada perbedaan yang esensial antara orang Kristen dan non Kristen. Kedua, orang Kristen harus masuk ke dalam masyarakat non-Kristen. Ketiga, orang Kristen dapat mempengaruhi masyarakat yang non-Kristen. Dan keempat, orang Kristen harus mempertahankan keunikan Kristianinya. Orang Kristen bukan “menjadi” garam dan terang dunia, tetapi ketika percaya, naturnya adalah garam dan terang.
Di dalam merespon ini, berikut adalah beberapa langkah praktis tentang bagaimana kita bisa mulai bergerak dan memberi dampak, ini bukan tentang metode penyampaiannya (dipaparkan Paul Borthwick dan beberapa sumber lainnya):
- Bertemanlah. Kita perlu mengenal mereka yang belum percaya, kita perlu membangun relasi dengan mereka. Dengan cara bisa bergabung dengan kegiatan-kegiatan kerja bakti di lingkungan, belajar mengenal para konsumen di toko, pakailah jasa dari orang yang sama untuk memperbaiki mobil, atau mencukur rambut, dll. Berdoalah agar Allah membuka pintu pertemanan dengan mereka. Jim Petersen (Living Proof) mengingatkan dalam bab “Dari Isolasi ke Komunikasi” bahwa penginjilan adalah suatu proses. Tidak selalu penginjilan sama dengan penuaian. Jim mendapati seringkali seseorang itu seperti ladang yang kosong, di mana dia harus menanam, menyiram, dan mengolahnya terlebih dahulu. Penginjilan membutuhkan waktu dan kehadiran orang percaya penting untuk dirasakan di dalam dunia ini.
- Mengenali konteks zaman. Penyampaian tentang berita Injil di dalam Alkitab, tidak pernah dilepaskan dari konteks zaman. Rasul Paulus selalu berusaha masuk ke dalam konteks di mana dia berhadapan (1 Kor.9:20), dengan tujuan supaya mereka dapat dimenangkan. Perlu ada jembatan untuk dapat mengkomunikasikan Injil. Komunikasi yang efektif dimulai ketika ada persamaan dalam percakapan.
- Perlengkapi diri dengan beberapa metode pengabaran Injil. Perlu untuk belajar bagaimana menyampaikan berita Injil itu, sekalipun ketika di lapangan ada situasi-situasi yang sangat cair sekali keadaannya dan kadang kala tidak terprediksi. Tetapi tetap perlu mempelajarinya untuk mengerti harus memulai dari mana, kemudian apa yang akan disampaikan pada langkah-langkah selanjutnya. Contoh: Evangelism Explosion, Buku tanpa kata, dll.
- Bukalah mata dan telinga. Dalam kesibukan sehari-hari kita bisa saja terlewatkan bahwa ada orang-orang di sekeliling kita yang memerlukan Injil. Perlu adanya “momen diam” dan mulai memandang sekeliling, mendengar pergumulan-pergumulan. Banyak orang yang tidak tahu tujuan hidupnya, tidak punya kepastian keselamatan, hidupnya penuh kekecewaan dengan gereja.
Neil Hudson dalam buku Imagine Church, mengutip kalimat dalam Kongres Lausane bagi Penginjilan Dunia yang Ketiga bahwa secara umum strategi misi secara utuh dari gereja di seluruh dunia adalah “Merekrut umat Allah untuk menggunakan sebagian dari waktu luang mereka untuk bergabung dalam usaha misi dari pelayan gereja penuh waktu” tetapi penggunaan “waktu luang” dapat diartikan bahwa misi itu terbatas jika seseorang itu punya waktu luang yang cukup. Sesungguhnya orang Kristen harus menghidupi firman itu dalam seluruh hidupnya dan waktunya 100% dan akan menjadi murid yang berdampak bagi dunia ini.Kalau setiap orang percaya bergerak sebagai murid Kristus yang sejati dalam seluruh hidupnya, bayangkan dampaknya seperti apa. *** [RR]