Pendoa yang Gagal?
Anda mungkin pernah melihat emak-emak yang pergi ke pasar tradisional, kemudian menawar barang habis-habisan supaya mendapat harga yang termurah. Entah bagaimana caranya para emak-emak menawar sehingga sang pedagang yang kewalahan pun tidak tahan dan menuruti keinginan mereka. The power of emak-emak, kata orang.
Kejadian 18:16-33 mungkin terkesan seperti ini bagi kita. Bedanya, sang penawar bukan emak-emak tapi bapak-bapak, atau tepatnya seorang kakek-kakek bernama Abraham. Abraham tawar-menawar dengan Tuhan agar Tuhan tidak menghancurkan Sodom dan Gomora. Selain itu, perbedaan mendasar lain adalah bahwa manakala emak-emak berhasil menawar, Abraham gagal. Di pasal selanjutnya kita akan membaca bagaimana Tuhan tetap melaksanakan penghakimannya atas kedua kota tersebut.
Jika ini adalah cara kita memandang Kejadian 18:16-33, tidak heran kita akan kecewa melihat sesosok pendoa syafaat yang gagal. Abraham tidak kompeten, dan oleh sebab itulah ia gagal pencegah penghakiman Tuhan atas Sodom dan Gomora.
Namun, benarkah demikian?
Untuk mengerti apakah Abraham berhasil atau gagal, kita harus melihat konteks besar dari Kejadian 18:1-21:7 secara keseluruhan. Di dalam literatur-literatur Yahudi termasuk Alkitab, biasanya kita akan menemukan struktur narasi yang disebut kiasmus atau paralel terbalik. Suatu narasi, misalnya, dapat dibagi menjadi lima bagian, A-B-C-B’-A’, dengan bagian yang berada tepat di tengah, yakni bagian C, sebagai klimaks dari narasi tersebut. Struktur ini pun dapat kita temukan dalam Kejadian 18:1-21:7
A – Sang anak dijanjikan, 18:1-15
B – Abraham bersyafaat untuk Sodom dan Gomora, 18:16-33
C – Tuhan menghancurkan Sodom and Gomora, 19:1-38
a – Imoralitas seksual orang-orang Sodom (ay. 1-11)
b – Lot diselamatkan (ay. 12-23)
c – Kehancuran Sodom dan Gomora (ay. 24-26)
b' – Alasan mengapa Lot diselamatkan (ay. 27-29)
c' – Imoralitas seksual anak-anak Lot (ay. 30-38)
B' – Abraham bersyafaat untuk Sodom dan Gomora, 20:1-18
A' – Sang anak diberikan, 21:1-7
Jika dilihat dalam kerangka keseluruhan narasi Abraham, kita dapat melihat bahwa sebenarnya Abraham tidak hanya bersyafaat satu kali, yakni untuk Sodom dan Gomora (18:16-33) pada bagian B, tetapi dua kali, yakni kedua kalinya adalah untuk Abimelek (20:1-18) pada bagian B’. Jika kita membaca kedua bagian ini secara terpisah, maka kita ajan mendapatkan kesan bahwa doa syafaat Abraham untuk Sodom dan Gomora gagal. Namun, ketika kita membacanya sebagai satu kesatuan, kita akan menemukan fakta menarik, yakni bahwa tujuan utama Tuhan menghendaki Abraham bersyafaat untuk Sodom dan Gomora memang bukanlah untuk keselamatan kedua kota tersebut, melainkan karena Tuhan ingin mengubah seorang ‘Abram’ menjadi seorang ‘Abraham’, “bapa sejumlah besar bangsa” (Kejadian 17:4-5), sebagaimana Ia telah mengganti namanya di pasal sebelumnya.
Jika kita membaca pasal-pasal sebelumnya dari narasi kehidupan Abraham, kita akan melihat bahwa Abraham bukanlah manusia yang sempurna. Sebaliknya, ia penuh dengan kelemahan. Ia membohongi Firaun dan tidak peduli apa yang akan terjadi pada seluruh Mesir (12:10-20). Di sisi lain, ia lebih taat kepada Sarai, istrinya, daripada Tuhan, dan memakai jalan pintas untuk mendapatkan anak dengan cara menikahi Hagar (16:1-4). Tak hanya itu, ketika Tuhan kembali mengingatkan janji-Nya bahwa Ia akan mengaruniakan anak, Abraham malah sepertinya tidak begitu tertarik lagi dengan janji tersebut dan puas dengan keberadaan Ismael, anaknya dari Hagar (17:18).
Mungkinkah ini alasan mengapa Tuhan membiarkan Abraham menunggu sekian lama untuk mendapatkan anak? Karena Abraham belum siap menjadi bapa segala bangsa? Alasan Tuhan menjanjikan anak kepada Abraham bukan supaya Abraham senang memperoleh ahli waris, melainkan
supaya melaluinya dan keturunannya semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat (12:1-3)! Jika Tuhan sekedar memberikan anak kepada ‘Abram’ yang sekedar memikirkan diri sendiri dan tidak peduli dengan rencana besar Allah untuk keselamatan, mungkinkah ia dapat menjadi berkat bagi segala bangsa? Tidak mungkin. Tuhan ingin mengubah ‘Abram’ secara literal berarti “bapa yang dijunjung” menjadi ‘Abraham’, “bapa sejumlah besar bangsa”.
Dan inilah yang Tuhan lakukan di dalam Kejadian 18:16-33. Sesudah mengulang janji bahwa Ia akan mengaruniakan anak kepada Abraham, Ia seolah menggiringnya ke ‘tempat latihan’ untuk menjadikannya seorang pendoa syafaat bagi bangsa-bangsa. Tuhan ingin melatih Abraham untuk berdoa bagi bangsa-bangsa lain, dalam hal ini Sodom dan Gomora, dan tidak hanya untuk dirinya sendiri.
Perhatikan bahwa Tuhan hanya mengatakan bahwa Ia akan “turun untuk melihat” (18:20-21) apa yang terjadi pada Sodom dan Gomora. Tuhan tidak mengatakan apapun tentang menghancurkan kedua kota tersebut. Abraham-lah yang langsung berkesimpulan bahwa tentunya Tuhan akan menghancurkan kedua kota tersebut, kota dimana Lot, keponakannya, tinggal.
Apa yang Abraham katakan kepada Tuhan? “Yah, memang kedua kota tersebut sangat bobrok, Tuhan. Lakukan apapun yang Kau mau, tapi jangan apa-apakan Lot, ya?” Bukan ini yang Abraham katakan! Melalui seri doa syafaat Abraham dan jawaban Tuhan, Abraham ingin agar tidak hanya Lot, tetapi seluruh Sodom dan Gomora selamat! Abraham tidak lagi mementingkan keselamatan keluarganya sendiri melainkan bangsa-bansga lain pula!
Tidak hanya itu. Salah besar jika dikatakan bahwa doa syafaat Abraham adalah tawar-menawar ala emak-emak. Ini adalah doa seorang imam. Itulah sebabnya mengapa Abraham sangat merendahkan diri di hadapan Tuhan dan mengatakan bahwa ia hanyalah “debu dan abu” (18:27). Kita mendapatkan kesan ini dalam seluruh percakapannya dengan Tuhan. Jika kita kontraskan dengan doa-doa Abraham sebelumnya (15:3,8; 17:18), tak hanya doa-doa ini hanya menyangkut dirinya sendiri dan keturunannya, tetapi juga dilayangkan dengan nada ponggah, khususnya saat ia menghendaki agar Ismael saja yang menjadi penerusnya (17:18).
Aneh sekali bahwa ketika Abraham berdoa untuk dirinya sendiri, ia menunjukkan arogansi. Namun ketika ia bersyafaat untuk orang lain, ia belajar untuk kerendahan hati.
Pertanyaan terakhir: mengapa Abraham berhenti sampai sepuluh orang? Mengapa Abraham tidak meneruskan syafaatnya sampai, “sekiranya satu orang didapati di sana?” Apakah karena Abraham takut Tuhan marah? Bisa saja. Namun sepertinya bukan itu alasannya.
Di dalam sepanjang percakapan ini, tidak pernah sekalipun Tuhan menawar balik, “ah! Itu terlalu sedikit! Dua puluh lima saja! Bagaimana?” seperti pedagang pada umumnya. Sebaliknya, Ia terus-menerus mengabulkan permohonan Abraham. Ketika Abraham menyaksikan hal ini, pada akhirnya ia pun sadar, ini bukan masalah berapa jumlah orang benar dalam Sodom dan Gomora. Sebab, Lot serta anak-anaknya pun bukan orang benar, seperti yang dibuktikan di bagian selanjutnya (19:30-38). Ini mengenai belas kasihan dan keadilan Tuhan. Mungkin inilah sebabnya Abraham tidak melanjutkan syafaatnya, menyerahkan seluruhnya kepada keputusan Tuhan, dan kembali ke tempat tinggalnya sesudah Tuhan pergi.
Jadi, apakah Abraham adalah pendoa syafaat yang gagal? Meski Sodom dan Gomor pada akhirnya dihancurkan, kita tidak dapat mengatakan bahwa Abraham gagal. Sekali lagi, tujuan Tuhan bukanlah untuk Sodom dan Gomora, melainkan untuk melatih Abraham. Jika kita membaca dua pasal sesudahnya (20:1-18), memang benar Abraham mengulang kesalahan yang sama dengan saat ia di Mesir (12:10-20). Namun setidaknya kini ia langsung sadar akan kesalahannya dan berdoa untuk Abimelekh, seorang asing (20:17). Dan oleh karena itulah, ketika ia akhirnya berhasil menjadi ‘Abraham’, “bapa sejumlah besar bangsa” yang bersyafaat untuk bangsa-bangsa lain, Tuhan kemudian memberikan anak yang Ia janjikan kepadanya (21:1-7).
Inilah yang seringkali terjadi dalam hidup kita. Tuhan menjanjikan sesuatu bagi kita, sebagaimana Ia menjanjikan anak untuk Abraham. Namun kita, seperti Abraham, belum siap menerimanya. Jadi, Tuhan menunda memberikan hal tersebut sementara Ia membentuk kita sampai kita siap. Pertanyaannya adalah, maukah kita dibentuk?(DO)