Telinga Sang Hamba
Ada empat Injil dalam Perjanjian Baru. Namun, tahukah Anda bahwa ada sebuah kitab yang sering disebut-sebut “Injil kelima”? Lebih menariknya lagi, kitab yang dikatakan Injil Kelima ini bukan terletak di Perjanjian Baru melainkan Perjanjian Lama! Kitab apakah itu? Tidak lain dan tidak bukan adalah Kitab Yesaya.
Keseluruhan Kitab Yesaya memang menarik karena tidak hanya berisikan teguran Tuhan terhadap umat-Nya yang bebal, tetapi terutama berisikan banyak nubuatan kedatangan Sang Mesias. Inilah sebabnya Kitab Yesaya disebut Injil kelima. Salah satu dari nubuatan Mesianik yang paling indah adalah empat bagian yang oleh para ahli biblika disebut “Servant Songs” (“Nyanyian Hamba”). Keempat Servant Songs ini terdapat di dalam Yes. 42:1-9, 41:1-13, 50:4-11, dan yang paling terkenal adalah Yes. 52:13-53:12, sebuah bagian yang tentunya sangat sering didengungkan di dalam momen-momen Jumat Agung. Seperti namanya, keempat nyanyian ini berisikan deskripsi mengenai pelayanan, penderitaan, dan kemuliaan dari Sang Hamba. Sang Hamba adalah figur yang lembut dan rendah hati, meskipun Ia digambarkan sebagai seorang Raja.
Ketika membaca Servant Songs yang pertama (42:1-9), kedua (41:1-13), dan keempat (52:13-53:12), banyak ahli biblika Yahudi serta rabi-rabi yang menafsirkan bahwa Sang Hamba yang dimaksudkan adalah bangsa Israel sendiri. Tema-tema penderitaan Sang Hamba di dalam Yesaya 53, misalnya, dihubung-hubungkan dengan penderitaan bangsa Israel sejak pembuangan ke Babel, Persia, Yunani, Romawi, bahkan sampai kepada masa-masa Holocaust oleh Nazi. Namun, apakah penafsiran ini benar?
Servant Song yang ketiga, terambil dari Yes. 50:4-11, memang adalah nyanyian yang paling pendek. Namun, lagu ketiga inilah yang secara jelas membuktikan bahwa figur Sang Hamba tidak mungkin adalah bangsa Israel. Mengapa demikian? Karena Servant Song ketiga inilah yang mengkontraskan dengan jelas perbedaan bangsa Israel dan Sang Hamba yang sekaligus adalah Mesias yang dinubuatkan!
Tepat sebelum bagian ini, Allah berfirman melalui Nabi Yesaya bahwa bangsa Israel adalah bangsa yang tidak taat. Mereka adalah bangsa yang bersalah dan melanggar perjanjian dengan Tuhan (50:1b) dan tidak mendengar suara Tuhan (50:2). Dengan kata lain, mereka adalah umat yang tuli. Bagaimana dengan Sang Hamba? Dikatakan bahwa Sang Hamba memiliki hati seorang murid. Mengapa Ia memiliki hati seorang murid? Karena Ia mendengar! Allah mempertajam pendengaran-Nya untuk mendengar seperti seorang murid (50:4b) dan membuka telinganya (50:5a).
Pertanyaannya: mengapa pendengaran seolah menjadi indera yang sangat penting di bagian ini? Sebenarnya indera pendengaran tidak hanya penting untuk bagian ini, tetapi untuk seluruh Perjanjian Lama. Menarik untuk diperhatikan bahwa bahasa Ibrani, bahasa asli yang dipakai dalam Perjanjian Lama, tidak memiliki kata khusus untuk “taat.” Sebaliknya, kata Ibrani untuk “dengar” (shema) juga mengandung di dalamnya nuansa ketaatan. Begitu pentingnya perintah untuk “shema”, untuk “mendengar”, dengan kata lain untuk taat, sampai-sampai pengakuan iman terpenting untuk bangsa Israel pun disebut “Shema”! Bayangkan saja semisalkan pengakuan iman kita, Pengakuan Iman Rasuli, diberi nama “Dengar.” Pengakuan iman bangsa Israel diberi nama demikian karena pengakuan iman ini bukan dimulai dengan “aku percaya” (seperti di dalam Pengakuan Iman Rasuli), tetapi “dengarlah” (Ul. 6:4-5). Sedemikian pentingnya indera pendengaran bagi Tuhan. Bukan masalah memiliki pendengaran yang tajam, tetapi bagaimana pesan yang didengar itu diresponi dengan ketaatan.
Akan tetapi, hal ini ternyata gagal dilakukan bangsa Israel. Meski secara fisik mereka memiliki telinga yang sempurna dan pendengaran yang baik, faktanya dalam Yes. 42:18 dan 20, hanya beberapa pasal sebelum Servant Song ketiga, orang-orang Israel dikatakan “tuli” dan “tidak mendengar”. Tentu saja mereka mendengar. Tentu saja mereka bukan tuna rungu. Namun fakta bahwa mereka tidak taat sama saja berarti mereka tidak bertelinga.
Jadi, perbedaan mendasar orang-orang Israel dan Sang Hamba adalah manakala orang-orang Israel adalah pemberontak, Sang Hamba sepenuhnya taat kepada Allah, bahkan meskipun ketaatan-Nya akan mengakibatkan penderitaan menimpa diri-Nya (50:6). Bahkan di dalam keadaan penuh penderitaan seperti inipun, Sang Hamba menunjukkan iman kepercayaan-Nya bahwa Allah akan menolong dan membela-Nya (50:7-9). Ia taat sampai akhir.
Tujuh ratus tahun kemudian, Tuhan Yesus menggenapi nubuatan ini. Ia taat kepada Bapa-Nya, meskipun ketaatan ini menuntut-Nya kepada jalan salib. Hal yang sama disaksikan oleh Paulus dalam Fil. 2:8. “Tetapi,” mungkin kita berpikir, “bukankah banyak orang-orang Kristen lain yang karena ketaatannya mati martir, bahkan dengan jalan disalib? Bagaimana kita bisa tahu bahwa nubuatan ini secara spesifik menunjuk kepada Tuhan Yesus?” Memang benar bahwa meski salib adalah sebuah hukuman yang sangat mengerikan, Tuhan Yesus bukan satu-satunya orang yang tergantung di kayu salib. Entah berapa banyaknya orang yang mengalami kengerian ini, baik sebelum dan sesudah Tuhan Yesus, baik orang Kristen dan juga bukan Kristen. Namun, ada satu hal yang membuat kematian-Nya sangat khusus dibandingkan dengan orang-orang Kristen yang mati martir karena ketaatan-Nya.
Jika kita mengingat Tujuh Perkataan Salib, perkataan keempat Tuhan Yesus adalah, “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mrk. 15:34). Ini adalah puncak dari penderitaan Tuhan Yesus, yakni keterpisahan-Nya dengan Allah Bapa. Entah betapa banyaknya teolog yang mengingkari hal ini, mengatakan bahwa tak mungkin Allah Anak dapat terpisah dengan Allah Bapa, dan bahwa Tuhan Yesus hanya sekedar mengutip Mazmur 22 yang digubah oleh Daud (Maz. 22:2). Dengan kata lain, pandangan ini mengatakan bahwa Tuhan Yesus hanya sekedar “bersandiwara.” Tuhan Yesus tidak benar-benar mengalami keterpisahan dengan Bapa-Nya. Jelas ini adalah pandangan yang sangat tidak Alkitabiah! Hukuman dosa adalah keterpisahan dari hadirat Allah. Jika Tuhan Yesus tidak menanggung hukuman ini mewakili kita manusia yang berdosa, berarti dosa kita tidak benar-benar dibayar lunas. Jadi, kesimpulan yang harus ditarik dari perkataan keempat ini adalah bahwa Tuhan Yesus benar-benar mengalami keterpisahan dengan Bapa-Nya agar kita dapat masuk ke hadirat-Nya, seperti yang dilukiskan oleh tabir Bait Suci yang terbelah (Mat. 27:51).
Namun jika hal ini benar, tidakkah muncul suatu permasalahan lain? Di sepanjang bagian Alkitab, Allah selalu menjanjikan penyertaan-Nya jika kita taat. Namun, di dalam kasus Tuhan Yesus, Ia terusir dari hadirat Bapa-Nya ketika Ia taat sampai ke kayu salib. Bagaimana cara menjelaskannya? Mungkin tidak ada jalan lain untuk menjelaskan hal ini selain dengan mengatakan bahwa justru Tuhan Yesus yang taat sampai mati ditinggalkan, supaya kita, umat yang selama ini hidup dalam pemberontakkan, beroleh anugerah terbesar yakni penyertaan Allah sampai kepada kekekalan. Sesudah dilahirbarukan pun, orang Kristen seringkali jatuh dalam dosa. Namun, karena Tuhan Yesus yang taat mengalami keterpisahan, kita yang acap kali gagal untuk taat tidak akan pernah ditinggalkan.
Namun, ini bukan menjadi alasan untuk orang percaya hidup di dalam dosa. Ketaatan Tuhan Yesus bukanlah tiket orang Kristen hidup di dalam dosa, melainkan teladan bagi para murid-Nya. Memang, orang percaya diselamatkan bukan karena perbuatan baik, seolah-olah kita baru bisa diselamatkan jika bisa meneladani Tuhan Yesus. Orang percaya diselamatkan semata-mata oleh anugerah yang diperoleh Tuhan Yesus melalui ketaatan-Nya. Akan tetapi, justru karena kita telah menerima anugerah sekaligus memiliki teladan, tidak ada alasan untuk kita sengaja hidup dalam ketidaktaan! Sebagaimana hal terpenting yang membedakan Sang Hamba yang sejati, yakni Yesus Kristus Sang Mesias, dengan hamba-hamba pemberontak, yakni orang-orang Israel yang ditegur Yesaya, adalah telinga yang mendengar, demikianlah yang membedakan murid-murid Kristus yang sejati dan yang palsu adalah ketaatan.*(DBO)