Bagikan artikel ini :

Penghibur Sialan!

Pengkhotbah 3:7

Bersukacitalah dengan orang yang bersukacita, dan menangislah dengan orang yang menangis!
- Roma 12:15

Anda tentu tahu kisah Ayub, orang saleh yang diberkati Tuhan sedemikian rupa, tetapi kemudian kehilangan segala-galanya. Kita ingat kisah hidupnya yang hanya tertulis sebanyak dua pasal pertama saja, padahal sebagian besar isi kitab Ayub, empat puluh pasal banyaknya, adalah mengenai percakapan Ayub dan teman-temannya! Mengapa bisa begitu panjang? Karena saat itu teman-teman Ayub mencoba mendebatnya yang tengah berduka. Dari sini saja Anda sudah melihat kebodohan keempat orang tersebut. Orang yang berduka tidak butuh didebat, tetapi didengarkan!

Inilah pesan Raja Salomo dalam ayat yang kita baca, yakni ada waktunya kita tidak perlu melakukan apa-apa selain hadir dan menyediakan bahu bagi mereka yang berduka. Merobek baju merupakan adat-istiadat orang Yahudi ketika sedang berkabung. Ketika masa perkabungan selesai, barulah baju tersebut akan dijahit kembali. Demikian pula dengan berdiam diri dan berbicara. Rekan-rekan Ayub akhirnya dimarahi oleh Tuhan (Ay. 42:7-8) karena mereka tidak tahu kapan waktunya untuk berdiam diri.

Memang, mudah untuk kita mengkritik teman-teman Ayub. Namun, bukankah ini yang sering kita lakukan sebagai orang Kristen? Ketika mengunjungi rekan-rekan yang sedang berduka, apa yang kita katakan? “Tuhan mengerti kesulitanmu,” “Tuhan pasti punya rencana,” “Tuhan akan memberikan kekuatan,” “Dia sudah bahagia dengan Tuhan di surga, jadi jangan menangis!” Kalaupun kata-kata ini tidak terucap, kita mudah sekali menghakimi orang yang berduka ketika ia dalam penderitaan yang hebat berkeluh kesah seperti Ayub, “Lebih baik Tuhan memanggilku bersama dia!” (bdk. Ay. 6:9), “aku tidak tahu lagi masa depanku akan seperti apa! Aku gelisah setiap saat!” (bdk. Ay. 3:26), “apa salahku sampai Tuhan mendatangkan hal ini?” (bdk. Ay. 7:20-21). Kita menghakiminya, “tidak beriman,” “tidak sungguh-sungguh percaya,” padahal kata-kata rekan kita ini hanya emosi sesaat saja. Di dalam kelemahan dan penderitaan, ia bukan bermaksud melawan Tuhan. Mungkin ini alasan mengapa ibadah kedukaan di gereja lebih terkesan seperti pertunjukan bagi mereka yang ditinggalkan, daripada penghiburan kepada mereka.

Ayub mengatai kawan-kawannya, mereka yang berniat menghibur tapi malah membuatnya frustrasi, “penghibur sialan!” (Ay. 16:2). Jika tidak ingin menjadi “penghibur sialan”, marilah kita belajar untuk diam dan mendengarkan. Tuhan Yesus memberkati.

Refleksi Diri:

  • Bagaimana sikap Anda ketika bersama-sama mereka yang berduka? Apakah Anda cenderung banyak bicara atau diam?
  • Apa yang dapat Anda lakukan untuk belajar mendengarkan mereka yang berduka dan tidak menghakimi mereka?