Mengasihi Anggota Keluarga Yang Sukar Dikasihi
Di dalam hidup bersama keluarga, harapan kita adalah memiliki anggota keluarga yang menyenangkan dan dapat saling mengasihi. Berdasarkan pengalaman, kita tahu harapan ini biasanya tidak mudah terpenuhi. Ada orang-orang di dalam keluarga yang tidak menyenangkan, sulit bahkan rasanya mustahil dikasihi. Penyebabnya bisa bermacam-macam: terlalu ikut campur, tidak bisa menjaga penampilan, biasa berkata kasar, lebih perhatian kepada hobi daripada anggota keluarga, suka memukul secara fisik, menjadi ‘benalu’ yang terus menggerogoti hidup anggota keluarga lainnya dan sebagainya.
Jikalau orang tersebut bukan anggota keluarga dan/atau tidak tinggal serumah dengan kita, seringkali yang dilakukan adalah mengurangi frekuensi perjumpaan dengannya. Akan tetapi jika dia adalah anggota keluarga inti dan/atau tinggal serumah, tentu hal ini sulit bahkan tidak dapat dilakukan. Jikalau kita adalah orang Kristen yang memiliki anggota keluarga seperti itu, bagaimana kita perlu bersikap? Ada beberapa hal yang mungkin dapat menolong kita.
Pertama, kita perlu membedakan antara menyukai dan mengasihi. Menyukai adalah sebuah perasaan yang muncul ketika kita mengalami bahwa seseorang atau tindakan seseorang sesuai dengan gambaran ideal kita. Misalnya, kita senang ketika melihat seorang pria selalu bersikap tegas, karena menurut kita itulah yang seharusnya dilakukan seorang pria. Kita tidak suka kalau seorang pria terkesan lemah, ‘plin-plan’ dan seringkali sulit mengambil keputusan. Ini bisa membawa kita meremehkan dia. Suka dan tidak suka bisa didasarkan atas moralitas Firman Tuhan, tetapi bisa juga dipengaruhi oleh pengalaman dan pembelajaran sejak kecil melalui keluarga dan lingkungan. Semuanya menjadikan kita unik. Ini juga penyebab kita tidak bisa menyukai semua orang sekalipun dia adalah anggota keluarga. Di sisi lain, Tuhan meminta kita untuk mengasihi, bukan karena kita harus menyukai seseorang, tetapi karena memang itu adalah perintah Tuhan. Kasih yang dituntut Tuhan adalah kasih yang bertindak, bukan hanya di dalam perasaan atau berdasarkan perasaan. Kasih kristiani kepada seseorang tidak bergantung kepada apakah orang itu disukai atau apakah dia layak dikasihi menurut pandangan manusia.
Kedua, kita perlu menyadari bahwa setiap orang, termasuk diri sendiri, terbentuk dari berbagai jalinan peristiwa hidup, latar belakang keluarga, pendidikan, kapasitas fisik, memori dan sebagainya yang unik bagi tiap orang. Allah membentuk setiap orang dengan cara-Nya dan untuk tujuan-Nya sendiri. Apa yang dianggap sebagai ‘seharusnya’ atau ‘biasanya’ oleh masyarakat umum, tidak bisa selalu cocok untuk membingkai seseorang. Standar ‘seharusnya’ hanya bisa diberikan oleh Firman Tuhan. Karena itu, kita perlu tahu kisah yang mungkin berperan membentuk anggota keluarga sebagaimana adanya dia sekarang. Misalnya, jika kita memiliki ibu yang kurang bisa mengekspresikan kasih sayang kepada anak-anak sebagaimana yang kita harapkan ada seperti di keluarga lain, kita perlu membuka telinga dan hati untuk mengetahui jalan hidup ibu di masa lalu. Mungkin ibu adalah orang yang juga minim menerima ekspresi kasih sayang dari keluarganya ketika bertumbuh atau memiliki suatu pengalaman traumatis tertentu. Ketika kita bisa mengetahui bagaimana pembentukan ibu selama ini, kita bisa menggantikan ketidaksukaan kita dengan belas kasihan. Kita bahkan bisa meminta Allah untuk menjadi bagian dari pembentukan Allah untuk ibu agar dapat lebih mengekspresikan kasih sayangnya kepada anak-anak.
Ketiga, kita jangan lupa bahwa dosa telah mencemari setiap manusia yang hidup di dunia. Orang percaya yang telah mengalami penebusan pun masih terus bergumul dengan dosa, terus disempurnakan dalam karakter agar semakin menyerupai Kristus. Perjalanan pengudusan bersifat progresif dan jatuh bangun sampai disempurnakan di akhir zaman. Karena itu, sekalipun anggota keluarga adalah orang-orang percaya, mereka masih banyak melakukan kesalahan dan tidak selalu bisa mengikuti apa kata Firman Tuhan, termasuk diri sendiri. Kita perlu meminta hati yang berbelas kasihan dari Tuhan serta rasa puas ketika anggota keluarga terus bergumul untuk menaati Tuhan. Kalau Allah bisa memahami kelemahan kita, seharusnya juga demikian kita terhadap anggota keluarga: perlu segera mengampuni, memberi kasih dan mendorongnya untuk lebih baik dalam kehidupan iman. Keluasan hati dan kasih lebih sangat diperlukan ketika anggota keluarga yang sulit dikasihi ternyata memang belum sungguh-sungguh bertobat dan lahir baru.
Keempat, janganlah perbuat kepada orang lain sebagaimana yang mereka perbuat kepada kita, tetapi perbuatlah kepada orang lain sebagaimana Allah telah perbuat kepada kita. Allah telah menyatakan kasih-Nya sekalipun kita adalah orang berdosa yang menentang Dia. Allah telah menanggung segala dosa dan ketidaksempurnaan kita pada diri Anak-Nya di kayu salib. Setiap orang yang menerima karya Allah diberi kemampuan untuk menanggung segala ketidaksempurnaan karakter dan tindakan anggota keluarganya, mengasihi anggota keluarga dengan kasih ilahi dan membawanya kepada Allah. Allah menghendaki anak-anak-Nya berdoa dan memberi pengampunan kepada para musuh dan bukan membiarkan atau memberi pembalasan, apalagi terhadap anggota keluarga yang kurang disukai. Allah mengizinkan anggota keluarga yang sulit dikasihi hadir di dalam kehidupan kita sebagai bagian pembentukan diri kita untuk lebih bergantung kepada Dia, mengenal Dia dan kuasa-Nya lebih dalam lagi.
Kelima, berilah kasih dengan tindakan nyata sambil tetap menyatakan kebenaran, terlebih lagi pada titik terendah dalam kehidupan anggota keluarga yang kurang kita sukai. Tetap mengasihi dan hadir bersamanya pada periode sangat sulit dari hidupnya akan memberi dampak rohani positif baginya. Pada saat orang lain mungkin tidak menyukainya atau menganggapnya sampah, suatu hal yang mungkin juga disadarinya, dia tahu ada keluarganya yang percaya dan tetap bersamanya. Sebagai anggota keluarganya, kalau ia melakukan dosa tentu kita perlu menegur dan memberitahu konsekuensi dosanya. Kita perlu mengarahkannya kepada Allah agar mendapat pengampunan dan pemulihan. Tetapi kita perlu juga memberi keyakinan kepadanya bahwa dia tidak dibuang dan kita tetap mengasihinya. Untuk tetap mengasihi seperti itu, pasti dibutuhkan pengorbanan, bukan hanya materi tetapi terutama non-materi. Kita tidak akan mampu melakukannya, sampai kita tahu bahwa inilah yang telah dikerjakan Allah melalui penebusan Kristus ketika manusia ada di titik terendah dalam kehidupan berdosa. Allah mengerjakannya dengan harga yang mahal dan memberi kuasa kepada kita untuk melakukannya dalam level manusia, termasuk kepada anggota keluarga.
Intinya, di dalam kehidupan orang percaya, tidak ada yang mustahil untuk tetap mengasihi anggota keluarga dan berbuat yang terbaik bagi mereka, bahkan jika kita merasa mereka sulit dikasihi. Ini adalah panggilan Allah kepada setiap anak-Nya sebagai cerminan dari diri-Nya yang adalah kasih. Selamat belajar mengasihi.***(TDK)