Passing the Torch: Regeneration through Discipleship
Kita semua familiar dengan pepatah lawas “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Makna dari pepatah ini adalah sifat dan perilaku seorang anak seringkali merupakan turunan dari orang tuanya. Misalnya, orang tua yang bermusik cenderung akan memiliki anak yang tertarik pada musik. Orang tua yang hobi otomotif akan menularkan kesukaan terhadap otomotif pada anaknya. Tidak hanya hobi, sifat-sifat dan gerak-gerik orang tua juga bisa secara natural diturunkan kepada anak. Misalnya gaya bicara orang tua yang lemah lembut bisa secara natural diturunkan kepada anak. Atau orang tua yang suka mengekpresikan emosi secara meledak-ledak bisa ditiru oleh anak.
Suka tidak suka, pengaruh orang tua dalam kehidupan anak memang teramat besar. Dan memang seperti itulah design Tuhan bagi kehidupan manusia. Tuhan menetapkan bahwa orang tua bertanggung jawab penuh untuk memastikan anak mengalami pertumbuhan yang memadai dalam seluruh aspek kehidupannya. Khususnya pertumbuhan kerohanian.
Plummer (Bring Them Up in the Discipline and Instruction of the Lord, hal. 26) dengan tegas mengatakan bahwa ketika orang tua gagal mengindahkan kewajiban mereka untuk meneruskan iman yang hidup kepada anak-anak mereka, akibatnya bisa menjadi bencana. Ketika orang tua membiarkan anak-anak terbengkalai dalam keadaan tidak dimuridkan, tidak hanya kehidupan generasi pertama yang akan terdampak melainkan juga generasi-generasi seterusnya.
Meminjam analogi “The Three Chairs” dari Bruce Wilkinson, Ron Hunter Jr (The DNA of D6: Building Blocks of Generational Discipleship, hal. 24) menjelaskan dampak generasional yang terjadi dalam tiga generasi. Kursi pertama adalah generasi yang mengenal Tuhan secara intim dan mengalami pekerjaan-Nya dalam kehidupan mereka. Kursi kedua adalah generasi kedua yang mengetahui tentang Tuhan dengan mendengar orang tua mereka berbicara tentang Dia, namun tidak mengalami Tuhan dalam perjalanan pribadi mereka sendiri. Generasi ketiga yang menempati kursi ketiga sama sekali tidak mengenal Tuhan dan tidak bisa dianggap sebagai pengikut Kristus.
Hal ini terjadi pada kehidupan bangsa Israel. Hunter mengangkat kisah bangsa Israel pada masa kepemimpinan Yosua yang sebelum kematiannya mendeklarasikan bahwa keluarganya akan hidup beribadah kepada Tuhan. Bangsa Israel pada angkatan Yosua hidup beribadah kepada Allah Yahweh. Namun secara mengejutkan setelah seluruh angkatan Yosua meninggal, muncul generasi yang sama sekali tidak mengenal Tuhan (lihat Hakim-Hakim 2:7-10). Kemunduran spiritualitas yang fatal ini terjadi dalam tiga generasi. Meskipun generasi pertama terbukti setia kepada Tuhan dan menjalani kehidupan yang saleh, itu tidak menjamin bahwa generasi selanjutnya akan hidup dalam cara yang sama. Ketika kesengajaan meneruskan pola kehidupan tidak terjadi, iman yang luhur dari sebuah keluarga akan hilang hanya dalam tiga generasi.
Berbeda dengan Lois yang menjaga kehidupan iman diteruskan kepada anak dan cucunya. Dia memastikan bahwa generasi penerusnya akan hidup dituntun oleh iman kepada Tuhan yang benar. Timotius cucunya dikenal sebagai seorang yang saleh, semenjak muda dia telah melayani Tuhan bersama Paulus. Paulus sangat terkesan dengan iman yang dia dapati dalam kehidupan Timotius. Tidak hanya teguh, iman Timotius dideskripsikan satu-satunya dalam keseluruhan Alkitab sebagai iman yang tanpa kepalsuan (unfeigned, lihat 2 Timotius 1:5). Lois telah mencatat prestasi dalam tiga kursi generasi. Dia telah memperhatikan imannya dengan seksama dan memastikan bahwa Eunike putrinya berakar dalam iman yang sama. Pada gilirannya Timotius penghuni kursi ketiga tumbuh sebagai seorang pemuda dengan warisan iman yang luar biasa.
Dr. Tan Giok Lie (Generasi ke Generasi, Bandung: VISI, 2018, hal. 129-130) menggunakan analogi lari estafet, menyampaikan lima prinsip penting dalam meneruskan iman kepada generasi penerus secara turun temurun:
- Pihak ayah berperan sebagai pengoper tongkat perjanjian kepada anak laki-lakinya.
- Baik ayah ataupun anak laki-lakinya haruslah melatih diri sampai keduanya terampil dalam memainkan peran masing-masing.
- Kedua belah pihak harus menjalin kekompakan supaya tongkat perjanjian itu tidak hanya berhasil diestafetkan oleh ayah kepada anak laki-lakinya, melainkan diteruskan lagi kepada cucu laki-lakinya dan seterusnya.
- Setiap keluarga Kristen haruslah berusaha semaksimal mungkin untuk mencapai keberhasilan dalam mengestafetkan perjanjian Allah.
- Estafet perjanjian ini sebenarnya harus disadari oleh setiap keluarga sebagai penyampaian berita keselamatan Tuhan yang harus disampaikan kepada dunia melalui keluarga yang setia pada perjanjian-Nya.
Kekuatan generasional begitu sangat besar. Pengaruhnya sangat dalam sekaligus luas. Tidak heran Tuhan memberi penekanan yang luar biasa akan pengaruh keluarga. Sungguh tidak tepat jika ketetapan Tuhan ini hanya dijadikan salah satu opsi dari sekian banyak “man-made” pendekatan pemuridan. Kekuatan dan warisan pengaruh keluarga adalah segala sesuatu yang gereja butuhkan untuk menjalankan panggilannya untuk dimuridkan dan memuridkan. ** DG