Tanpa Pengampunan (The Unforgiving)
Menurut perspektif Kristen, kita tidak dipanggil untuk menciptakan pengampunan. Sebagai orang berdosa, kita tidak bisa memberikan pengampunan secara utuh dan mewujudkan pemulihan dengan kemampuan diri kita sendiri. Apalagi kalau kita sudah terluka dengan sangat dalam. Tetapi kita dipanggil untuk berpartisipasi dalam pengampunan Tuhan. Sebagai manusia yang pasti mengalami kekecewaan, kemarahan, dan kesedihan yang diakibatkan oleh orang lain, kita hanya mampu mengampuni ketika berfokus pada Kristus yang sudah lebih dulu mengampuni dan menerima kita apa adanya.
Karena itulah, mengampuni seringkali merupakan suatu ‘peperangan rohani’ apalagi jika pelaku terus menerus mengulangi kesalahannya. Salah satu pertanyaan yang muncul dari usaha untuk mengampuni adalah “bagaimana saya tahu bahwa saya sudah mengampuni seseorang?”
Everett Worthington, seorang ilmuwan yang khusus meriset bidang pengampunan membedakan dua jenis pengampunan, yaitu: pengampunan karena adanya keputusan untuk mengampuni (decisional forgiveness) dan pengampunan secara emosi (emotional forgiveness).
Decisional forgiveness terjadi ketika seorang korban memutuskan untuk tidak lagi menuntut si pelaku dari berbagai kesalahan yang dilakukannya. Dengan kata lain, korban setuju untuk mengendalikan perilaku negatifnya (berupa usaha menghindari atau membalas dendam) pada orang yang telah bersalah padanya. Walau memang ketika korban melakukan hal ini, belum tentu ada perubahan secara emosi di dalam dirinya.
Worthington mengatakan bahwa pengampunan sejati terjadi ketika korban sudah memasuki tahap berikutnya dari pengampunan, yaitu emotional forgiveness. Ketika seseorang sudah bisa menghidupi emotional forgiveness, maka ia memiliki empati, simpati, belas kasihan, dan kasih agape pada orang yang telah bersalah kepadanya. Di dalam prosesnya, emotional forgiveness ini pertama-tama menetralisir berbagai emosi negatif dalam diri seorang korban, yang kemudian akan memampukannya untuk membangun berbagai emosi positif berlandaskan kasih agape.
Ketika seseorang hanya memberikan decisional forgiveness, maka sebagai korban ia mengalami kerugian berganda. Kerugian pertama adalah ia sudah menderita akibat kesalahan yang dilakukan oleh pelaku. Kerugian kedua, ketika ia hanya memberikan decisional forgiveness, maka ia hanya menekan berbagai emosi negatifnya dengan berusaha mendistraksi dirinya atau dengan menyangkali emosi-emosi tersebut.
Berbagai riset menunjukan, ketika seseorang berusaha menekan berbagai emosi negatif, maka hal itu akan berpengaruh besar pada kekebalan tubuh atau imunitas fisiknya. Sebagai dampaknya, orang itu bisa mudah terkena penyakit rematik, radang, diabetes, sclerosis atau berbagai kondisi lainnya yang merusak kesehatan dirinya. Selain itu ia pun akan menghidupi salah satu atau lebih dari tiga mood utama ini: permusuhan, hilangnya kendali, dan kemarahan yang berujung pada kepahitan.
Hal yang lebih menyakitkan, menurut sebuah studi, pelanggaran yang terjadi dilihat secara berbeda oleh korban dan pelaku. Pelaku melihat bahwa apa yang terjadi adalah semacam kecelakaan yang tidak terlalu disengaja. Bahkan kadang, pelaku menganggap bahwa pelanggaran tersebut terjadi karena pengaruh kesalahan dari korban juga. Karena itu, ketika korban mempertahankan kemarahannya dengan tidak mengampuni, maka yang paling menderita adalah dirinya sendiri. Ia juga jadi menderita sekali oleh adanya berbagai emosi yang merusak dalam jangka panjang.
Pengampunan berbeda dengan rekonsiliasi. Rekonsiliasi mengharuskan adanya keterlibatan kembali antara korban dengan pelaku. Tetapi pengampunan tidak selalu berujung pada terjadinya rekonsiliasi. Apalagi jika pelakunya tidak bertobat dari kesalahannya, maka itu bisa berbahaya bagi sang korban – apalagi jika korban masih di bawah umur. Namun secara umum, pengampunan berujung pada rekonsiliasi. Selain mengampuni kita, Kristus juga merekonsiliasi (mendamaikan) kita dengan Allah Bapa, seperti yang tercatat di Roma 5:10, “Sebab jikalau kita, ketika masih seteru diperdamaikan dengan Allah oleh kematian Anak-Nya, lebih-lebih kita, yang sekarang telah diperdamaikan, pasti akan diselamatkan oleh hidup-Nya.”
Maukah kita mengikuti teladan Kristus ini atau apakah kita lebih memilih untuk tetap hidup dalam kemarahan dan kepahitan yang menghancurkan diri sendiri? **GE