Bagikan artikel ini :

Influencer

Zefanya 1:7-11

Hai kamu, orang-orang yang tidak setia! Tidakkah kamu tahu, bahwa persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah?
- Yakobus 4:4a

Di bagian sebelumnya, kita membaca bahwa Tuhan akan memberantas penyembahan berhala. Namun, tidak hanya hal-hal ini yang menjadi sasaran murka-Nya. Di bagian ini kita membaca bahwa Dia pun murka kepada orang-orang yang berusaha menjadi seperti bangsa-bangsa lain (ay. 8), para preman (ay. 9), dan pedagang yang suka menipu (ay. 10). Dari ketiga golongan ini, kita mungkin mengernyitkan dahi ketika melihat bahwa orang- orang yang ikut-ikutan tren, yakni yang berusaha menjadi seperti bangsa-bangsa lain, juga menjadi sasaran kemarahan Tuhan. Apa salahnya ikut-ikutan tren orang lain? Kenapa Tuhan sampai marah?

Di masa kini, seiring perkembangan teknologi, penyebaran informasi menjadi sangat mudah. Dulu hanya orang-orang tertentu yang dianggap layak untuk mendapat sorotan, misalnya di televisi. Berkat internet, siapa pun bisa menjadi bintang. Youtube menggunakan slogan: Broadcast Yourself (siarkan dirimu). Media sosial lain, seperti Instagram sukses menghasilkan selebriti atau apa yang kini dikenal dengan sebutan selebgram. Orang-orang populer di media sosial yang memiliki pengagum (fanbase) dan pengikut (followers) yang besar akhirnya menjadi influencer. Mereka menetapkan sebuah tren.

Tentu saja, tidak semua influencer dan tren adalah hal yang jelek. Tetapi hukum yang pasti di dunia yang sudah berdosa ini adalah hal-hal negatif lebih mudah menyebar dan populer dibandingkan hal-hal positif. Akibatnya, daripada berlomba-lomba menjadi siswa atau mahasiswa yang rajin, anak-anak muda lebih memilih berlomba-lomba menjadi serupa dengan influencer-nya. Tidak hanya kaula muda, orang-orang yang sudah dewasa pun dapat saja tergiur dengan gaya hidup serba glamor yang ditampilkan para influencer di media sosial.

Kalau orang non-Kristen terhanyut di dalam pusaran influencer, ya sudahlah. Tetapi sebagai orang Kristen, kita hanya punya satu Influencer, yakni Tuhan Yesus sendiri. Namanya saja “Kristen” yang berarti Kristus-Kristus kecil. Tidak hanya dalam penampilan, tetapi lebih- lebih di dalam gaya hidup dan tingkah laku kita: apakah kita lebih cenderung terjebak dalam budaya konsumerisme, hedonisme, dan serba pamer seperti yang ditampilkan oleh para influencer ataukah kita lebih serupa dengan Tuhan Yesus yang hidup dalam kesahajaan dan kekudusan?

Refleksi Diri:

  • Berapa banyak akun media sosial yang Anda miliki dan apa tujuannya?
  • Apakah Anda lebih berusaha mengikuti tren atau berjuang mencapai kekudusan menjadi serupa Tuhan Yesus?