Bagikan artikel ini :

Masa Lalu si Monster Jahat

Anda mungkin pernah mendengar sebuah slogan bahasa Inggris yang berbunyi, “monster are made, not born” yang secara harafiah berarti “monster bukan dilahirkan, tetapi dibuat.” Slogan ini menjadi begitu populer khususnya dalam penayangan film bergenre thriller dari Warner Bros yang berjudul Joker. Joker selama ini dikenal hanya sebagai karakter antagonis yang nyentrik dari film Batman dan selalu bertolak belakang dengan sang superhero berkostum kelelawar itu, mulai dari ideologi, sifat dan keterampilan, sampai tindakan dan perkataan. Namun, sejak dirilisnya film Joker, pemahaman para penggemar akan Joker berubah. Joker bukan lagi seorang antagonis nyentrik nan sadis yang berbuat jahat sekedar karena senang melihat penderitaan orang lain, melainkan seorang yang telah mengalami pengucilan dan diinjak-injak oleh masyarakat sekitarnya. Inilah yang membuatnya menjadi sesosok karakter jahat. Walhasil, ketika para penonton menjadi simpatik dengannya, mereka dapat melihat diri mereka sendiri di posisi Joker.

Ketika Anda membaca kisah Natal, khususnya tentang pembunuhan bayi-bayi di Bethlehem, tentunya Anda melihat tokoh Herodes hanya sebagai monster jahat yang fungsinya sekedar untuk membuat narasi kelahiran Tuhan Yesus makin dramatis.Anda jauh lebih baik, lebih saleh, lebih berakhlak, lebih suci daripada Herodes, tidak mungkin akan menjadi monster yang demikian kejam, bukan? “Tentu saja! Kalau aku jadi Herodes, tentu aku tidak akan melakukan sejahat itu! Sebaliknya, aku akan ikut para majus menyembah Tuhan Yesus!”

Mungkin tidak. Sama seperti Joker, Herodes sebagai seorang monster yang begitu jahat tidaklah dilahirkan, tetapi dibuat demikian oleh orang-orang di sekelilingnya, konteks, dan lingkungan tempat ia hidup. Hal ini berarti, kita semua dapat saja menjadi Herodes jika kita berada di posisi yang sama dengannya. Kita akan memerintahkan pembunuhan bayi-bayi Bethlehem yang menyebabkan Tuhan kita harus menyingkir ke Mesir.

Jadi, siapa sebenarnya Herodes? Herodes lahir sekitar tahun 73-74 SM di daerah Edom, sebuah daerah di bagian selatan provinsi Yudea. Ayahnya adalah seorang pejabat yang berkedudukan cukup tinggi bernama Antipater dari Idumea.

Siapakah orang-orang Idumea atau Edom? Mereka adalah keturunan Esau yang merupakan saudara kembar dari Yakub, kakek moyang bangsa Israel. Di dalam sepanjang Perjanjian Lama, dikisahkan permusuhan yang sangat mendalam antara Israel dan Edom. Mulai dari abad ke-6 SM, sama seperti bangsa Israel, mereka pun dijajah secara bergantian oleh Babel, dilanjutkan dengan Media-Persia, kemudian Yunani.

Namun, semua itu berubah pada abad ke-2 SM. Setelah dijajah beratus-ratus tahun oleh Babel, Media-Persia, dan Yunani, bangsa Yahudi atau Israel mendapatkan kemerdekaan sesaat ketika Dinasti Hasmonayim yang merupakan orang Yahudi berhasil melakukan pemberontakkan terhadap Kekaisaran Seleukia dari Yunani. Pemberontakkan ini dikenal dengan sebutan Pemberontakkan Makabe. Dimulai dari waktu itu, bangsa Yahudi berada di bawah pemerintahan Dinasti Hasmonayim atau Hasmonean (140-37 SM).

Apa artinya semua ini terhadap orang-orang Idumea, salah satunya yakni Herodes? Orang-orang Idumea, sama seperti bangsa jajahan Yunani pada umumnya, mengalami proses integrasi dengan budaya Yunani di bawah Kekaisaran Seleukia. Selama hampir 150 tahun, orang-orang Idumea hidup dengan cara Yunani. Namun, semua ini berubah begitu Dinasti Hasmonayim memerintah. Dinasti Hasmonayim yang sangat anti dengan segala sesuatu yang berbau Yunani melakukan usaha untuk mentahirkan dan menyucikan tanah Israel dari segala sesuatu yang berbau asing. Diskriminasi terhadap mereka yang tidak beretnis Yahudi maupun hidup dengan budaya Yunani sangat kental. Hal ini menyebabkan bangsa Idumea tidak punya pilihan selain menganut agama Yahudi.

Mungkin Anda pernah mendengar informasi dari buku tafsiran atau buku sejarah yang mengatakan bahwa Herodes menjadi penganut agamaYahudi hanya untuk menyenangkan orang-orang Yahudi. Jawabannya adalah Ya dan Tidak. Ya, karena memang inilah yang dilakukan orang-orang Idumea secara umum di masa itu. Mereka tidak punya pilihan selain untuk menundukkan diri di bawah Dinasti Hasmonayim dan menganut agama saat itu. Tetapi juga Tidak, karena hal ini sudah terjadi bahkan jauh sebelum Herodes lahir. Herodes hanya mengikuti apa yang menjadi budaya masa itu dan ia sendiri dibesarkan di dalam tradisi Yahudi. Meski demikian, orang-orang Idumea atau Edom hanyalah masyarakat kelas dua di bawah Dinasti Hasmonayim.

Tidak heran jika pada akhirnya semua hal ini menyebabkan Herodes memiliki pandangan yang sangat pragmatis terhadap agama. Agama hanyalah sebuah kendaraan dari politik identitas untuk memperoleh kekuasaan dan popularitas dari orang-orang Yahudi. Sebaliknya, ketidakpuasan terhadap Dinasti Hasmonayim memicunya untuk mendekat dan mencari aliansi dengan Republik Romawi yang pada saat itu telah menggantikan posisi Yunani sebagai kekuatan adikuasa di dunia. Manuver politik ini dilakukannya ketika ia menjadi gubernur provinsi Galilea dimulai tahun 47 SM.

Pada akhirnya, keinginan Herodes terwujud. Senat Romawi menunjuknya menjadi raja atas Yudea pada tahun 40 SM. Namun, ingat bahwa pada saat itu Dinasti Hasmonayim masih berkuasa, dengan Antigonus sebagai rajanya. Herodes pada akhirnya memimpin sendiri pasukan untuk mengalahkan Antigonus. Antigonus pada akhirnya ditangkap, dibawa ke Roma, dan dieksekusi.Peperangan ini berlangsung dari 37-34 SM.

Apakah hal ini membuat tahta raja Yudea jatuh ke tangan Herodes? Tidak. Konflik demi konflik silih berganti menghadang Herodes. Pertama, ibu mertua dari Herodes bernama Alexandra berkonspirasi menegakkan kembali Dinasti Hasmonayim. Inilah yang menyebabkan Herodes pada akhirnya membunuh adik iparnya, Aristobulus III, dan pada akhirnya ibu mertuanya pula serta istrinya, Mariamne. Kedua, ketika Republik Roma jatuh, Oktavianus dan Antonius berusaha merebut tahta Kekaisaran Roma. Herodes memihak Antonius. Namun, Antonius kalah dan Oktavianus yang kemudian menamakan diri Kaisar Agustus yang pada akhirnya memerintah Roma. Jadi, Herodes mau tidak mau harus berpolitik untuk menjilat Kaisar Agustus dan mempertahankan kekuasaannya.

Secara internal, orang-orang Yahudi yang adalah keturunan Yakub tidak terima dikuasai oleh seorang Edom, keturunan Esau. Lebih-lebih karena Herodes hanyalah seorang raja boneka dari Roma. Inilah yang menyebabkan pemerintahan Herodes diwarnai konflik-konflik brutal sekaligus pencapaian arsitektur yang mengagumkan. Di satu sisi, demi menekan pemberontakkan, Herodes melakukan tindakan brutal seperti mengirim semacam polisi rahasia untuk menekan protes. Di sisi lain, ia membangun kembali Bait Allah di Yerusalem untuk menarik simpati.

Dengan banyaknya oposisi seperti ini, ditambah dengan paranoia karena masa lalunya yang penuh intrik-intrik untuk mencapai kekuasaan, tidak heran akal sehatnya memudar. Demi mempertahankan kekuasaan, ia sampai membunuh ketiga putranya sendiri, serta entah berapa banyaknya anggota keluarga dan kerabat. Kaisar Agustus sampai-sampai mengomentari kekejamannya, “lebih baik menjadi babi Herodes daripada menjadi putranya.” Di atas pembaringannya menjelang ajal pun, ia memerintahkan eksekusi terhadap lebih banyak lagi keluarganya untuk memastikan adanya ratap tangis dalam penguburannya. Dengan segala kekejaman ini, tidak heran ia bisa memerintahkan hal sekejam pembunuhan bayi di Bethlehem.

Lebih dari itu, mungkin kita bisa melihat diri kita dalam posisi Herodes. Ia mengalami diskrimasi yang berujung pada ambisinya menundukkan orang-orang Yahudi. Namun ini berarti ia harus mendapatkan kekuasaan dengan segala intrik. Pada akhirnya, ketika menjadi raja boneka Romawi, ia menjadi orang yang paranoid. Kita pun mungkin memiliki ambisi yang didorong oleh kepahitan atau dendam masa lalu, dan kepahitan atau dendam itulah yang membuat kita dapat menempuh segala cara untuk meraih apa yang kita inginkan. Berhati-hatilah karena hal itu bisa saja menjadikan kita seorang monster jahat seperti Herodes ketika kita akhirnya mendapatkan kekuasaan, posisi, popularitas, atau hal-hal lain yang menjadi ambisi kita. [DO]