Bagikan artikel ini :

Puasa atau Diet?

Jika Anda mengikuti akun-akun fitness dan diet dalam Instagram, Facebook, maupun media sosial lainnya, Anda tentunya akan sering menemukan para binaraga yang memamerkan berapa kali dalam seminggu mereka pergi ke gym dan berolahraga, seberapa berat beban yang dapat mereka angkat, seberapa sehat dan kaya protein makanan yang mereka nikmati sehari-hari, dan tentunya seberapa indah, kuat, dan sehat tubuh mereka. Apakah ini salah? Tentu tidak. Berolahraga dan menjaga pola makan adalah hal yang sangat baik. Memamer-mamerkan hal ini tentu dapat berujung kepada kesombongan, namun setidaknya ada orang yang terinspirasi untuk mengubah gaya hidup mereka ketika melihat posting-posting seperti ini.

Bagaimana dengan berpuasa? Dapatkah dianalogikan dengan fitness dan diet? Sebagaimana fitness dan diet adalah disiplin spiritual, puasa pun adalah disiplin spiritual, bukan? Ya dan Tidak. Ya, puasa adalah bentuk disiplin spiritual yang dapat dianalogikan dengan fitness dan diet. Tetapi juga Tidak, puasa tidak boleh dipamerkan kepada orang lain. Ini adalah perintah Tuhan Yesus sendiri dalam Matius 6:16-18.

Mengapa demikian? Bukankah, sebagaimana memamerkan gaya hidup fitness dan gym dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi lebih sehat secara fisik, memamerkan gaya hidup berpuasa pun dapat menginspirasi orang lain untuk menjadi lebih sehat secara spiritual, menjadi lebih kudus, dan lebih saleh? Jawaban untuk pertanyaan ini sederhana, karena sejak awal, puasa bukanlah sebuah indikator untuk menunjukkan bahwa diri kita lebih sehat secara spiritual daripada orang lain, sebagaimana fitness dan diet. Sebaliknya, pada awalnya puasa diberikan untuk orang-orang yang sakit secara spiritual, yang bergelimang dalam dosa, kebebalan, atau kebimbangan, tetapi yang ingin lepas dari dosa dan semua hal-hal itu.

Memang, dalam perjalanan waktu, tradisi kekristenan pada masa abad pertengahan menganggap bahwa puasa menunjukkan tingkat kesalehan seseorang. Para biarawan dan khususnya biarawati berlomba-lomba untuk berpuasa demi menunjukkan dirinya lebih saleh daripada yang lain. Seorang biarawati bernama Catherine of Sienna sampai-sampai hanya mau makan saat Perjamuan Kudus, dengan menu yakni sekeping hosti dan anggur. Para psikolog modern mendiagnosa hal ini sebagai anorexia mirabilis, penyakit gangguan makan dimana seseorang mengalami malnutrisi yang dapat berakibat fatal, demi mencapai tingkat kesalehan tertentu. Bagaimana dengan zaman sekarang, di mana tidak lagi ada hal-hal demikian? Tidak jauh lebih baik. Di masa kini, dunia kita telah menjadi makin pragmatis, tujuan orang Kristen berpuasa bukanlah untuk menunjukkan kesalehannya tetapi untuk minta-minta. Puasa dilakukan dengan sikap, “Tuhan, lihat aku yang lebih saleh daripada orang-orang Kristen lain! Jadi, Tuhan tolong jawab doaku, ya!” Seolah-olah puasa dapat menyogok Tuhan. Ini semua adalah bentuk-bentuk penyimpangan yang Tuhan Yesus kecam dalam Matius 6:16-18, karena puasa telah bergeser dari tujuan sebenarnya.

Jadi, apa tujuan puasa sebenarnya? Untuk mengerti hal ini, kita perlu kembali ke Perjanjian Lama, di mana perintah untuk berpuasa diberikan. Perintah berpuasa diberikan pertama kali secara gamblang dalam Imamat 16:29-31, mengenai apa yang harus dilakukan orang Israel dalam Hari Pendamaian. Bangsa Israel memiliki 7 hari raya di mana mereka akan bersukacita dan makan-makan, kecuali dalam Hari Pendamaian. Inilah satu-satunya hari mereka harus berpuasa. Di hari itu, mereka akan menyaksikan dua kambing. Yang satu disembelih dan darahnya dipercikkan ke Tabut Perjanjian, sementara yang satu akan ditumpangi tangan oleh Imam Besar yang melambangkan bagaimana seluruh dosa orang-orang Israel dibebankan di atas kambing itu. Kambing itu, yang telah memikul dosa orang-orang Israel, diusir dari perkemahan dan dibiarkan mati sendirian di padang gurun. Sambil menyaksikan dosa-dosa mereka dipikul oleh binatang yang malang itu, mereka “harus merendahkan diri dengan berpuasa. Itulah suatu ketetapan untuk selama-lamanya” (Im. 16:31).

Menariknya, ketika Anda membaca bagian ini dalam bahasa aslinya, bahasa Ibrani, Anda tidak akan menemukan kata Ibrani “tsum” yang biasa dipakai untuk berpuasa. Dengan kata lain, kata “puasa” dalam bagian ini sebenarnya tidak muncul dalam bahasa aslinya! Sebaliknya, kata yang muncul adalah “anah”, kata yang biasanya diterjemahkan dalam bahasa Inggris “afflict” (“menyakiti”). Itulah sebabnya dalam bahasa Inggris kata yang digunakan adalah “afflict yourself” (“sakiti dirimu sendiri”). Apakah maksudnya kita harus melakukan siksa diri? Tidak! Maksudnya adalah orang Israel harus mengingat seberapa besarnya dosa mereka yang dipikulkan kepada kambing itu, kemudian menyesali dan meratapi keberdosaan mereka. Namun tidak hanya sampai di situ. Ibarat pecandu narkoba, berkubang dalam dosa-dosa favorit memberikan kenikmatan tersendiri. “Afflict yourself” (“sakiti dirimu sendiri”) berarti tidak lagi menikmati dosa-dosa tersebut, seperti seorang pengguna narkoba yang memutuskan untuk direhabilitasi. Di dalam masa rehabilitasi itu, tentu si pengguna narkoba akan menderita dan merasa kesakitan karena tidak lagi mengkonsumsi obat-obatan tersebut. Namun tak mengapa, sebab menjauhkan diri dari hal-hal tersebut akan mendatangkan kesembuhan. Demikian pula dengan dosa. Jadi, ketika orang Israel berpuasa di Hari Pendamaian, mereka menyatakan komitmen mereka untuk hidup menjauhkan diri dari dosa-dosa yang layaknya candu.

Jadi, kembali ke tujuan berpuasa. Tujuan berpuasa tidak lain dan tidak bukan adalah untuk merendahkan diri kepada Tuhan serta mengakui dosa, kebebalan, kebodohan, dan ketidakberdayaan kita di hadapan Tuhan, sekaligus sebagai komitmen untuk berdisiplin menjauhkan diri dari kenikmatan dosa-dosa tersebut! Ketika berpuasa, kita sebenarnya sedang memandang Tuhan Yesus, Kurban yang memikul semua dosa dan kegagalan kita hingga di atas kayu salib, diusir dan dibuang dari hadirat Bapa (Mat. 27:46). Sambil menyaksikan-Nya, kita datang dengan sikap, “Tuhan, hidupku kacau karena dosa-dosa yang aku lakukan. Aku tidak berdaya memperbaikinya, namun aku berjanji aku tidak mau lagi berkubang dalam dosa-dosa ini. Oleh karena itu, berilah aku kekuatan melawannya dan berikan pemulihan dalam hidupku” atau “Tuhan, aku manusia yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Aku tidak tahu apakah aku harus ke kanan atau ke kiri. Ampuni ketidakpekaanku dan berilah aku hikmat untuk tahu apa yang harus kulakukan”. Tidak ada yang bisa dibanggakan dalam hal-hal ini karena orang yang berpuasa justru sedang merendahkan diri. Hal serupa dilakukan oleh orang-orang Israel dalam Hari Pendamaian.

Dari penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa analogi yang lebih tepat untuk berpuasa bukanlah fitness atau diet, tetapi rehabilitasi bagi pencadu narkoba. Jadi, jelas mengapa Tuhan Yesus melarang murid-muridnya untuk pamer ketika berpuasa, bukan? Karena memamerkan diri dalam berpuasa merupakan sebuah kontradiksi! Memamerkan diri berpuasa – yang semestinya adalah bentuk perendahan diri – ibarat pecandu narkoba yang memamerkan dirinya sedang berada dalam panti rehabilitasi. Pertama, ini adalah tindakkan bodoh karena ia memamerkan ke seluruh dunia bahwa ia adalah pecandu narkoba. Kedua, yang lebih buruk adalah berarti orang-orang ini tidak sungguh-sungguh berpuasa. Mereka tidak sedang merendahkan diri di hadapan Tuhan karena dosa-dosa dan ketidakberdayaan mereka, melainkan sedang memamerkan pada orang lain bahwa mereka jauh lebih rohani, lebih saleh, dan lebih kudus daripada orang lain. Itulah sebabnya Tuhan Yesus mengatakan bahwa orang-orang seperti ini “sudah mendapat upahnya” (Mat. 6:31). Mereka memang hanya mengejar kekaguman orang atas kesalehan mereka, dan bukan belas kasihan Tuhan atas diri mereka yang berdosa.

Itulah makna dari berpuasa. Puasa bukan terutama mengenai berapa jam kita tidak makan. Puasa adalah mengenai kita menyesali dan berkomitmen melepaskan diri dari dosa-dosa yang menjadi candu bagi jiwa kita. Kecanduan porn, kecanduan bergosip, kecanduan main games, menggunakan media sosial, marah-marah, berhutang, shopping, dan lain sebagainya. Apakah kita bergumul melawan dosa-dosa itu dalam puasa kita? Maaf saja, jika sekedar tidak makan, sesungguhnya kita tidak sedang berpuasa. Kita sedang diet.*** DO