Bagikan artikel ini :

Menjaga Kekudusan Pernikahan

Pernikahan adalah sebuah lembaga yang kelihatannya sederhana tetapi sesungguhnya amat kompleks. Mengapa kelihatan sederhana? Karena sepertinya pernikahan hanya menjadi urusan dua orang saja, yang sepakat menikah, mengikat janji di gereja, mendaftarkannya ke negara dan jadilah mereka suami isteri yang sah, yang diharapkan akan melahirkan anak-anak dan bertahan sampai maut memisahkan mereka.

Namun sesungguhnya pernikahan tidak sesederhana yang terlihat dari luar. Penyatuan dua orang yang memiliki latar belakang, karakter, tujuan hidup, latar belakang keluarga besar dan sebagainya, yang sangat berbeda dan tidak pernah ada yang sama, menjadikan pernikahan sedemikian kompleks. Sebagian kompleksitas pernikahan telah dicoba diatur oleh masyarakat maupun negara, yang memberikan pemaksaan supaya ada keseragaman dalam sejumlah aspek pernikahan. Misalnya melalui undang-undang perkawinan, pengaturan hukum terkait perceraian, KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), aborsi, warisan dan sebagainya. Semua pengaturan ini tentu sangat bermanfaat untuk menjaga stabilitas pernikahan maupun stabilitas masyarakat yang dibangun oleh unit-unit keluarga melalui pernikahan.

Namun demikian, pembatasan dari luar hanya membantu sebagian saja untuk memelihara kekudusan dan keutuhan pernikahan. Misalnya, negara dapat mempersulit perceraian tetapi tetap saja akan ada pasangan yang memilih bercerai tidak resmi; perselingkuhan dapat diberikan sanksi sosial maupun negara, tetapi begitu luas kesempatan dan tempat dimana orang-orang dapat berselingkuh; aborsi dapat dilarang tetapi tetap dapat dilakukan diam-diam secara ilegal atau dengan cara-cara lainnya. Mengapa ada keterbatasan demikian? Tentu saja karena aspek paling penting dalam mendukung kekudusan dan keutuhan pernikahan ada pada internal kedua pasangan yang menikah. Pihak eksternal hanya bisa menciptakan rasa takut dengan ganjaran sosial, hukum dan sebagainya. Karena itu, keutuhan dan kekudusan pernikahan sangat bergantung kepada kedua individu, bagaimana mereka melihat pernikahan dan mengambil langkah-langkah yang intensional, konsisten, dan tepat, untuk memelihara pernikahan yang sehat dan berkualitas.

Tantangan untuk menjaga pernikahan yang kudus dapat muncul dari luar maupun dari internal kedua pasangan tersebut. Perkembangan masyarakat yang terjadi di masa kini menjadikan tantangan dari luar sangat besar. Tantangan tersebut antara lain semakin permisifnya perceraian bahkan dalam pernikahan Kristen, kemajuan teknologi yang membuat banyak masalah moral di dalam pernikahan seperti aborsi, inseminasi dengan sel telur / sperma bukan dari isteri / suami yang sah, model keluarga alternatif seperti pernikahan sesama jenis atau pernikahan transgender, ketegangan internal keluarga karena masalah waris dan sebagainya. Dari aspek internal, berbagai godaan dari dalam diri untuk berbuat dosa atau mencari kenikmatan hidup, ketidaksamaan pandangan tentang pernikahan dan tujuannya, problem kehidupan sehari-hari yang memberikan tekanan hidup pada pasangan, ketidakdewasaan rohani dari pasangan dan sederet problem internal lain sangat memengaruhi kemampuan untuk memelihara kekudusan pernikahan.

Jadi, apa yang perlu dilakukan orang percaya untuk memelihara kekudusan pernikahan? Ada sejumlah hal secara pribadi maupun bersama-sama yang perlu dilakukan. Pertama-tama tentunya adalah memahami makna pernikahan. Bagi pasangan Kristen, jelas Alkitab menjadi panduan dasar tentang pernikahan. Di dalamnya kita mengerti bahwa pernikahan dijadikan oleh Allah sendiri ketika Dia menyatukan Adam dan Hawa supaya saling melengkapi dan memerintahkan mereka untuk beranak cucu dan mengembangkan mandat budaya (Kej. 1:26-30; 2:24). Jadi pernikahan bukan sesuatu yang dibentuk oleh relasi-relasi sosial belaka untuk mengembangkan keturunan atau peradaban, apalagi untuk meneruskan suatu dinasti politik. Pernikahan berasal dan dibentuk Allah untuk membawa kemuliaan bagi Dia.

Karena itu, di tengah dunia ketika kekudusan pernikahan ditantang dari dunia di sekelilingnya, orang percaya dipanggil untuk menjunjung nilai-nilai kekudusan ini. Kudus artinya terpisah dari yang tidak kudus untuk dibawa kepada Allah (1 Ptr. 1:14-16). Ini berarti orang percaya tidak boleh mengikuti apa yang menjadi trend di dunia, memberi approval kepada ketidakkudusan atau membiarkan ketidakkudusan terjadi dalam hidup pernikahan dan berkeluarga mereka, tetapi harus mengusahakan sejauh mungkin untuk menjunjung nilai-nilai kekudusan sebagai hadiah yang istimewa dari Allah. Kekudusan pernikahan bukan hanya dalam hal seksualitas secara sempit antara suami dan isteri, tetapi menyangkut berbagai aspek lain dalam kehidupan pernikahan yang membedakan suatu pernikahan Kristen dengan bukan Kristen.

Pemahaman tentang hakikat pernikahan harus disertai dengan pertumbuhan rohani yang memadai dan terus menerus bagi pasangan dan keluarga Kristen. Pertumbuhan iman yang berakar dan dibangun pada Kristus akan menolong pasangan dan keluarga untuk mengambil nilai-nilai yang benar sekalipun mendapatkan tantangan dari luar maupun dari dalam diri mereka sendiri (Ef. 3:17; Kol. 2:7). Hal-hal ini harus dibangun bukan hanya antar pasangan tetapi juga dalam lingkup keluarga besar, khususnya kepada anak dan cucu. Merekalah yang terdampak paling besar oleh kemajuan teknologi dan sikap permisif masayarakat terhadap ketidakkudusan yang semakin besar. Amsal 22:6 mengingatkan orangtua untuk mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sesuai perintah Tuhan.

Selain upaya pribadi pasangan dan keluarga yang sangat penting, dukungan dari komunitas Kristen sangat menentukan dalam kemampuan pasangan dan keluarga untuk konsisten mempertahankan kekudusan ini. Komunitas Kristen harus dapat memberikan ekosistem yang mendukung keluarga-keluarga Kristen, baik di dalam satu komunitas atau gereja lokal, maupun antar gereja melalui berbagai lembaga Kristen. Di dalam gereja lokal, pentingnya memelihara kekudusan pernikahan dapat dinyatakan melalui fokus tema-tema dan kegiatan pelayanan. Pengadaan seminar, workshop, perhatian penting pada hari-hari khusus bagi keluarga, penyediaan konseling secara pastoral maupun profesional, berbagai wadah dan aktivitas lain yang mendukung pemeliharaan kekudusan pernikahan, mulai dari anak, remaja, pemuda dalam menjalin relasi kasih, pernikahan awal, menengah, dan seterusnya, perlu mendapatkan perhatian penuh. Pengembangan kelompok-kelompok kecil yang memberikan dukungan dalam berbagai aspek pernikahan juga sangat penting sehingga setiap orang percaya mendapatkan dukungan dan perhatian secara lebih personal. Perlu pula dikembangkan ketahanan ekonomi bersama untuk mendukung keluarga yang mengalami berbagai kesulitan, misalnya akibat PHK, sakit berkepanjangan atau berat, kehamilan yang tidak diinginkan dan sebagainya. Banyak pernikahan menjadi berantakan karena berbagai tantangan ini dan tidak mendapatkan dukungan ekonomi yang memadai.

Selain hal-hal yang bersifat kasat mata, hal penting lain yang perlu dikembangkan dalam lingkup komunitas orang percaya adalah sikap untuk tidak menghakimi, tetapi justru merangkul pernikahan dan keluarga yang menghadapi pergumulan atau bahkan jatuh dalam ketidakkudusan. Orang percaya perlu mengingat bahwa gereja bukanlah tempat bagi orang-orang yang hidup tanpa dosa, tetapi bagi orang-orang yang bersedia untuk terus menerus hidup dalam kekudusan, yang sekalipun pernah (atau berulangkali) gagal tetapi bersedia bertobat dan bangun kembali (Luk. 19:1; Yoh. 4; dan begitu banyak bagian Alkitab yang menunjukkan sikap Tuhan Yesus terhadap orang berdosa). Tanpa sikap hati seperti ini, gereja atau komunitas Kristen akan diisi oleh keluarga-keluarga yang munafik, yang menampilkan citra baik ketika bersama, tetapi di dalamnya banyak kebusukan, karena pada hakikatnya tidak ada pernikahan Kristen yang betul-betul sempurna.

Di dalam tingkat antar gereja atau komunitas Kristen yang lebih luas, tentunya perlu dibangun kapasitas untuk menghadapi berbagai isu yang dapat mengancam kekudusan pernikahan dan keluarga. Orang percaya dalam semua level didorong terlibat dalam kampanye untuk melawan pornografi, LGBT, aborsi, sikap permisif terhadap seks, perceraian, materialisme dan sebagainya. Kerjasama antar orang percaya baik melalui edukasi, dukungan langsung, aspek legal, dan sebagainya, akan menolong orang percaya untuk memengaruhi masyarakat, bahkan negara, dalam mendukung kehidupan pernikahan yang kudus.

Orang percaya perlu terus menerus berusaha mengembangkan pernikahan-pernikahan Kristen yang kudus dan saling bergandengan tangan untuk hal ini di lingkup pribadi, gereja, masyarakat dan negara. Hal ini tentu saja tidak mudah karena keluarga-keluarga lebih cenderung mengurus urusan internal dan tantangannya juga sedemikian besar. Namun pertolongan dari Roh Kudus yang menyatukan, memberi kuasa dan hikmat akan mampu mengatasi hambatan-hambatan itu. Dengan cara demikian, orang percaya terus dapat menjadi saksi yang memberitakan perbuatan Allah yang besar dan menjadi garam yang menggarami seluruh masyarakat (1 Ptr. 2:9).  **TDK