Bagikan artikel ini :

Mengakhiri Pertandingan yang Baik

2 Tim. 4:7 adalah sebuah ayat yang sering dijadikan perenungan dalam ibadah-ibadah kedukaan, dimana sang pengkotbah akan kemudian menyampaikan pesan bahwa sang almarhum telah “mengakhiri pertandingan yang baik” sebagai orang percaya. Namun, benarkah demikian? Benarkah semua orang percaya otomatis “mengakhiri pertandingan yang baik”?

Kenyataannya tidak demikian. Paulus yang menulis 2 Tim. 4:7 di dalam suratnya yang lain juga menulis mengenai orang-orang yang “diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1 Kor. 3:15). Jadi, di dalam golongan orang-orang percaya yang diselamatkan dan masuk surga pun, ada yang berhasil mencapai garis akhir dengan baik (seperti Paulus), tetapi juga ada yang berakhir mengenaskan karena semua pekerjaannya terbakar api. Seorang tokoh Alkitab yang berakhir demikian adalah Simson.

Sejak sebelum dilahirkan pun, Simson adalah pribadi yang spesial. Kelahirannya diberitakan oleh Malaikat TUHAN kepada ibunya yang mandul (Hak. 13:3-5), kemudian kepada ayahnya, Manoah (Hak. 13:11-18). Mirip sekali dengan kisah kelahiran Tuhan Yesus dan Yohanes Pembaptis. Tak hanya itu, sejak lahir ia adalah seorang nazir Allah, yakni orang yang mendedikasikan hidupnya secara khusus kepada Allah dengan tidak minum anggur, menyentuh mayat, dan memotong rambut (Bil. 6:4-7). Ia diberi tugas khusus untuk menjadi hakim yang akan menyelamatkan orang Israel dari Filistin, dan untuk menunaikan tugas itu ia dikaruniai kekuatan yang luar biasa bak superman oleh kuasa Roh Kudus.

Sayangnya, apa yang terjadi dalam hidupnya? Pasal sesudah kelahiran Simson mengisahkan tentang bagaimana Simson melanggar kenazirannya. Di dalam perjalanan ke Timna, Simson membunuh seekor singa yang menyerangnya di tengah jalan (Hak. 14:5-6). Ketika ia lewat jalan itu lagi, ia mengeruk madu yang ada pada bangkai singa tersebut (Hak. 14:8-9). Dengan demikian, ia melanggar hukum kenazirannya untuk tidak menyentuh mayat.

Pertanyaannya adalah untuk urusan apa Simson ke Timna? Apakah ia sedang dalam perjalanan menunaikan tugas dari Tuhan untuk memerangi orang Filistin? Dan apakah Simson sedang berada dalam posisi terjepit sehingga ia terpaksa mengeruk dan makan madu dari bangkai tersebut? Tidak! Justru Simson sedang dalam perjalanan untuk berbuat dosa! Ia hendak menikahi seorang gadis Filistin, gadis penyembah berhala dari bangsa yang adalah musuh Israel (Hak. 14:1-3).

Di dalam pesta pernikahannya pun, sekali lagi Simson melanggar hukum kenazirannya. Simson mengadakan pesta perjamuan selama tujuh hari (Hak. 14:10-12). Pada masa itu, pesta perjamuan pernikahan sebesar itu melibatkan anggur, dan dengan demikianlah Simson melanggar hukum kenazirannya untuk tidak minum anggur. Semua ini dilakukannya dalam rangka menikahi perempuan Filistin tersebut.

Bayangkan jika Anda adalah orang Israel. Anda mungkin akan menjadi was-was bahkan putus asa, “Waduh, bagaimana kalau sampai Simson malah berpihak kepada Filistin dan memerangi kita?” Syukurlah Tuhan bak seorang pemain catur yang handal, justru menjadikan momen tersebut sebagai pemantik konflik antara Simson dan orang Filistin (Hak. 14:4-15:20). Konflik tersebut berakhir dengan peperangan dimana Simson membunuh seribu orang Filistin dengan rahang keledai (Hak. 15:15).

Apakah Simson menjadi jera dan memohon ampun kepada Tuhan? Tidak! Bukannya menyesali dosanya dan bertobat, ia malah jatuh ke dosa yang sama lagi. Kini ia tergoda oleh seorang perempuan sundal dari Gaza (Hak. 16:1). Celakanya, rupanya perempuan sundal ini bersekongkol dengan orang-orang Gaza untuk menangkap Simson (Hak. 16:2). Syukurlah ia bisa luput dari maut (Hak. 16:3).

Apakah sesudah kejadian yang sama terulang kedua kalinya, Simson bertobat dan berjanji tidak akan lagi terpikat dengan gadis Filistin? Tidak! Keledai saja tidak jatuh ke lubang yang sama, tetapi Simson jatuh ke dosa yang sama tiga kali. Di dalam Alkitab, angka tiga menunjukkan finalitas, dan finalitas yang hendak ditekankan dalam kisah Simson adalah kebebalannya. Kini ia tergoda oleh seorang gadis bernama Delila (Hak. 16:4). Kepada Delila ia membeberkan rahasia bahwa kekuatannya ada pada rambutnya (Hak. 16:15-17). Sebelumnya, telah dua kali Delilah menanyainya dan dua kali pula orang-orang Filistin menyergapnya. Untungnya, ia memberi jawaban yang salah sehingga penyergapan itu gagal. Seharusnya ia mulai curiga dan berpikir, “Gadis ini hendak mencelakakan aku. Aku harus lari darinya.” Tetapi tidak demikian dengan Simson yang sudah dibuat bodoh oleh cinta. Pada akhirnya, hakim perkasa itu berakhir tragis hanya karena tipu muslihat perempuan. Ia ditangkap dan dijadikan tontonan orang-orang Filistin di kuil Dagon, kemudian membunuh dirinya sendiri sekaligus musuh-musuhnya di tempat itu (Hak. 16:21-31).

Bagaimana Anda menilai hakim yang satu ini? Mungkin sebagian besar dari Anda akan berpikir, “Simson sih pasti tidak diselamatkan. Seumur hidupnya dia berdosa terus!” Atau, “Simson tidak pernah menunjukkan pertobatan dan memohon ampun kepada Tuhan. Pasti dia tidak sungguh-sungguh beriman.” Tunggu dulu. Sebelum menghakimi Simson, ada baiknya kita membaca Ibr. 11:32. Simson disebutkan sebagai pahlawan iman! Dengan kata lain, ia sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan dan diselamatkan.

“Kok bisa?” Jawabannya adalah karena kita bukan diselamatkan oleh perbuatan, melainkan semata-mata karena anugerah Allah (sola gratia) melalui iman (sola fide). Simson tetap adalah orang beriman yang menerima anugerah, meski proses pengudusannya (sanctification) kacau balau dan tidak berakhir dengan baik. Bukankah banyak orang-orang Kristen seperti ini, bahkan yang ada dalam gereja? Mereka beriman, tetapi tidak mengalami pertumbuhan rohani. Seringkali orang-orang seperti ini sering dilabel, “tidak sungguh-sungguh percaya,” “dipertanyakan keselamatannya,” dan sebagainya. Salah satu pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Simson adalah tidak terburu-buru menghakimi dan menebak-nebak status keselamatan seseorang. Itu urusannya dengan Tuhan.

Sampai di sini, saya yakin Anda berpikir, “Kalau begitu, lebih baik hidup seperti Simson saja. Asalkan masuk surga, menurutku itu sudah mengakhir dengan baik.” Tapi, coba Anda bayangkan betapa tragisnya Simson. Ya, ia sungguh-sungguh diselamatkan. Tetapi bagaimana teladan hidupnya? Sampai hari ini, kita mengingat Simson sebagai hakim yang bodoh dan tertipu wanita. Kita tidak ingat berapa orang atau binatang liar yang dibunuhnya. Kita hanya ingat nafsunya dan menjadikannya peringatan, “makanya jangan seperti Simson.” Itulah maksud Paulus ketika mengatakan tentang orang-orang yang “pekerjaannya terbakar … diselamatkan, tetapi seperti dari dalam api” (1 Kor. 3:15). Masuk surga sih … tetapi meninggalkan teladan buruk. Menyedihkan sekali. Masakan Anda mau menjadi seperti ini?

Padahal, jika kita bandingkan dengan Paulus, Simson sebenarnya memiliki awal yang baik. Paulus memiliki awal yang relatif buruk. Ia adalah seorang penganiaya jemaat yang bahkan hadir saat Stefanus dirajam batu (Kis. 7:58). Namun ia mengakhiri hidupnya dengan mengatakan, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik.” Simson sebaliknya, memiliki awal yang sangat baik. Kelahirannya diberitakan malaikat, menjadi nazir sejak kecil, dianugerahi kekuatan super. Tetapi di akhir hidupnya ia hanya dapat memanjatkan doa yang egois untuk membalas dendam, “Buatlah aku kuat, sekali ini saja, ya Allah, supaya dengan satu pembalasan juga kubalaskan kedua mataku kepada orang Filistin” (Hak. 16:28). Ya, kedua-duanya masuk surga. Tetapi Paulus menjadi teladan yang baik, Simson diingat karena nafsu dan kebodohannya. Yang satu membangun dan pekerjaannya tahan uji, yang satu terbakar pekerjaannya dalam api.

Bagaimana dengan kita? Keselamatan kita sudah terjamin dalam Tuhan Yesus. Apakah kita mau menjadi seperti Paulus yang sungguh-sungguh mau menjalani proses pengudusan Tuhan sehingga mencapai akhir yang baik, atau kita malah menjadi Simson yang hidupnya tidak menjadi teladan dan berakhir tragis? (DO)