Bagikan artikel ini :

The Message for the Broken Hearted (Berita bagi yang Remuk Hati)

Melalui bukunya yang berjudul ”Screwtype Letters”, teolog C.S. Lewis menceritakan kisah fiksi tentang setan senior yang sedang mendidik setan junior dalam upaya-upaya menjebak manusia agar jatuh ke dalam dosa. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah menggoda manusia ketika harus menanti.

Sang setan senior mengatakan bahwa mereka harus berupaya agar manusia berketetapan hati untuk menanti dalam suatu periode yang bagi manusia tampak masuk akal. Tetapi sang junior perlu berusaha memengaruhi manusia sehingga ia menetapkan periode yang lebih singkat dari masa penantian yang seharusnya dijalani olehnya. Setelah itu, sang setan junior dapat mulai menyerang kesabaran, kekudusan, dan keberanian manusia. Hal yang paling menyenangkan bagi setan adalah membuat manusia menyerah kalah pada waktu yang sebetulnya merupakan titik akhir dari masa penantiannya.

Menyerah di penghujung masa penantian adalah kekalahan yang sangat menyedihkan. Pengkhotbah Charles Spurgeon pernah berkata ”berada di tengah gurun adalah jalan menuju Kanaan. Penyerangan mempersiapkan kita untuk menang. Waktu tergelap di malam hari adalah ketika menjelang subuh.” Dengan kata lain, periode tergelap di hidup kita adalah ketika fajar akan menyingsing dan harapan akan segera tiba.

Para tokoh Alkitab seringkali diperintahkan untuk menanti dalam periode yang panjang. Nuh diperintahkan untuk membangun bahtera di tengah daratan yang jauh dari laut. Menurut para ahli, proses membangun bahtera itu bisa mencapai sekitar 40 – 75 tahun. Sementara itu, selama puluhan tahun Simeon dan Hana menantikan kedatangan Mesias (Lukas 2:21-32).

Hana berusia 84 tahun. Ia hanya menikah selama 7 tahun dengan suaminya sebelum akhirnya menjanda. Biasanya (apalagi di masa itu), seorang wanita menikah di usia yang sangat muda. Ini berarti ia menjanda dalam waktu yang sangat lama. Sementara Simeon sudah berusia tua. Dengan kata lain, kedua orang itu menyadari bahwa mereka sudah berada di penghujung masa hidup mereka. Secara fisik mereka sudah rapuh dan tidak punya kemampuan untuk mengubah kondisi alamiah ini. Tetapi justru di masa inilah, penantian berakhir dan harapan itu tiba.

Lukas memperkenalkan Simeon sebagai seseorang yang ”menantikan”. Istilah bahasa Yunani yang digunakan adalah prosdechomai. Kata dechomai berarti ”menanti”. Sementara kata pros berarti ”ke depan”. Jadi jika diterjemahkan secara literal, istilah ini berarti ”menanti ke depan”. Dengan demikian, Simeon menanti. Ia tidak menuntut, tidak terburu-buru. Ia hanya menanti apa yang akan terjadi di waktu yang akan datang.

Ketika akhirnya penantiannya usai dan harapan itu terwujud, ”ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil memuji Allah, katanya: ”Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa, yaitu terang yang menjadi pernyataan bagi bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel.” (Lukas 2:28-32).

Kadang Tuhan mengizinkan orang-orang pilihan-Nya untuk menanti karena di dalam proses penantian itulah Ia menguduskan seseorang. Yusuf misalnya. Ia dijebloskan ke lubang oleh saudara-saudaranya sendiri yang pasti sangat menyakitkan hati. Akibat dari peristiwa itu, ia harus menjadi budak selama 11 tahun di rumah Potifar, lalu ditambah 2 tahun lagi di penjara akibat difitnah oleh istri Potifar. Tetapi di masa-masa itu Tuhan selalu hadir bersama Yusuf dan mentransformasi hatinya sehingga Yusuf bisa siap untuk menjadi pemimpin besar yang menolong bangsanya. Termasuk ia kemudian menghadapi saudara-saudaranya yang dulu membuangnya dengan penuh hikmat dan ketulusan hati, tanpa dendam terselubung.

Tuhan juga mengizinkan Musa terisolasi selama 40 tahun di padang gurun untuk sekedar menggembalakan domba-domba yang hanya bisa mengembik-embik ketika kelaparan. Selama masa penantian yang ujungnya entah kapan itu, Tuhan membentuk hati Musa dari seseorang yang mengandalkan kehebatan dan kekuatannya sendiri menjadi pemimpin besar yang mengandalkan Tuhan. Ia kemudian Tuhan percayakan untuk menggembalakan ’domba-domba Allah’ dengan membawa keluar bangsa Israel dari perbudakan di Mesir ke tanah Perjanjian.

Rasul Paulus pun menghabiskan tiga tahun masa penantian di daerah padang gurun Arabia sebelum Tuhan membuka pintu untuk ia bisa mulai melayani dengan penuh hikmat dan kuasa. Sesudah Tuhan memanggilnya dalam pelayanan, Paulus berkali-kali harus menanti lagi akibat terkurung di penjara. Tetapi di masa-masa penantian di penjara itulah ia menulis berbagai surat kepada gereja-gereja yang kini menjadi bagian dari kitab-kitab di Perjanjian Baru yang membangun iman orang Kristen di sepanjang sejarah manusia.

Jika Tuhan mengizinkan kita menantikan Dia dan janji-janji-Nya, maka itu berarti Dia rindu mentransformasi kita untuk menjadi semakin seperti Dia. Karena itu, marilah dengan iman kita mengekspresikan pengharapan kita ketika menanti seperti yang dinyatakan oleh pemazmur: ”Aku menanti-nantikan TUHAN, jiwaku menanti-nanti, dan aku mengharapkan firman-Nya. Jiwaku mengharapkan Tuhan lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi, lebih dari pada pengawal mengharapkan pagi.” (Mazmur 130:5-6). ** (GE)