Bagikan artikel ini :

Wangi Harum dari Kristus (The Pleasing Aroma of Christ)

Di dalam suratnya yang kedua kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus menggunakan metafora yang indah dan kuat untuk menggambarkan peran orang Kristen dalam menyebarkan Injil. Ia menyebut umat Kristen sebagai “wangi harum dari Kristus” (2 Korintus 2:15). Metafora ini diambil dari praktik Romawi kuno, di mana dupa dibakar dalam arak-arakan kemenangan untuk menghormati sang penakluk.

Paulus menggambarkan dirinya dan rekan-rekannya sebagai bagian dari arak-arakan kemenangan Kristus. Mereka membawa kabar baik tentang Kristus ke mana pun mereka pergi, seperti dupa yang menyebarkan keharumannya. Keharuman ini adalah kehadiran Kristus sendiri, yang menyebar melalui kehidupan dan pelayanan mereka. Namun, keharuman ini tidak selalu diterima dengan baik. Paulus mengatakan bahwa bagi sebagian orang, keharuman ini adalah “bau kematian” (2 Korintus 2:16). Mereka menolak Injil dan akibatnya, mereka binasa. Tetapi bagi yang lain, keharuman ini adalah “bau kehidupan” (2 Korintus 2:16). Mereka menerima Injil dan memperoleh hidup yang kekal.

Metafora “wangi harum dari Kristus” masih relevan bagi orang Kristen masa kini. Kita dipanggil untuk menjadi saksi Kristus di dunia ini, menyebarkan keharuman-Nya melalui kehidupan dan perkataan kita.

Di dalam sejarah dunia, seorang tokoh yang kehidupannya menyebarkan keharuman Kristus adalah Johan Sebastian Bach (1685-1750). Ia adalah komposer, musisi, dan organis barok Jerman yang dianggap sebagai salah satu tokoh paling penting dalam karya musik Barat. Karya-karya Bach telah mempengaruhi banyak komposer besar seperti Mozart, Beethoven, dan Brahms. Yang menarik, Bach juga dikenal sebagai seorang Kristen yang meyakini bahwa tujuan akhir dari semua jenis musik adalah kemuliaan Allah dan penyegaran jiwa. Bach sungguh-sungguh menerapkan prinsip tersebut ketika ia menggubah karya-karyanya. Ia menulis lebih dari 800 komposisi yang mayoritas merupakan puji-pujian kepada Tuhan. Ia juga sering menuliskan inisial “S.D.G” (Soli Deo Gloria yang artinya “Hanya Bagi Kemuliaan Allah”) di akhir partiturnya sebagai bentuk dedikasinya kepada Tuhan.

Di penghujung abad ke-20, Charles Colson, mantan penasihat Presiden Nixon di Amerika Serikat yang mendirikan pelayanan penjara, melaporkan ada ribuan orang Jepang yang menerima Kristus sebagai Tuhan setelah mendengar berbagai kantata Bach. Orang-orang Jepang itu mempelajari musik-musik Bach di Felix Mendelssohn Academy di Leipszig Jerman, yang merupakan kota kelahiran Bach. Jika jiwa-jiwa adalah ‘hasil’, maka itu terjadi ratusan tahun setelah Bach meninggal. Karya-karyanya tidak hilang begitu saja. Ada makna mendalam di baliknya yang memiliki nilai kekekalan.

Di dalam konteks kehidupan di masa kini, kita pun dapat menyebarkan keharuman Kristus. Antara lain adalah melalui media sosial. Media sosial sering kali menjadi tempat penyebaran berita palsu, ujaran kebencian, dan konten negatif lainnya. Sebagai orang Kristen, kita dapat menjadi “filter” positif dengan membagikan konten yang membangun, menginspirasi, dan mencerminkan nilai-nilai Kristiani. Kita dapat menggunakan platform kita untuk menyebarkan kasih, harapan, dan kebenaran, menjadi “wangi harum” di tengah polusi informasi.  ** GE